Oleh Rhenald Kasali
Belakangan ini makin banyak kita saksikan pemimpin yang ”sakit”. Setiap kali tidak terpilih sebagai pejabat publik, perilaku-perilaku buruk dipertontonkan kepada publik, mulai dari mengancam (bunuh diri, menyerang, dan mengerahkan massa) sampai mengacaukan. Bahkan, pada level presiden yang bergantian pun saling tak bertegur sapa.
Bahasa-bahasa negatif, penuh ancaman, sinis, dan sebagainya ditiru di mana-mana. Dengan mudah orang-orang yang kalah mengevaluasi dan memberi nilai pada kepemimpinan orang yang terpilih dan seakan-akan merekalah guru besarnya.
Penyakit seperti ini sering tidak dirasakan karena yang merasakan tidak enak bukan penderita, tetapi masyarakat yang dipimpin. Penderita itu adalah pemimpin dan calon pemimpin. Mereka semua telah mewarnai perubahan, yaitu perubahan destruktif dan problematik. Untuk menjadikan Indonesia lebih baik diperlukan leadership therapy. Mungkin terapi ini bukan untuk pemimpin, tetapi perlu bagi para calon pemimpin masa depan.
”Leadership therapy”
Kata leadership therapy pertama-tama diperkenalkan Anna Rowley yang direkrut Microsoft sebagai psikolog untuk menerapi para eksekutifnya. Saat itu Rowley dilibatkan untuk menangani para pemimpin perusahaan yang kelihatannya bekerja amat keras, tetapi tidak efektif. Banyak orang menghabiskan waktunya sia-sia dan tidak menyadari bahwa cara yang ditempuh menyakiti orang lain.
Maka, terapi atau penyembuhan yang berulang-ulang dibutuhkan. Kunci untuk memahami mengapa seseorang melakukan atau merasakan sesuatu dibuka. Ternyata sumber itu terletak pada pikiran-pikiran otomatik dan kebiasaan yang dibentuk oleh core belief. Apa yang kita percayai, otomatis membentuk kita.
Rowley mengajak eksekutif Microsoft berdiskusi. Hasilnya sungguh menakjubkan. Ternyata tidak semua pemimpin punya percaya diri yang kuat, sebagian bahkan tidak punya self esteem (penghargaan diri). Ada juga pemimpin yang takut sukses dan gagal. Latar belakang dan pengalaman hidup seseorang membentuk nilai-nilai yang dianut orang itu.
Fakta berikut ini tak dapat dimungkiri: tidak semua pemimpin itu ”menjadi”, melainkan dibentuk orang lain. Bukan karena pengaruhnya yang kuat seseorang menjadi pemimpin, tetapi karena pemberian berupa posisi/jabatan, seseorang merasa menjadi punya pengaruh. Bukan karena kinerja, tetapi karena upaya kelompok, massa, atau keluarga seseorang dinobatkan menjadi pemimpin. Dalam pandangan JC Maxwell, pemimpin demikian disebut sebagai pemimpin terendah (pemimpin level 1).
Bisa dibayangkan para pemimpin demikian hidupnya amat tegang, mudah tersinggung atau menarik diri, tidak punya pijakan kuat, dan dapat menyakiti masyarakatnya karena jiwanya labil. Amarah tak terkendali, kegagalan tak dapat diterima. Pengakuan terhadap keberhasilan orang lain minim sekali.
Sumber kekecewaan
Belum lama ini saya menguji mahasiswa dengan meminta mereka menjelaskan apa yang mereka ketahui dari buku yang wajib dibaca. Setelah itu mereka diminta memberi nilai sendiri. Sebagian besar mampu memberi nilai yang obyektif. Apa yang mereka nilai tentang kemampuan diri mereka sama dengan yang saya nilai. Namun, semakin banyak saya temui orang-orang yang menulis seadanya, pikirannya kosong tetapi memberi nilai diri sendiri yang tinggi. Misalnya, saya menilai diri mereka hanya 35 (dari skor 100), sedangkan orang ini menilai dirinya 80.
