Oleh A Prasetyantoko
Di tengah gejolak finansial global, Paul Krugman, profesor ekonomi Princeton University sekaligus kolumnis The New York Times, menerima Nobel Ekonomi. Apa pesan di balik itu?
Krugman bukan ahli keuangan, dia tokoh penting perdagangan internasional. Bersama Maurice Obstfeld, dia menulis buku klasik yang menjadi teks penting di ruang kuliah, International Economics: Theory and Policy.
Kita patut gelisah, ekonomi global tak henti bergejolak. Indeks Dow Jones memang sudah naik (rebound) 11 persen, pascalongsor tajam. Dan meski Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah mencairkan 250 miliar dollar AS dari komitmen dana talangan 700 miliar dollar AS untuk membeli saham-saham bermasalah sektor perbankan, pasar saham tetap tak bergairah.
Pasalnya, krisis telah merambat ke sektor riil. Prospek laba para emiten mengecil sehingga harga sahamnya sulit terangkat lagi. Kemeriahan pasar finansial sudah berakhir. Perusahaan otomotif terbesar, General Motor (GM), Ford, dan Chrysler menunjukkan penurunan penjualan. Akibatnya, GM dan Chrysler berencana merger. Setelah penggabungan perbankan, kini giliran sektor industri nonfinansial, termasuk otomotif.
Di Jepang, buruknya tingkat penjualan Sony (elektronik) serta Honda dan Toyota (otomotif) membuat indeks Nikkei 225 turun 10 persen. Dilaporkan, Toyota mengalami penurunan penjualan sebesar tujuh persen. Siklus resesi dunia terasa kian dekat dan kita harus siap dengan efek putaran kedua (second round effect) yang ditimbulkan.
Resesi ekonomi
Kita baru saja menyelesaikan perubahan RAPBN 2009 dengan beberapa penyesuaian penting. Target pertumbuhan ekonomi diturunkan dari 6,3 menjadi 5,5-6,1 persen, inflasi dipatok 6,2 persen dan nilai tukar rupiah Rp 9..400 per dollar AS. Sementara suku bunga SBI tiga bulan ada di posisi 7,5 persen. Realistiskah target ini?
Target pertumbuhan ekonomi dengan rentang cukup lebar ini mencerminkan ketidakpastian, sekaligus kegamangan pemerintah. Banyak pihak menilai target itu terlampau ambisius di tengah perlambatan ekonomi global. IMF memperkirakan ekonomi global 2009 hanya akan tumbuh 0,5 persen setelah tahun ini tumbuh 1,5 persen.
Pemerintah optimistis fundamental ekonomi kita kokoh dan gejolak finansial global tidak akan terlalu berimbas. Dalam jangka pendek mungkin benar, tetapi dalam jangka panjang sulit terhindar. Bahkan mungkin, pengaruh sebenarnya sedang dimulai. Harian The New York Times (15/10) menyindir melalui tulisan, ”Siapa Korban Gejolak Finansial Berikutnya: Gaji Anda”. Artinya, kekacauan sektor finansial sedang merembet ke sektor riil.
Pasar modal kita yang sempat terpuruk tajam cenderung membaik seiring stabilnya pasar finansial global. Pukulan dampak putaran pertama (first round effect) lewat jalur finansial bisa teratasi. Namun, buruknya kinerja sektor riil di negara maju jauh membuat perekonomian kita tertekan. Jika ambruknya pasar modal hanya akan berpengaruh pada segelintir orang, resesi di sektor riil akan menyengsarakan sebagian besar penduduk.
Perekonomian negara maju (AS, UK, Uni Eropa, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru) setara 55 persen total PDB global. Bisa dibayangkan, jika perekonomian melambat, dampaknya amat signifikan bagi perekonomian negara berkembang.
Memang faktor Brasilia, Rusia, India, dan China (BRIC) tidak bisa dilupakan. Namun, jika siklus di semua negara maju melambat, keempat negara itu juga akan terkoreksi. Dulu pernah muncul tesis tentang berpisahnya perekonomian BRIC terhadap negara maju (decoupling). Tesis itu runtuh dalam jalur finansial. Setiap gejolak di bursa saham negara maju selalu diikuti volatilitas bursa negara berkembang. Dari jalur finansial justru yang terjadi adalah konvergensi (recoupling). Apa yang akan terjadi pada jalur perdagangan?
Jika produk China tertekan karena perlambatan negara maju, ke mana akan meluap? Mungkin, kita akan kebanjiran produk China, muntahan dari negara maju, seiring perlambatan ekonomi di semua kawasan dunia.
Kembali ke sektor riil
Pemerintah jangan hanya panik dengan gejolak di bursa saham, sektor riil menanti respons tak kalah penting. Dan, jangan pernah (lagi) mengorbankan sektor riil demi pemulihan pasar saham yang bersifat sementara. Kepanikan jangan dibayar dengan biaya fundamental.
Selain kebijakan kenaikan suku bunga yang ”melawan arus” dari kecenderungan hampir semua negara, kebijakan beli balik saham BUMN (buy back) juga dinilai ”mengkhianati” sektor riil. Pola kebijakan itu menunjukkan pemerintah rela membayar mahal untuk sebuah kepanikan. Sementara alokasi untuk pengembangan usaha dan investasi riil justru dianggap kurang penting.
Apakah beli balik bisa memulihkan kepercayaan pasar? Jumlah yang disediakan terlalu kecil dalam skala kapitalisasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Jadi, terlalu berlebihan jika dikatakan, membaiknya indeks karena beli balik. Sebenarnya untuk kepentingan siapa kebijakan itu?
Belajar dari Paul Krugman, ada filosofi ekonomi yang harus ditanam kembali; sektor finansial harus ditempatkan sebagai penyokong sektor riil. Sebab, ekonomi bukan hanya perdagangan uang, tetapi aktivitas produksi dan pertukaran barang/jasa. Penghargaan Nobel Ekonomi mendorong kembali ke perdagangan, bukan sektor finansial.
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta