Budiman Sudjatmiko - Percakapan dengan Lugo dan Chavez

Judul : Percakapan dengan Lugo dan Chavez
Sumber : Kompas, Jumat, 7 November 2008

Oleh Budiman Sudjatmiko

Menghela Amerika Latin setelah Lima Ratus Tahun Kesunyian. Aku memiliki saksi yang memadai atas semua kebenaran yang kukatakan, yaitu... kemiskinanku. - Socrates

Gabriel Garcia Marquez, sastrawan revolusioner Kolombia pemenang Nobel Sastra, secara realis-magis melukiskan sejarah Amerika Latin yang kelam melalui kisah keluarga Jose Arcadio Buendia.

engan indah, Amerika Latin yang dilihatnya melalui sejarah keluarga Buendia diriwayatkan melintasi ”Seratus Tahun Kesunyian”. Dalam faktanya, jatuh bangunnya Amerika Latin dalam menanggung exploitacion ini menjangkau ”500 tahun kesunyian” sejak datangnya kolonialis Spanyol dan Portugis.

Anak-anak panah waktu terasa lambat merambati tubuh Amerika Latin selama 500 tahun itu. Kini, putra-putrinya sedang tekun bekerja mencabuti anak-anak panah itu dari tubuh ibu pertiwi mereka. Apa persisnya yang sedang mereka lakukan?

Jika kita mengaitkannya dengan aspirasi-aspirasi politik modern, terutama selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kedaulatan bangsa dalam wilayah Amerika Latin senantiasa dikaitkan dengan aspirasi sosialisme, perluasan peran dan fungsi kewarganegaraan, pendalaman demokrasi, serta penegakan kedaulatan nasional ataupun solidaritas regional.

Dalam kesempatan saya memenuhi undangan pelantikan Fernando Lugo sebagai presiden Paraguay pada tanggal 15 Agustus, saya berkesempatan berinteraksi dengan para tokoh perjuangan itu. Khususnya saya sempat secara lebih dekat berkomunikasi dengan Fernando Lugo dan Hugo Chavez saat keesokannya menghadiri syukuran pelantikan gubernur Provinsi San Pedro, pusat gerakan petani di Paraguay Utara.

Kedua nama di atas adalah dua dari sembilan presiden wong cilik yang terpilih di Amerika Latin dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka adalah para penghela sejarah Amerika Latin pada awal abad ke-21, para penyuara yang bergemuruh memecah beratus tahun kesunyian.

Dengan Lugo, percakapan pertama terjadi dalam ”pelarian malam” dari rumahnya yang bertipe RS (rumah sederhana) di kawasan Lambare, Asuncion, dan dilanjutkan keesokan paginya di ruang tamu Casa Central de SVD (Sociedad de Verbo Divino) tempat kami sama-sama bermalam di pinggiran Asuncion dan pada akhirnya dilanjutkan di San Pedro.

Sementara Chavez baru bisa saya ajak berbicara keesokan harinya di San Pedro. Sambil menikmati yerba mate (teh khas Amerika Selatan) yang diminum secara bergiliran dari cangkir kayu yang sama, bercakap dengan penghela sejarah ini seperti membaca kembali buku-buku Amerika Latin yang pernah saya baca semasa saya masih aktif mengorganisasi petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur sekitar 18 tahun silam.

Di banyak negeri Amerika Latin, para pemimpin tak berhenti menyerukan perjuangan kawasan yang lebih berdaulat dan adil di hadapan orang-orang tak berpunya di perkotaan hingga para petani tak bertanah yang berusaha bebas dari beratus tahun kesunyian.

Perjuangan sosialisme abad ke-21 sebagai antitesis neoliberalisme ini juga bisa dilihat sebagai tindakan subversif yang tak terelakkan dalam transformasi besar-besaran di Amerika Latin Raya. Saya merasa senang berkesempatan belajar secara langsung dari para pemimpin patriotik Amerika Latin ini.

Pencuri harus membayar

”Orang harus bayar apa yang telah mereka curi!” demikian seru Fernando Lugo dengan lantang saat menyampaikan pidato pelantikannya dalam bahasa Spanyol dan Indian Guarani.