Orang-orang seperti ini jelas akan menghadapi banyak masalah. Mestinya, jika kompetensinya kurang, seseorang merasa malu dan perlu melatih diri lebih keras lagi, bukannya menuntut penghargaan. Di luar dugaan, belakangan ini ada banyak sekali perilaku demikian di dalam masyarakat. Ekspektasi yang tidak realistis seakan-akan bisa dicapai dengan berbagai cara. Mulai dari pemakaian ijazah palsu, iklan personal yang manipulatif, sampai penolakan terhadap pentingnya syarat tingkat pendidikan tinggi untuk menduduki jabatan publik.
Orang seperti ini ada di mana-mana. Di partai, pemerintahan, dunia buruh, sampai mahasiswa. Perilaku seperti ini telah menyebar bak penyakit menular.
Selain itu, juga banyak ditemui berbagai serangan terhadap orang yang berkompeten dan bekerja keras. Perekonomian Indonesia menjadi janggal karena tidak didasarkan oleh prestasi. Kaum berprestasi (achievers) tersingkir keluar dan tidak mempunyai habitat yang layak. Panggung dikuasai para medioker yang sakit.
Mereka yang tak berkompeten atau tak mau bekerja keras, tetapi mengharapkan hasil yang tinggi kelak akan mengalami kekecewaan demi kekecewaan. Rasa tidak puas jika tidak terpilih akan diungkapkan dalam ucapan-ucapan negatif.
Pemimpin yang tidak puas
Pemimpin yang percaya diri akan memiliki keteguhan (confident) dan merasa mampu menyelesaikan tugas dengan berhasil. Mengapa mampu? Karena berkompeten dan tahu apa yang harus dilakukan. Kompetensi seseorang tidak dapat diperoleh jika tidak didukung core belief yang kuat. Kompetensi yang tidak didukung core belief yang kuat sama dengan orang yang membangun rumah di atas pasir.
Itu sebabnya kinerja di dunia usaha lebih mudah dicapai karena kepemimpinan didasarkan kompetensi dan kompetensi dilihat dari hasil yang dicapai. Pada tatanan kenegaraan, situasinya menjadi lebih kompleks karena interpretasi terhadap kinerja yang dicapai oleh pemimpin dilakukan dengan persepsi yang dibingkai kepuasan berbeda-beda.
Pemimpin yang puas merespons keadaan berbeda dengan yang tidak puas. Mereka yang puas dengan dirinya cenderung lebih percaya diri dan lebih percaya terhadap orang lain. Mereka yang tidak puas, apakah karena kalah bersaing, tidak terpilih (dan tidak mempunyai alternatif pilihan) cenderung memiliki esteem (penghargaan) diri yang rendah.
Maka tak mengherankan jika orang- orang terhormat, elite, cendekiawan, atau politisi yang tidak puas dengan kinerjanya menjadi kritikus kasar, negatif, dan selalu menyalahkan orang lain. Saya mengamati, hal seperti ini sudah menjalar ke mana-mana. Jika ini sudah mengontaminasi organisasi Anda, saatnya untuk mencari mentor dan mengikuti terapi agar segera sembuh dari benih-benih negatif.
Terapi itu harus dimulai dengan mengkaji core belief, memeriksanya satu per satu. Saya sering menyebut proses ini sebagai re-setting value atau mengeset ulang nilai-nilai. Semua orang terbentuk dari nilai-nilai yang dianutnya dan nilai- nilai itu bisa terkontaminasi dari apa yang dilihat sehari-hari, dari para pemimpin yang gagal dan tidak puas. Semua yang terkontaminasi perlu disucikan kembali agar kembali sehat dan bersih.
Rhenald Kasali Mengajar Manajemen Perubahan di Universitas Indonesia