A Tony Prasetiantono - Beda Krisis 2008 dengan 1998

Judul : Beda Krisis 2008 dengan 1998
Sumber : Kompas, Rabu, 5 November 2008

Oleh A Tony Prasetiantono

Saya setuju dengan pendapat yang menyatakan, tidak akan pernah ada krisis ekonomi yang berulang dan sama persis kejadiannya. Setiap krisis pasti memiliki karakteristik yang khas dan unik. Misalnya, depresi ekonomi dunia tahun 1930-an, pasti sulit dibandingkan dengan krisis finansial 2008, baik dari sisi kausalitas, besaran, maupun implikasinya.

Meski demikian, kita tetap bisa mempelajari (lesson learned) krisis-krisis pada masa lalu sebagai bekal untuk menghadapi krisis terkini dan antisipasi pada masa datang. Masih banyak hal yang tetap relevan meski krisis sebelumnya terjadi jauh di belakang, pada masa yang berbeda, dengan setting dan konteks berbeda. Itu tak menghalangi kita untuk mempelajari, membandingkan, dan menentukan langkah-langkah yang seyogianya ditempuh.

Ekuilibrium baru rupiah

Merosotnya rupiah yang kemarin menembus Rp 11.000 per dollar AS (4/11/ 2008), mau tak mau membangkitkan ingatan kita pada kenangan buruk krisis 1998. Kini orang mulai bertanya-tanya, akankah kita bakal mengalami deja vu alias mengulang pengalaman 1998? Apakah rupiah bakal terus terpuruk hingga level seperti dulu, misalnya Rp 15.000 per dollar AS?

Hal paling utama yang membedakan krisis ekonomi 2008 dengan 1998 adalah faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos), yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia.

Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality).

Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp 17.000 per dollar AS (Januari 1998). Dari perspektif ekonomi, cukup sulit untuk dijelaskan mengapa rupiah bisa terpuruk sedemikian besar. Kalaupun nilai rupiah sebelumnya dianggap terlalu mahal (overvalued), koreksi itu terlampau besar. Satu-satunya penjelasan hanyalah: dalam situasi kekacauan politik, rupiah bisa merosot berapa saja. Ini soal politik!

Kini, situasinya berbeda. Memang ada kecemasan terhadap kondisi ekonomi global dan nasional, tetapi sejauh ini tidak terkontaminasi dengan faktor politik. Akibatnya, koreksi kurs rupiah, dari level Rp 9.200 per dollar AS (sebelum bangkrutnya Lehman Brothers, 15 September 2008) menjadi kini Rp 11.000 per dollar AS, relatif bisa dijelaskan.

Sebelum ini, rupiah sebenarnya sudah overvalued. Setidaknya ada dua indikasinya.

Pertama, neraca perdagangan (selisih antara ekspor dan impor) terus melemah. Impor terus meningkat cepat, menjadi rata-rata 11 miliar dollar AS per bulan. Pada periode Januari-September 2008, surplus ekspor kita hanya sembilan miliar AS (ekspor 107 miliar dollar AS, dan impor 98 milar dollar AS). Ini kemunduran besar karena surplus ekspor pada 2007 dan 2006 masing-masing 40 miliar dollar AS.

Terlalu kuatnya rupiah (dan sebaliknya terlalu lemahnya dollar AS) menyebabkan masyarakat kita menjadi terlalu konsumtif terhadap produk-produk impor. Dalam rupiah, barang-barang impor menjadi terasa murah. Akibatnya, impor ”meledak”. Untuk menghambat melonjaknya impor, rupiah perlu dikoreksi, berupa depresiasi.

Kedua, Indonesia ternyata merupakan salah satu emerging countries yang tidak kebal dalam hal inflasi. Negara emerging market yang paling tinggi inflasinya adalah Vietnam, dengan 25 persen. Inflasi Indonesia kini sekitar 12 persen. Padahal, inflasi AS, meski tertekan berat harga minyak dunia, ”hanya” lima persen (level ini termasuk tinggi untuk ukuran AS, yang inflasi normalnya dua persen).