Presiden sosialis ini melanjutkan bahwa dia pun akan membayar jika gagal memenuhi segala yang telah disampaikannya saat dia berjanji, ”Saya akan mengundurkan diri kalau nanti di Paraguay ada orang yang tak bisa tidur karena takut atau tidak bisa tidur karena lapar. Ini bukan janji kosmetik, tapi akan saya tuangkan dalam kesepakatan sosial (pacta social). Saya juga berjanji bahwa mulai sekarang rakyat Paraguay adalah pemilik masa depan yang sah atas ekonomi dan semua kekayaan alam ini.”

Rupanya, bagi orang seperti Lugo, ada yang jauh lebih berharga daripada sekadar menempatkan dirinya sebagai presiden Paraguay, jauh lebih heroik daripada sekadar mengganti tradisi kepemimpinan negerinya yang selama ini dikuasai kalangan oligarki terkorup di dunia oleh dirinya.

Jauh lebih strategis daripada memenangi dan mempertahankan jabatan kepresidenan serta jauh lebih berkeringat daripada sekadar menjual slogan dan wajah melalui advertorial/iklan politik di media cetak dan TV (Lugo tidak punya cukup uang untuk itu).

Saat Lugo menjanjikan akan menuntut para pencuri untuk membayar apa yang pernah mereka curi, itu bukan karena dia seorang polisi atau mau membujuk rakyat agar memilihnya menjadi presiden, melainkan pertama-tama adalah karena dia bukan pencuri.

Ini kemudian terbukti ketika pada hari Minggu, 17 Agustus lalu, dia untuk pertama kalinya masuk istana, Lugo mengajak saya, wartawan Kompas Rikard Bagun, dan Martin Bhisu, mantan sekretaris pribadi Lugo ketika masih menjadi uskup, untuk duduk di samping meja kerjanya.

Selama empat jam kami diminta menyaksikan dia memeriksa dan menandatangani 100 dekrit, di antaranya mengenai reformasi birokrasi yang merupakan salah satu yang terkorup di dunia, distribusi tanah untuk petani tak bertanah, penanganan kaum Indian dan sebagainya, di hadapan sejumlah menterinya.

Sekarang pengagum Bung Karno ini memiliki kesempatan dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai presiden untuk menjadikan pemerintahannya sebagai perisai bagi mereka yang sudah lama tak berpengharapan, tapi yang tak pernah rela membunuh harapan itu sendiri.

Chavez dan dunia ketiga

Saat di San Pedro, saya dan Rikard diperkenalkan oleh Martin Bhisu dengan Hugo Chavez di ruang makan tempat pertemuan. Sehari sebelumnya, di istana kepresidenan di Asuncion, Martin sempat berpelukan erat dengan Chavez dan mengatakan. ”Chavez, tatap mata saya. Saya dari Indonesia. Saya kawan seperjuangan Lugo dalam iman dan perjuangan. Besok kita ketemu lagi di San Pedro dengan dua rekan saya dari Indonesia….” Saat itu Chavez menjawab, ”Si…. Si…. Indonesia. Manana…Si, companero!” (Ya… ya… Indonesia. Besok…ya, Bung).

Begitu besoknya dia bertemu saya setelah acara dengan Lugo, dia spontan berkata, ”Saya tahu Indonesia…. Saya menyukai Indonesia…. Viva Indonesia!” dan segera saya jawab, ”Viva Venezuela!”

Saya bertanya ke Chavez mengapa dia begitu peduli dengan perkembangan politik di Paraguay dan juga mengapa dia menyukai Indonesia. Tanpa jeda dia langsung menjawab, ”Saya ingin dikenal sebagai sahabat negeri-negeri dunia ketiga.”

Dari Lugo dan Chavez, pelajaran yang serta-merta saya peroleh adalah bahwa kesederhanaan, keberanian, dan solidaritas membuat banyak hal baik menjadi mungkin. Ketiga pelajaran itu memerdekakan kita dari keraguan dan ketakutan akan kesendirian yang melumpuhkan diri.

Budiman Sudjatmiko Penggiat Politik