Oleh M Dawam Rahardjo
Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam.
Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi.
Maka, dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama.
Mengingat motifnya bukan bisnis, pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Perbankan syariah berkembang meski awalnya dijumpai kesulitan menghimpun dana untuk modal awal sebesar Rp 10 miliar (1990-an). Berkat intervensi negara melalui Presiden Soeharto, dapat dihimpun dana Rp 110 miliar. Langsung dapat dibentuk bank syariah pertama bernama Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) dengan CAR amat mencukupi.
Namun, kecukupan modal saja tidak mencukupi. Dana selanjutnya diharapkan dari penyimpan pihak ketiga untuk memperbesar modal dan aset. Semula juga diragukan, masyarakat bersedia menabung. Masalahnya, penabung tidak dijanjikan suku bunga pasti, tetapi bergantung pada laba dan bagi hasil. Jika laba bank kecil atau merugi, perolehan bagi hasil nasabah ikut kecil pula.
Maka, agar masyarakat—yang umumnya bermotif ekonomi—mau menyimpan uangnya di bank, perlu dibuktikan bahwa bagi hasil bank syariah lebih tinggi dari bunga bank konvensional. Bank syariah berharap mendapat nasabah emosional dari umat Islam yang takut menjalankan riba. Penyimpan seperti itu ada, bahkan cukup fanatik. Buktinya, saat suku bunga bank mencapai 70 persen pada masa krisis, nasabah emosional itu tetap bertahan dengan tingkat bagi hasil yang jelas lebih rendah. Rush yang diramalkan pun tidak terjadi. Bahkan, bank-bank syariah tetap bertahan, sementara banyak bank konvensional bangkrut karena penarikan dana dan negative spread. Hal ini menjadi bukti keunggulan syariah yang tidak bergantung pada naik-turunnya suku bunga, dibanding bank konvensional.
Tanpa melibatkan dogma
Bank syariah menunjukkan bukti sukses penerapan syariah di bidang bisnis. Kunci sukses ini ada dalam metode atau cara penerapan.
Pertama, kajian ilmiah tentang riba dan alternatif riba dengan menggunakan teori-teori ekonomi, terutama moneter modern. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal-jurnal profesional untuk diketahui dunia akademis. Penerbitan itu menimbulkan aneka perbincangan tanpa melibatkan iman, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, kajian itu bisa diterima dunia akademis untuk dikuliahkan dan dipelajari mahasiswa di universitas terkemuka, seperti Harvard dan Oxford.
Kedua, hasil kajian ilmiah tentang perbankan syariah lalu dikemas menjadi produk-produk perbankan dan ditawarkan ke masyarakat dan dunia bisnis. Sebagian masyarakat menerima produk itu berdasar keyakinan agama, tetapi dunia bisnis ada yang menerima dan menolak produk itu berdasar pertimbangan rasional-ekonomis, yakni untung rugi. Inilah yang mendasari sebagian pemilik dana untuk menginvestasikan dan menyimpan uangnya ke bank syariah.
Ketiga, seperti kebijakan moneter dan perbankan memerlukan legislasi dan regulasi untuk menjamin kepastian hukum, syariat di bidang perbankan ini juga dilegislasikan, biasanya setelah didiskusikan secara publik melalui seminar-seminar. Pelegislasian syariat itu dilakukan melalui cara demokratis.
Meskipun UU dan peraturan perbankan syariat telah menjadi hukum positif, tetapi realisasinya tetap bersifat sukarela karena, menurut Sjafruddin Prawiranegara SH, mantan Gubernur BI, hukum syariat adalah sebuah voluntary law. Dengan perlindungan hukum, bank syariah berkembang di pasar, bersaing dengan bank-bank konvensional. Konsumen dipersilakan memilih. Hal ini berbeda, misalnya, dengan di Iran, di mana perbankan syariah diberlakukan dengan menutup bank-bank konvensional.
Tiga faktor
Ada beberapa faktor mengapa perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank syariah memiliki keunggulan, misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari risiko fluktuasi suku bunga sehingga memudahkan perencanaan usaha.
Kedua, produk bank syariah cukup variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank konvensional misalnya sistem gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana bisa menunjuk peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa diinvestasikan, juga ijarah muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk memiliki barang di akhir sewa atau hak untuk membeli barang yang telah disewa.
Namun, bank syariah juga memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah.
Kedua, jika dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI.
Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank.
Agar bisa berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.
Di AS, para ahli keuangan sudah melirik. Bahkan, mulai mempelajari apakah konsep syariah bisa menjadi alternatif sistem keuangan global yang kini sedang dilanda turbulensi? Di Indonesia, gerakan perkreditan mikro juga bertanya, apakah pendekatan syariah bisa mendukung sistem perkreditan mikro yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat yang sehat, mandiri dan berkelanjutan (sustainable)?
M Dawam Rahardjo Pemerhati Perbankan Syariah; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta