Oleh Yudi Latif
Dalam sejarah Indonesia, ide tentang republik (res publica) pertama-tama diperjuangkan oleh kaum muda.
Ide sentral dari republikanisme adalah penemuan kerangka solidaritas politik yang mampu melayani kepentingan umum sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan. Proyek republikanisme berusaha mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam gelanggang republik.
Dalam konteks Indonesia, landas pacu (launchpad) cita-cita republikanisme ini adalah Sumpah Pemuda. Setelah aneka pergerakan etno-religius gagal menyatukan berbagai keragaman posisi, determinasi dan aliran ke front perjuangan bersama (historical bloc), terbitlah kesadaran baru di kalangan pemuda-pelajar dari berbagai daerah untuk mengakui komunitas impian bersama: bangsa Indonesia.
Dalam kerangka kebangsaan Indonesia ini, solidaritas kewargaan tidak didasarkan kesamaan etnis atau keagamaan, tetapi pengakuan hak yang sama atas dasar kesatuan tumpah darah (territorial conception of citizenship): tanah air Indonesia.
Untuk memperkuat solidaritas kewargaan di antara berbagai gugus kebangsaan itu, diperlukan sarana komunikasi politik. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional memerlukan penarikan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah dalam dunia simbolik. Dalam hal ini, para pemuda-pelajar yang terbiasa bertutur dalam bahasa ibunya (bahasa daerah) dan bahasa intelektualnya (Belanda) berkomitmen untuk menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.
Maka, Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis, dan status quois generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun, datang dengan etos kreatif. Seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind, etos kreatif bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik (Margaret Boden, 1962).
Demikianlah, khitah pergerakan politik kaum muda terletak pada etos kreatifnya. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada ”kejumudan” dan ”ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Etos kreatif kaum muda inilah yang mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.
Elan kreatif kaum muda
Setelah 80 puluh tahun Sumpah Pemuda dicetuskan, krisis nasional dan global yang ditimbulkan elemen-elemen kemapanan, sekali lagi memanggil elan kreatif kaum muda. Sejauh menyangkut pemulihan ekonomi, Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class telah melukiskan secara baik peran esensial kreativitas. Bahwa pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidak seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan intelegensia, pengetahuan, dan kreativitas. Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Isu utamanya di sini, bukan human capital dalam arti konvensional yang hanya diukur berdasarkan pendidikan formal, tetapi pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas. Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi (3T)—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.
Adapun pelaku utama ekonomi kreatif (the creative economy) tak lain adalah anak- anak muda dengan etos kreatif yang kuat. Itu sebabnya mengapa dalam perekonomian global hari ini, banyak pengusaha sukses yang tumbuh dari orang-orang berusia muda.
Pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia terhambat ekosistem yang tidak kondusif akibat kebijakan dan perilaku politik yang bertentangan dengan prinsip kemaslahatan umum republikanisme. Hal ini bermula saat jagat politik yang dikuasai kaum tua lebih dikendalikan logika kemapanan yang melanggengkan kejumudan ketimbang logika pembaruan yang menumbuhkan kreativitas.
Pemblokiran elan-kreatif kaum muda sebagai pengawal cita-cita republikanisme membuat kekayaan dan keindahan negeri tak sebanding martabat bangsa: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagaman tak mendorong keinsafan berbudi.
Pelopor politik Indonesia
Karena itu, jagat politik Indonesia harus mengalami kembali proses creative destruction lewat kepemimpinan kaum muda. Kaum muda adalah pelopor politik Indonesia. Mereka pula yang memiliki otentisitas untuk mengembalikan ke rel yang benar. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang merasionalisasi kepentingan individu untuk dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik harus kembali ditempatkan sebagai usaha resolusi atas problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.
Pada peristiwa Sumpah Pemuda, creative destruction itu didorong semangat nasionalisme negatif-defensif dalam rangka menghadapi musuh dari luar. Creative destruction hari ini harus didorong semangat nasionalisme positif-progresif dalam rangka mengaktualisasikan potensi dan talenta-talenta terbaik bangsa.
Hanya dengan memuliakan potensi kreatif kaum mudalah, Indonesia bisa meraih kejayaannya.
Yudi Latif Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (Pekik) Indonesia