Oleh IVAN A HADAR
Krisis keuangan global kali ini telah mengubah konstelasi penguasa dunia. AS terpukul dibuatnya. Pada saat sama, China bersiap menyangga perekonomian dunia dengan paket stimulus fiskal sebesar 586 miliar dollar AS.
Hal ini tentu akan memberi peran penting dalam proses pengambilan keputusan global. Sementara itu, Eropa bersuara lantang menginginkan perubahan lembaga keuangan global. Selain saling tuding (Kompas, 14/11/2008), KTT G-20 di Washington dan pertemuan lanjutan bakal menjadi ajang negosiasi dan tuntutan bagi terwujudnya sebuah tatanan dunia baru, khususnya terkait sistem keuangan dan perekonomian.
Pertanyaan terpenting, apakah posisi AS akan sekadar menjadi salah satu negara di antara negara-negara lain? Meski jawabannya ”tidak”, tetapi tidak dapat dimungkiri bahwa peran utama (termasuk ”model”) AS dalam perekonomian global mulai dipertanyakan.
Tiga model ekonomi pasar
Kini, setidaknya ada tiga model ekonomi pasar yang bersaing merebut posisi terdepan.
Pertama, kapitalisme Anglo-Saxon ala Reagan dan Thatcher yang diwarnai pasar bebas dan laissez faire.
Kedua, pasar bebas sosial yang banyak dianut negara-negara Eropa.
Ketiga, kapitalisme otoriter ”model Asia” seperti yang dicontohkan China.
Dalam persaingan ini, menang-kalah ditentukan oleh kekuatan. Pertanyaannya, ketika perannya sebagai panutan mengecil, apakah AS bakal kehilangan kekuatan ekonomi? Ada pendapat yang menengarai berakhirnya imperium AS. Krisis keuangan, blunder Perang Irak disebut-sebut sebagai indikasinya. Parag Khanna menggambarkan AS sebagai raksasa yang sedang mempreteli diri sendiri.
Namun, pakar sejarah dari Harvard, Niall Ferguson, mengatakan, setiap kali terserang krisis, AS berhasil bangkit kembali karena memiliki dinamika yang jarang dimiliki negara lain. Terpilihnya Obama sebagai presiden AS memperkuat asumsinya. Terasa sekali optimisme yang merambah mayoritas rakyat AS saat ini. Suatu Lebensgefuehl (optimisme kehidupan) yang diyakini merupakan kekuatan dahsyat bagi pembaruan.
Dengan tingkat produktivitas 4,1 persen, AS masih menempati posisi puncak dunia. Begitu pula dengan persentase (11,8 persen) penduduk yang mendirikan perusahaan. Selain itu, dalam krisis indeks Dow Jones yang menjadi indikator kepercayaan investor pada perusahaan AS, masih lebih baik dibanding bursa saham China dan Rusia.
Peran China
Meskipun demikian, bisa dipastikan, tatanan baru dunia tidak akan sama dibanding sebelumnya, saat segalanya nyaris ditentukan AS sebagai satu-satunya negara adidaya ekonomi-politik-militer. Kemungkinan besar akan terbentuk sebuah ”multipolar” yang memberi peran dan suara bagi kekuatan baru, seperti China yang memiliki cadangan devisa terbesar, Rusia dengan cadangan gas alam berlimpah, Amerika Latin dengan kekayaan sumber daya alam dan negara-negara Teluk Persia dengan Petrodollarnya.
Ini semua bisa terjadi sebab dalam beberapa waktu ke depan ekonomi AS akan mengalami pelambatan. Pada saat sama, ekonomi China yang memaksimalkan intervensi negara serta peningkatan konsumsi akan tumbuh 7-8 persen per tahun. Dengan cadangan devisa sekitar dua triliun dollar AS, China memperluas pengaruhnya di seluruh dunia. Dana berlimpah China yang lama dicurigai Barat, kini mulai diminati. Bagi Bank Barclay yang menjadi sponsor Liga Inggris, dana dari China menjadi penyelamat kondisi darurat. Ternyata, pemicu krisis keuangan AS juga disebabkan batalnya rencana investasi China ke Lehman Brothers pada saat-saat terakhir.
Dibanding China dan negara-negara Teluk Persia, bagi AS Eropa hanya investor kelas dua. Meski demikian, Eropa—terutama presiden Perancis Nicolas Sarkozy—berharap memperoleh dukungan atas ide pembentukan tatanan baru global. Kelemahan AS diharapkan memberi peluang bagi model Marktwirtschaft an der Leine—ekonomi pasar terkendali ”model” Eropa. Dengan kata lain, sebuah negosiasi terkait lembaga Bretton Woods, koordinasi global atas kebijakan ekonomi dan keuangan global. Harapan Eropa, bisa menarik Barack Obama akan menjadi sekutunya. Dalam kampanye pemilihan presiden, Obama menjanjikan proteksionisme, termasuk menegosiasikan ulang Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) dengan Meksiko dan Kanada guna melindungi pekerja AS.
Memang ada persamaan pemikiran, tetapi dalam perannya sebagai presiden, bisa dipahami saat Obama mengedepankan kepentingan AS. Meskipun demikian, tatanan baru dunia tidak akan mengikuti modus lama saat dengan mudah AS menggiring negara lain menuruti polanya. Sebaliknya, usaha mengembalikan peran dominan Eropa akan gagal. Kekuatan baru ingin menentukan sendiri aturan mereka. Sesuatu yang ”menjadi hak mereka”, kata Ha-Joon Chang, dari Cambridge University.
Tanpa itu, tiada kesempatan bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, termasuk Indonesia, untuk menapaki tangga kemajuan karena Barat akan ”menendang tangga yang telah membawanya ke puncak kemakmuran”, tulis Chang dalam buku Kicking away the Ladder.
Sebagai bukti, Chang menunjuk sejarah Eropa. Jalan yang membawa Eropa pada kekayaan, bertolak belakang dengan apa yang disarankan kepada negara-negara berkembang. Menerapkan model ”Old Europe” pada zaman sekarang, diyakini tidak akan berfungsi lagi.
Satu hal bisa dipastikan. Tatanan baru dunia memunculkan pelaku, aturan, dan kelembagaan baru. Meski pemimpin Bank Dunia masih menjadi jatah AS dan Eropa mendapat IMF, sejak tahun ini, chief economist Bank Dunia adalah seorang warga negara China. Pada saat sama, ketua Komite Reformasi IMF yang ditengarai merupakan posisi penentu masa depan IMF adalah seorang warga Afrika Selatan. Inikah tanda-tanda menggeliatnya sebuah tatanan dunia baru?
IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik, Tinggal di Jakarta