ALI KHOMSAN - Ketahanan Pangan Vs Jalan Tol

Judul : Ketahanan Pangan Vs Jalan Tol
Sumber : Kompas, Kamis, 20 November 2008

Oleh ALI KHOMSAN

Konsekuensi pembangunan jalan tol trans-Jawa sudah dipikirkan, termasuk berkurangnya lahan pertanian subur yang selama ini menjadi penopang ketahanan pangan nasional. Untuk itu ekstensifikasi pertanian di luar Jawa dan intensifikasi di Jawa akan ditingkatkan (Kompas, 18/11/2008).

Indonesia boleh dikatakan tertinggal jauh dibandingkan RRC atau Malaysia dalam pembangunan infrastruktur jalan tol. Padahal, negara kita lebih awal dalam membangun jalan bebas hambatan. Sejak tahun 1978 Indonesia telah memiliki Tol Jagorawi.

Membangun jalan tol menimbulkan pro-kontra terkait keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh. Yang berpandangan pro beranggapan, jalan tol akan menyebabkan lebih lancarnya transportasi dan lebih menggairahkan perekonomian nasional. Ketika jalan raya di sepanjang Jawa rusak akibat hujan dan banjir, para pengusaha mengeluhkan kerugian yang dialami akibat waktu tempuh transportasi barang yang lebih lama. Produk pertanian juga menjadi lebih mahal dan tidak mampu bersaing dengan produk impor karena sarana transportasi yang buruk.

Sementara yang kontra berkeyakinan akan terjadi konversi ribuan hektar lahan sawah sebagai dampak negatif pembangunan jalan tol trans-Jawa. Dalam jangka panjang, jalan tol akan mengancam produksi dan suplai pangan nasional. Karena itu, ada tuntutan agar tol yang akan dibangun ini semaksimal mungkin harus ramah lahan pertanian. Saat ini saja, konversi lahan pertanian terus terjadi akibat perubahan sawah/tegalan menjadi perumahan atau industri.

Pembangunan jalan tol mengharuskan pemerintah lebih serius membangun pertanian di luar Jawa dengan segala tantangannya, seperti kekurangsuburan lahan, budaya masyarakat, dan suplai atau pemasaran input dan output produk pertanian. Pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional akan kian berat menyandang beban pemenuhan kebutuhan energi dan protein penduduk.

Selama ini kita kurang hirau terhadap upaya ekstensifikasi pertanian di luar Jawa karena terlena kemampuan Pulau Jawa menghasilkan pangan (terutama padi). Sebenarnya hanya sebagian kecil wilayah di luar Jawa yang kini dapat dikatakan sebagai lumbung padi. Gebrakan Presiden Soeharto membuka lahan gambut sejuta hektar terhenti. Ide besar mantan presiden yang penuh perhatian terhadap pertanian ini perlu dipikirkan kembali.

Para ahli agronomi, ahli tanah, serta ahli hama dan penyakit tanaman ditantang mengonversi lahan kurang subur di luar Pulau Jawa menjadi sawah. Indonesia yang memiliki banyak perguruan tinggi pengembang iptek pertanian harus mampu membangun sentra-sentra produksi padi, menggantikan peran Pulau Jawa.

Rapuhnya ketahanan pangan

Isu pangan selalu menarik perhatian karena merupakan hajat hidup orang banyak. Kebutuhan pokok yang paling utama dan harus dipenuhi tiap orang adalah pangan. Instabilitas penyediaan pangan dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Para pemerhati pangan pantas galau dengan rencana pembangunan tol trans- Jawa. Indonesia telah lama masuk perangkap pangan. Artinya, ketahanan pangan kita rapuh. Berbagai komoditas pangan penting harus diimpor, membuat bangsa ini rentan bila terjadi gejolak pangan di tingkat dunia. Namun, inikah alasan kita menolak pembangunan tol trans-Jawa?

Ancaman ketahanan pangan yang sering dihadapi bangsa ini adalah akibat bencana banjir, kekeringan, dan serangan hama. Kini, masalah pangan bertambah dengan rencana pembangunan jalan tol. Penulis kini sedang meneliti sistem pangan (ketahanan pangan) masyarakat Baduy. Dalam skala mikro, suku Baduy adalah cermin bagaimana mereka dapat berswasembada pangan dengan segala ketradisionalan yang dimilikinya.

Masyarakat Baduy tidak menggunakan benih unggul, sistem pertaniannya belum beririgasi, tidak ada lahan sawah, yang ada hanya ladang (huma), dan tak menggunakan pestisida. Yang menyebabkan mereka mampu menciptakan ketahanan pangan lokal adalah karena suku Baduy taat menjaga lingkungan. Sistem resapan air dijaga sehingga wilayahnya tidak mengalami kekeringan pada musim kering dan tidak mengalami erosi di musim hujan.

Berbagai pemikiran untuk menghadapi masalah pangan bermunculan secara instan pada saat kita menghadapi masalah. Saat sorotan atas masalah pangan ini mengendur, kita kembali melakukan berbagai kebijakan pertanian yang bersifat rutin alias tidak ada perbaikan yang signifikan.

Ketidaktahanan pangan adalah wujud masih lemahnya pembangunan pertanian di negara kita. Entah kapan bangsa ini dapat mengulang sukses swasembada pangan seperti tahun 1984. Harapan petani untuk hidup sejahtera masih sekadar mimpi. Keinginan masyarakat bisa mengakses pangan murah belum terwujud.

Rapor belum memuaskan

Lokakarya tentang Household Food and Nutrition Security digelar di Hanoi, 2-5 Mei 2005. Kegiatan ini difasilitasi Neys- van Hoogstraten Foundation (NHF) dan National Institute of Nutrition-Vietnam. Para peneliti yang selama ini bekerja sama dengan NHF, antara lain, Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Banglades, Nepal, dan India. Berbagai temuan para peneliti itu tentu sebagian dapat dimanfaatkan untuk membantu pemecahan masalah ketahanan pangan dan gizi di negara masing-masing.

Rapor ketahanan pangan nasional kita memang belum memuaskan. Alam luar Jawa yang mahaluas seharusnya menjadi tantangan dan peluang untuk digarap lebih serius sebagai produsen pangan nasional. Pulau Jawa akan mengalami kejenuhan untuk menghasilkan pangan, baik karena populasi manusia yang terus meningkat maupun adanya kebutuhan lahan untuk aktivitas nonpertanian.

Tetap terus mempertahankan Pulau Jawa sebagai lumbung pangan tampaknya menjadi kian kurang relevan. Pembangunan pertanian di luar Jawa akan lebih menggairahkan perekonomian masyarakat, menumbuhkan agribisnis dan agroindustri yang akan menyerap banyak tenaga kerja. Pembangunan yang selama ini berat sebelah dan berorientasi ke Jawa sudah saatnya dikoreksi.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB