Oleh Deden Rukmana
Pembangunan jalan tol trans-Jawa sepanjang 652 kilometer dari Cikampek, Jawa Barat, sampai Surabaya, Jawa Timur, dianggap kunci perkembangan ekonomi di Pulau Jawa, khususnya sektor industri.
Para perencana dan pengambil keputusan menganggap, saat ini, prasarana transportasi—khususnya jalan raya—tidak mendukung perkembangan industri untuk bersaing global. Kini, kondisi jalan raya di Pulau Jawa dianggap penghambat daya saing sektor industri. Apakah pembangunan jalan tol trans-Jawa menjadi solusi terbaik perkembangan ekonomi di Pulau Jawa?
Dalam pembangunan berkelanjutan di Pulau Jawa, layakkah pembangunan tol Trans-Jawa ini? Harian Kompas, (17/11/2008) memaparkan, jalan tol trans-Jawa akan mengonversi 655.400 hektar lahan pertanian. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional, mengingat peran Pulau Jawa memasok 53 persen kebutuhan pangan nasional.
Konversi lahan pertanian sebanyak itu akan terus bertambah seiring pembangunan sektor perkotaan sepanjang jalan tol itu, khususnya di pintu-pintu keluar tol. Konversi guna lahan juga akan berpengaruh terhadap perubahan struktur mata pencarian penduduk. Dipastikan tenaga kerja sektor pertanian di Pulau Jawa akan banyak beralih ke perkotaan. Lambat laun pertanian di Pulau Jawa menjadi sektor marjinal dan menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional.
Kereta api
Di AS, pembangunan jalan bebas hambatan antarnegara bagian (interstate highways) dimulai tahun 1956 dan bukan menjadi kunci utama perkembangan sektor perkotaan. Jauh sebelum moda transportasi jalan raya berkembang, sistem perkeretaapian menjadi kunci perkembangan sektor perkotaan di AS sejak pertengahan abad ke-18.
Sistem kereta api di AS menghubungkan sebagian besar wilayah AS dari kota-kota di pantai Timur ke pantai Barat. Kota-kota besar, seperti Chicago, Detroit, dan Atlanta, adalah contoh kota yang berkembang pesat karena prasarana kereta api. Perkembangan moda transportasi darat dan pembangunan jalan bebas hambatan menjadi alternatif untuk mendistribusikan bahan baku dan produk industri tanpa mematikan peran kereta api.
Dengan menghangatnya isu pemanasan global dan krisis energi, keberadaan jalan-jalan bebas hambatan di AS ditengarai sebagai penyebab tingginya penggunaan bahan bakar minyak dan emisi karbon dioksida. Jalan-jalan bebas hambatan itu menyebabkan berkembangnya kawasan permukiman di suburb dan pertumbuhan kawasan perkotaan yang kian sprawling. Pertumbuhan kota-kota ini menyebabkan pelayanan transportasi publik tidak efisien dan kian meningkatkan ketergantungan penduduk terhadap penggunaan kendaraan pribadi.
Konsumsi bahan bakar
Indonesia seharusnya mencontoh eksternalitas negatif pembangunan jalan bebas hambatan di AS. Pembangunan jalan tol trans-Jawa bukan hanya mengancam ketahanan pangan nasional akibat konversi lahan pertanian dan tenaga kerja pertanian ke sektor perkotaan, tetapi juga akan kian meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak akibat peningkatan penggunaan moda transportasi jalan raya.
Dampak negatif pembangunan tol trans-Jawa ini akan bertambah bila kita menghitung dampak lingkungan dari berkurangnya lahan terbuka hijau, termasuk hutan dan perkebunan di Pulau Jawa. Pembangunan jalan tol juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di sepanjang jalan tol yang akan menjadi sprawling.
Alternatif yang bisa disampaikan untuk meningkatkan perkembangan perekonomian di Pulau Jawa adalah mengembangkan sistem perkeretaapian.
Pengembangan jalur ganda rel kereta api di Pulau Jawa dapat menjadi alternatif utama untuk membantu distribusi bahan baku dan produk dari sektor industri di Pulau Jawa. Begitu pula dengan mengaktifkan kembali jalur-jalur kereta api yang dulu sempat dibangun Belanda. Pengembangan rel ganda kereta api tidak akan mengonversi lahan pertanian sebanyak pembangunan jalan tol. Pengembangan sistem perkeretaapian juga tidak akan mengonsumsi energi sebanyak konsumsi moda transportasi jalan raya.
Secara ringkas dapat disampaikan, pembangunan jalan tol trans-Jawa bukan solusi yang berkelanjutan untuk mengembangkan perekonomian di Pulau Jawa. Solusi ini hanya menjadi ancaman bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Pembangunan jalan tol trans-Jawa lebih banyak ruginya bagi kepentingan nasional. Sebagai alternatif, kita dapat mempertimbangkan pengembangan sistem perkeretaapian yang lebih hemat energi dan tidak mengonversi banyak lahan pertanian.
Deden Rukmana Koordinator Program Pascasarjana Studi dan Perencanaan Kota di Savannah State University, Amerika Serikat