Oleh Achmad Sunjayadi
Dalam kondisi seperti sekarang, siapa yang sebenarnya pantas disebut pahlawan? Dalam bahasa Indonesia, kata ”pahlawan” dari bahasa Sanskerta phala, berarti ’buah’.
Buah yang pada masa silam menjadi komoditas rebutan bangsa asing (Eropa) hingga rela berlayar ribuan mil dari negeri asal mereka menuju benua baru. Kata phala lalu ditambah akhiran –wan yang juga berasal dari bahasa Sanskerta untuk menyebut orang terkait. Jadi, kata ”pahlawan” dapat dipahami sebagai orang yang dari dirinya dihasilkan buah karya berkualitas unggul bagi suatu kepentingan baik bangsa, negara, dan agama.
Dalam benak kita kata ”pahlawan” seperti tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bermakna pejuang yang gagah berani, orang yang menonjol keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Dengan kata lain kata ”pahlawan” dipakai untuk menyebut seseorang yang memiliki sifat sebagai warga bangsa yang ideal, baik fisik maupun nonfisik. Selain itu seorang pahlawan juga memiliki kriteria dan ciri unggul seolah di atas kemampuan manusia biasa dan cenderung ”berlebihan”.
Dalam bahasa Inggris dikenal istilah hero yang biasanya muncul dalam karya sastra atau epos. The Glossary of Literary Terms menyebutkan istilah hero dipakai dalam mitologi klasik yang mengacu pada tokoh yang mempunyai kekuatan melebihi manusia biasa bahkan tokoh setengah dewa, seperti Achilles, Thesus, maupun Hercules.
Pada masa modern, saat Amerika Serikat dilanda krisis akibat malaise pada awal tahun 1930-an, dimunculkan seorang tokoh (komik) superhero yang berasal dari planet lain dan bertugas membela kebenaran di bumi. Tokoh ini kelak dikenal sebagai Superman yang digambarkan memiliki dua kehidupan. Pada satu sisi ia menjadi manusia biasa yang bernama Clark Kent dan bekerja sebagai reporter surat kabar, sedangkan pada sisi yang lain ia menjadi Superman, tokoh pahlawan yang bisa terbang.
Obama
Pada krisis di Amerika saat ini, entah siapa yang akan dimunculkan sebagai superhero baru. Apakah Barack Obama? Atau akan muncul tokoh komik baru jika Obama kelak tak mampu mengatasi krisis?
Hal yang menarik adalah dalam historiografi suatu bangsa, individu yang dianggap ”penjahat” dapat menjadi ”pahlawan”. Di sini unsur politis (bangsa) yang berbicara. Misalnya dalam historiografi Indonesia, tokoh seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Pattimura, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin disebut sebagai ”pahlawan”. Namun, dalam historiografi Belanda, mereka disebut sebagai ”pemberontak” atau ”penjahat” yang mengganggu ketenteraman pemerintah kolonial.
Sementara itu, dalam historiografi Belanda, Pangeran Willem van Oranye, pendiri dinasti Oranye yang berkuasa sekarang, menurut historiografi Spanyol, justru dianggap ”pemberontak” bukan pahlawan. Karena pada abad ke-17 ia dianggap memberontak terhadap kekuasaan Spanyol yang diwakili Philip II. Nama Willem van Oranye juga diabadikan dalam lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus.
Di Indonesia tidak sembarang orang dapat disebut pahlawan. Penyebutan dan pengangkatan seseorang menjadi pahlawan diatur pemerintah yang dituangkan dalam Keppres, seperti Keppres No 657/1961 tentang penetapan tokoh-tokoh: Dr Sutomo, Kiai Ahmad Dahlan, dan KH Agus Salim sebagai ”Pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Nasional”. Keppres itu didasarkan ketentuan yang terkait ”pahlawan” yaitu Keppres No 217/1957 dan No 241/1958 tentang Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Seiring kebijakan otonomi daerah, setiap daerah di Indonesia pun berupaya mencari tokoh pu- tra daerah yang dapat dijadikan ”pahlawan”. Maka dicarilah jejak jasa-jasa mereka pada masa lalu sebagai bahan pertimbangan untuk diangkat menjadi pahlawan, baik melalui sumber lisan maupun mengorek data tumpukan arsip berdebu. Adapun mereka yang jelas telah berjasa membutuhkan waktu untuk diangkat menjadi pahlawan. Meskipun sebenarnya pengakuan dari masyarakatlah yang lebih penting.
Sekarang, bagaimana dengan diri kita, apakah dengan sengaja menanam jasa dan kelak menuainya sebagai pamrih untuk mendapat predikat ”pahlawan”? Atau kita tetap berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara sesuai dengan bidang keahlian masing-masing tanpa memikirkan jasa atau pamrih di masa depan?
Achmad Sunjayadi Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta