William Chang - Violensianisme Versus Pasifisme

Judul : Violensianisme Versus Pasifisme
Sumber : Kompas, Selasa, 11 November 2008

Oleh William Chang

Tiada hari tanpa kekerasan. Sebagai ancaman budaya dunia, violensianisme bakal merongrong pasifisme (Kompas, 21/8/2008). Bagaimana menyikapi violensianisme di tengah krisis global?

Perang Dunia I dan serangan terorisme awal abad ke-21 tidak hanya melahirkan sekutu-sekutu baru dan trauma tragis, tetapi juga merajut jejaring tindak kekerasan yang menghambat komunikasi damai antarbangsa. Sikap mistrust mengawetkan perang dingin dalam politik, militer, dan ekonomi (Israel vs Palestina, Korsel vs Korut, AS vs negara-negara beda ideologi). Dunia kembali terpecah-belah.

Negara-negara adidaya menobatkan diri sebagai ”polisi dunia”, penentu perdamaian dunia. Martabat negara kaya lebih luhur dari negara berkembang dan miskin. Hingga kini tak mudah mendapat visa masuk negara makmur. Neokolonialisme telah bangkit.

Di tengah krisis global, negara-negara makmur di Eropa Barat mulai mendeportasi imigran gelap yang membebani hidup sosial setempat. Untuk memproteksi diri, tidak sedikit karyawan/wati akan kehilangan pekerjaan. Demam pengangguran melanda beberapa zona, termasuk di Tanah Air. Bukan mustahil, gesekan sosial dan iklim konfliktual akan muncul di tengah pergumulan sosial.

Pasifisme di tengah krisis

Sejarah membuktikan, saat krisis melanda pertengahan abad ke-20 Adolf Hitler (1889-1945), si tukang cat asal Austria membakar semangat orang-orang Jerman dengan janji-janji bombastis yang meruntuhkan nilai kemanusiaan. Manusia bukan hanya disiksa dan diperkosa, tetapi juga dibunuh secara sistematis. Tindak vandalisme dan anarki mewarnai Perang Dunia II.

Tawaran berupa pasifisme universal, yang mengutamakan moralitas pemangku senjata dan penolakan kekerasan, diperlukan dunia yang sedang ditimpa krisis mondial. Tindak kekerasan dalam bentuk apa pun (anarki, konflik sosial, dan perang) tidak dibenarkan secara moral sebab tindakan ini merusak (hidup) orang lain dan mengkhianati komitmen untuk mewujudkan damai di dunia (Peter Brock).

Sebenarnya, motor pasifisme ada pada keadilan individual dan sosial sebab benih-benih konfliktual biasanya tumbuh di tengah masyarakat yang tercengkam ketidakadilan sosial (hukum, ekonomi, politik, budaya). Ketentuan dan perlakuan tidak adil pada dasarnya membentuk struktur kekerasan dari lingkup terkecil hingga skala terbesar. Ingin damai? Tegakkan keadilan!

Berbagai kegiatan sosial yang berasas keadilan dan semangat ”lintas” (etnis, agama, dan negara) akan mendukung proses perdamaian dunia. Dasar semangat ini adalah saling menghargai sebagai pribadi yang bermartabat luhur. Kebebasan nurani yang benar dan tidak sesat dalam hidup berbangsa dan bernegara terasa penting sebagai respons atas pengalaman pahit dari fasisme, nazisme, dan komunisme.

Mentalitas baru

Dalam konteks krisis global ini bagaimanakah pasifisme sebagai gerakan tanpa kekerasan (nonviolence, ahimsa) bisa menjadi mentalitas baru dalam masyarakat? Penggalian dan internalisasi mentalitas damai dalam filsafat hidup bangsa akan menolong untuk lebih mengutamakan jalan damai dalam penyelesaian masalah. Mentalitas ini sudah lama terkubur akibat kekejaman struktural. Gesekan kepentingan individual atau sektarian, termasuk biang kekacauan sosial.

Mengangkat pemikiran Glenn Paige, George Olivera, dosen filsafat di Bangalore (India), melukiskan nonviolence sebagai senjata politik pemerintahan. Langkah-langkah operatif dalam mewujudkan mentalitas tanpa kekerasan adalah (1) membangun komunitas (dunia) tanpa struktur kekerasan atau kekerasan terstruktur; (2) menciptakan perubahan sosial dengan semangat tanpa kekerasan; (3) mendukung kepemimpinan politik tanpa kekerasan dengan aneka kegiatan humanitarian berdasarkan keluhuran martabat manusia, keadilan, kesetaraan, keamanan, dan vitalitas ekologis (G Olivera, Toleration as Psycho-Social Virtue, 1995: 43-44).

Sudah saatnya menanggalkan watak dan perilaku violensianisme yang tampak dalam sikap pilih kasih, tidak adil, diskriminasi terselubung, manipulasi, politisasi dan kriminalisasi hukum positif, misuse of power, dan pengkhianatan nilai kemanusiaan.

Proses reformasi berbagai kebijakan yang terindikasi mengandung violensianisme mengandaikan kerja sama semua pihak di masyarakat. Pemimpin politik masa depan, kata Glenn Paige, harus menganut prinsip comprehensiveness, consistency, credibility, constructiveness, creativity, cooperation, dan courage guna menghindari violensianisme.

Sebagai senjata politik kontemporer, mentalitas pasifis amat diperlukan, sebab orientasi mentalitas ini akan menggalang kerja sama antarpihak/golongan yang berbeda atau berseberangan gagasan dalam memecahkan problematika regional, nasional, dan global. Perlu segera ditanggalkan habitus lama (kecenderungan gontok-gontokan, huru-hara atau berkonflik). Masyarakat sedang mendambakan peran ”Pasifis-Pasifis” modern yang bisa menjinakkan violensianisme struktural dan sistematis dengan menata habit(us)at baru yang konstruktif dan progresif.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus