Oleh Satjipto Rahardjo
Kalau sudah ada yang mulai bertanya, siapa, di mana, dan mau ke mana kita, maka kita sudah dihadapkan pada masalah bangsa yang serius.
Amat terasa, ada nada keputusasaan di situ. Ini adalah proses suatu bangsa yang pelan-pelan mulai tercabut dari akarnya.
Menghadapi masalah mendasar itu, kita perlu membuka kembali kitab primbon yang berisi kearifan-kearifan nasional maupun lokal. Betulkah kita tidak memiliki kearifan sama sekali?
Sungguh, bangsa kita memiliki banyak kearifan yang tidak kalah gemerlap sumbangannya kepada dunia. Judul artikel ini adalah salah satu contoh tentang pengindonesiaan dari suatu kearifan lokal (Jawa) yang aslinya berbunyi, Urip ngéli, ning ora kéli, hidup dengan cara mengikuti irama sehari-hari, tetapi tidak larut ke dalam apa yang terjadi. Ngono ya ngono, ning aja ngono (Silakan berbuat seperti itu, tetapi jangan begitu). Sulit memang dipahami dengan logika linier karena hanya dapat ditangkap dengan hati dan metode meditasi. Kira-kira sama juga dengan kearifan, I live in this word, but my kingdom is not of this world.
Ke Timur
Dalam kehidupan nyata, penerapan kearifan itu memiliki jangkauan amat luas, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Dalam masa globalisasi, kita tidak menjadi tawanan dari tren mendunia itu. Ini mungkin mirip dengan yang dimaksud John Naisbitt sebagai global paradox: think globally, act locally.
Masih ada kearifan Tao Te Ching, yang juga mengajarkan agar kita jangan berenang melawan arus, tetapi mengikutinya. Mengikuti arus, tetapi tidak terbawa arus. Para Taois juga sering membingungkan nalar Barat yang linier dengan kalimat ”lihatlah, ia tak dapat dilihat—ia berada di luar bentuk”, ”Dengarlah—ia tak dapat didengar—ia di luar suara”.
Fritjof Capra, ahli fisika modern yang kemudian menjadi Taois, menambah deretan panjang kearifan ngéli ning ora kéli itu. Ia mengundang pikiran mistisisme Timur untuk mencerahkan fisika Barat yang rasional.
Masih lagi dilaporkan Danah Zohar dan Ian Marshall (2000) bahwa sejumlah pakar kedokteran yang pada tahun 1999 berkumpul di Inggris bersepakat mengatakan, sumber penyakit terletak dalam jiwa manusia, pada ketidakseimbangan psikis. Tubuh kita berteriak karena terjadi sesuatu dalam diri kita, yang kalau tidak diurus akan menyebabkan kerusakan yang tak terobati. Sakit itu bukan lagi dianggap disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi, tetapi suatu ”penyakit hidup-tanpa-makna” (diseases of meaning). Obatnya, kata mereka, adalah menengok ke kearifan hidup Timur, berdamai dengan alam. Jadi, ke Timur, ke Timur, dan ke Timur. Danah Zohar bahkan mengatakan, dibandingkan Timur, kultur Barat adalah kultur yang bebal (dumb culture).
Perlu aksentuasi
Modernitas dengan dan dalam sekalian percabangannya telah mencengkeram alam dan manusia. Ilmu dan teknologi berparadigma Cartesian dan Newtonian memberi kenyamanan, tetapi di sisi lain memorakporandakan suasana kehidupan yang berdamai dengan alam yang holistik.
Bangsa Jepang menerapkan seni ”hidup-ikut-arus-tetapi-tidak-hanyut-itu” dengan amat arif dan cerdas. Jepang tak melawan modernisasi, penggunaan teknologi, birokrasi, dan hukum modern, tetapi turut berenang di dalamnya. Satu-satunya yang tidak dilakukan Jepang adalah hanyut total dalam samudra hidup modern itu. Sambil ikut merenangi arus, diam-diam Jepang tetap menjadi Jepang. Japan is never transformed.
Mereka mampu melakukannya secara kreatif, membangun arsitektur tatemae (ruang-di-luar) dan honne (ruang-di-dalam, nurani Jepang). Semua barang yang berasal dari luar Jepang hanya boleh masuk sampai ke wilayah tatemae, tidak boleh masuk ke wilayah honne. Arsitektur itu dijaga betul, bahkan sampai ke cara penulisan. Radio, film, mobil, dan barang-barang mancanegara ditulis dengan huruf Katakana, sedangkan yang asli Jepang dengan Hiragana dan Kanji. Dengan demikian, Jepang berhasil ngéli tanpa menjadi kéli.
Jika saja mau dan mampu mengaksentuasikan berbagai kearifan yang (sesungguhnya) kita miliki, kita tidak perlu ragu dengan membuat pertanyaan ”di mana kita” dan ”mau ke mana kita”. Apakah kita sekarang sudah demikian bodoh sehingga tidak tahu lagi mengaksentuasi berbagai kearifan sendiri yang justru mulai digandrungi dan mencerahkan Barat itu?
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang