Oleh I Basis Susilo
Judul artikel ini adalah tajuk ”Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi” oleh Budiman Sujatmiko di FISIP Universitas Airlangga, Rabu (22/10/2008). Budiman Sujatmiko adalah salah satu tokoh mahasiswa paruh kedua dasawarsa 1990-an.
Kuliah Tjokro adalah kegiatan serial bulanan sejak Mei lalu untuk menandai beberapa peristiwa istimewa tahun ini: 100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 Tahun Sumpah Pemuda, dan 10 Tahun Reformasi. Kuliah Tjokro telah menghadirkan beberapa narasumber, seperti Prof Amien Rais, Dr Mochtar Pabottingi, Dr Makmur Keliat, Dr Pratikno, dan Dr Yudhi Latief. Digagas dan dikelola secara kreatif oleh dosen-dosen muda dan mahasiswa FISIP Unair, Kuliah Tjokro hampir selalu dipenuhi mahasiswa dan kalangan muda di Surabaya.
Topik Kuliah Tjokro sengaja diambil untuk menyindir sekaligus menantang generasi muda saat ini, apakah bisa mengambil posisi dan berperan seperti generasi muda tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1978, dan 1997. Tantangan itu didasari kenyataan bahwa di permukaan generasi muda saat ini kelihatan santai dan lebih memilih nongkrong di kafe atau pinggir jalan daripada serius memikirkan bangsa. Bahkan cangkrukan di Jawa Timur amat populer sampai diangkat menjadi program JTV.
Optimistis
Padahal, kini, krisis dan kegelisahan dirasakan masyarakat dan bangsa. Reformasi telah mengakhiri rezim otoriter di negeri kita. Namun, dalam era reformasi, kelihatan demokrasi tak begitu menjamin adanya kualitas dan kapasitas sistem serta kepemimpinan politik yang lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan, ada beberapa yang mulai memikirkan dan mencoba kembali ke Orde Baru. Dari luar, neoliberalisme menekan dan merongrong kedaulatan kita.
Ada hal menarik saat moderator bertanya kepada peserta yang bertanya, apakah mereka optimistis atau pesimistis tentang bangsanya? Semua anak muda itu tegas menjawab, optimistis. Hanya satu yang pesimistis, itu pun peserta yang hampir pensiun.
Jawaban optimistis itu juga mewakili sikap panitia yang juga orang-orang muda sehingga tidak memilih kata ”menanti”, tetapi ”menunggu.” Dibanding kata ”menanti,” kata ”menunggu” lebih menunjukkan optimisme dan kepastian.
Jawaban optimistis kaum muda yang sering nongkrong dan cangkrukan itu mengingatkan kita pada kalimat-kalimat mantra. Bahwa tiap zaman punya pelakunya sendiri-sendiri. Bahwa sejarah berjalan terus. Bahwa zaman terus berganti menuntut manusia untuk menjawabnya. Tiap zaman menyodorkan peran tertentu bagi para pelaku di atas panggung sejarah. Bahwa kerap sekali, bahkan tiap kali, sejarah menuntut peran pelaku yang harus berani. Bahwa keberanian kerap mampu mengatasi krisis sejarah. Dan, umumnya, kaum mudalah yang mau ambil risiko menjadi pelaku pemberani itu!
Tradisi berpikir kritis
Tentu kita harus realistis. Untuk bisa berperan seperti itu kaum muda harus mempunyai kualitas memadai. Menurut Mattulada (1975) generasi muda harus mampu ”melihat fajar sebelum orang sempat melihat cahaya matahari”. Menurut dia, generasi muda, khususnya mahasiswa, memiliki peran esensial yaitu sebagai transformator nilai-nilai generasi terdahulu ke generasi berikut dan merintis berbagai perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan.
Menurut Sarwono Kusumaatmadja (1976), generasi muda harus mempunyai konsepsi tentang keinginan untuk masa depan dan berbuat sesuatu untuk mengatasi krisis zamannya. Jika tidak, secara sosiologis generasi muda tidak ada. Yang ada hanya gerombolan anak muda yang pandai meniru dan meneruskan teladan orangtuanya, baik atau buruk.
Selama ini ada tiga pendapat keliru tentang peran dan dinamika generasi muda.
Pertama, kualitas kepemimpinan generasi muda muncul setelah ada peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik memang bisa mendorong proses berpikir, bersikap kritis, dapat menggalang solidaritas antarsesama dan rakyat. Namun, yang penting sebenarnya bukan pengalaman traumatik, tetapi proses berpikir dan bersikap kritis.
Kedua, pendapat bahwa penggalangan solidaritas antarsesama dan rakyat adalah penting. Pengalaman mengajarkan, generasi muda kita bersikap tegas secara elitis. Mereka tidak sempat menggalang dukungan dari rakyat banyak dan mereka tidak menunggu waktu untuk mencari legitimasi dari masyarakat luas.
Ketiga, ada pendapat, generasi muda tidak boleh nongkrong atau cangkrukan. Sebagai penerus bangsa harus serius menghayati hidup. Padahal, secara sosiologis, gejala dan gaya hidup itu selalu ada dalam setiap generasi muda. Kapan pun, di mana pun, mereka punya dunianya sendiri dengan idola dan gaya hidup. Anak muda tahun 1908, 1928, 1945, 1966, 1978, 1997 pun begitu. Jadi, tidak perlu dikhawatirkan!
Yang terpenting adalah bagaimana menyediakan, memelihara, dan menumbuhkan di kalangan generasi muda, tradisi berpikir, bersikap kritis dan menggalang solidaritas di antara generasi muda itu. Sambil menunggu sumpah baru generasi muda kita.
I Basis Susilo Dekan FISIP Universitas Airlangga