Oleh Eric Hiariej
Hukuman terhadap Ali Ghufron, Imam Samudera, dan Amrozi masih menyisakan pertanyaan. Apakah dengan perang melawan terorisme dunia menjadi lebih aman?
Tulisan ini tidak yakin sebab perang melawan terorisme berpijak pada asumsi keliru. Sejak awal, perang ini tidak hanya untuk menangkap pelaku, tetapi terutama untuk melumpuhkan ”negara” dan ”aktor intelektual” yang menyokong teroris.
Individualisasi perang
Tindakan Amerika memerangi Afganistan dan Irak adalah cermin upaya itu. Juga keputusan PBB membuat daftar organisasi teroris adalah upaya menghukum subyek non-negara yang dituduh sebagai dalang terorisme.
Kecenderungan ini berakar dalam cara berpikir yang masih melihat perang sebagai konflik dua bala tentara yang bermusuhan. Perang akan dimenangkan jika musuh dikalahkan dan negara atau organisasi bersenjata yang menjadi lawan dikuasai. Cara berpikir ini bisa menjelaskan jenis perang konvensional, tetapi tidak untuk terorisme.
Dalam terorisme berlangsung individualisasi perang. Yusuf Ramzi boleh jadi anggota Al Qaeda. Sedangkan Ali Ghufron bisa dihitung sebagai petinggi JI. Ramzi dan Ghufron adalah dua individu berbeda, tetapi sama- sama membenci AS. Kebencian pada level individu inilah yang mendorong keduanya melakukan tindakan tidak berperikemanusiaan. Di sini perang atau perlawanan menjadi personal. Tindakan Ramzi dan Ghufron dipicu oleh, misalnya, perilaku AS di Timur Tengah, yang melalui kacamata identitasnya dibaca sebagai ”pembelaan terhadap Israel” dan penghinaan terhadap Islam”.
Sebelum itu, Sayyid Qutb— ”Lenin”-nya gerakan Islam radikal—melihat dengan cara serupa. Kebetulan Qutb melanjutkan studinya di AS saat negara Israel dibentuk. Ia terkejut menghadapi publik AS yang menurut dia pura-pura tidak tahu dengan nasib rakyat Palestina yang terpaksa menjadi pengungsi akibat apa yang ia pandang proyek Zionis Israel. Bagi Qutb ini bukan soal politik, tetapi penghinaan terhadap identitasnya. Dia merasa publik AS menilai rendah orang Arab ketimbang Yahudi. Qutb kembali ke Mesir, bergabung dengan Ikhwanul Muslimun, memerangi apa yang diyakini ”diskriminasi rasial yang fanatik dan jahat” negara-negara besar.
Husain Osman, pelaku bom yang gagal di London beberapa tahun lalu, adalah contoh lain. Kepada polisi, Osman mengaku tindakannya didorong keinginan melawan apa yang ia sebut rasisme ekstrem.
Barangkali serangan bom bunuh diri merupakan contoh ekstrem individualisasi perang. Aktivis yang merelakan jiwanya sebagai senjata penghancur melihat penindasan sebagai persoalan personal. Tak heran jika resistensi dan perlawanan menyatu sebagai manifestasi pemberontakan diri. Karena itu, aksi teroris bukan hanya memperjuangkan idealitas tertentu seperti negara agama, tetapi juga ekspresi identitas yang terkoyak.
Media perlawanan
Di sini organisasi, seperti Al Qaeda dan JI, mungkin penting sebagai media perlawanan. Namun, yang lebih menentukan adalah identitas yang terkoyak. Karena itu, Al Qaeda dan JI lebih menyerupai titik temu individu- individu yang berbagi kebencian, kemarahan, dan ketersinggungan; yang menyatu dalam jaringan global. Artinya, melumpuhkan organisasi teroris atau menghukum anggota, tidak menyudahi terorisme. Sebab, rasa benci dan marah masih bertahan dan ada di mana-mana.
Situasi ini diperunyam dengan perkembangan lain. Kini ”apa saja” bisa menjadi instrumen perang. Simbol-simbol kemajuan masyarakat sipil di bidang, seperti komunikasi dan rekayasa genetik yang sejak lama menjadi indikator kesejahteraan kehidupan damai, bisa diubah menjadi senjata pemusnah massal. Kombinasi antara kebencian terhadap Barat dan kecakapan di bidang bioteknologi dan teknologi informasi bisa dengan mudah melahirkan mimpi buruk baru.
Kecenderungan mengabaikan perlawanan yang bersifat personal membuat perang melawan terorisme, terutama di negara maju, menjadi monster menakutkan. Karena perang ini bisa dilakukan ”siapa saja”, tiap orang berpotensi menjadi ”tertuduh”.
Agar (calon) pelaku bisa dilacak, tiap orang harus mau ”dicek” dengan pemindai logam maupun perangkat intelijen. Akibatnya, batas antara ”tersangka” dan ”tidak tersangka” yang tegas dibedakan oleh hukum menjadi kabur. Model pre-emptive strike ini melumpuhkan demokrasi karena negara lalu merasa perlu menangguhkan hak dan kebebasan atas nama ”keamanan nasional”. Negara juga sering memilih beraliansi dengan negara lain untuk memusuhi warganya yang dicurigai sebagai pelaku teror.
Eric Hiariej Dosen Jurusan HI UGM