Dengan asumsi ceteris paribus (faktor- faktor lain yang bisa berpengaruh tidak mengalami perubahan), mestinya rupiah harus didepresiasi, misalnya dengan tujuh persen. Jika sebelumnya kurs rupiah Rp 9.300 per dollar AS, kurs baru yang wajar sekitar Rp 10.000 per dollar AS.

Kejadian ini juga menimpa banyak mata uang lain, khususnya mata uang kuat (hard currencies). Contohnya, poundsterling yang pernah sedemikian kuat kursnya (hampir dua dollar AS per sterling) kini terkoreksi menjadi 1,5 dollar AS. Euro yang pernah amat kuat hingga 1,6 dollar AS per euro juga terkoreksi menjadi 1,25 dollar AS per euro. Begitu pula dollar Australia, yang kursnya nyaris sama dengan dollar AS, kini tinggal 0,6 dollar AS per dollar Aussie. Rata-rata berbagai mata uang itu terdepresiasi sekitar 25 persen.

Semua negara itu, ketika mata uangnya overvalued (sebaliknya dollar AS undervalued) mengalami masalah dalam neraca perdagangannya. Inggris, Zona Euro, dan Australia mengalami defisit perdagangan. Inggris menjadi yang terburuk, dengan defisit 189 miliar dollar AS.

Berdasarkan analisis ini, secara alamiah, sekarang ini sedang terjadi proses koreksi, atau mencari ekuilibrium baru mata uang berbagai negara. Mata uang yang semula overvalued (misalnya poundsterling, euro, dollar Aussie, dan rupiah) harus terdepresiasi. Sebaliknya, dollar AS yang semula tertekan dan undervalued kini mengalami rebound atau terapresiasi. Proses ini akan terus berlangsung hingga suatu saat menemukan titik keseimbangan baru.

”Blanket guarantee”

Selain faktor koreksi kurs, depresiasi rupiah juga disebabkan dua hal.

Pertama, euforia pemilihan presiden AS pada 4 November 2008 telah menimbulkan tumbuhnya harapan-harapan baru terhadap masa depan perekonomian AS. Untuk sementara, banyak orang memindah kekayaannya menjadi dollar AS.

Kedua, penjaminan simpanan di bank hanya sampai Rp 2 miliar per rekening. Menurut data Lembaga Penjaminan Simpanan, sebanyak 99,02 persen penabung kita rekeningnya di bank senilai di bawah Rp 2 miliar. Jadi, jika pemerintah menjamin simpanan hingga Rp 2 miliar, itu berarti melindungi mayoritas nasabah.

Cara pandang ini sepintas tampaknya sudah benar. Namun, tunggu dulu. Ternyata dari hanya 0,08 persen nasabah penabung—yang terdiri dari 61.000 rekening (baik institusi maupun perorangan)—nilai tabungannya mencapai Rp 600 triliun. Jumlah ini amat signifikan dan amat berpotensi untuk dilarikan ke luar negeri (capital flight).

Terlebih pada saat sekarang, dua tetangga terdekat sekaligus kompetitor terberat dalam menarik dana asing jangka pendek, yakni Singapura dan Malaysia, sudah menjamin 100 persen simpanan di bank (blanket guarantee), hingga tahun 2010. Kendati kita menyadari skema itu rawan moral hazard (bankir bisa berkurang kehati-hatiannya), tetapi kita tak bisa menundanya karena kompetitor sudah melakukannya.

Dugaan saya, skema blanket guarantee akan banyak membantu upaya memperkuat kurs rupiah karena tekanan pull out (penarikan dana dari bank-bank kita untuk ditempatkan di luar negeri) akan berkurang. Jika rupiah menguat, misalnya stabil di ekuilibrium baru Rp 10.000 per dollar AS, maka ”operasi” penurunan suku bunga pun bisa mulai dilakukan.

Kita berharap BI rate tahun depan kembali ke level 8 persen. Inilah momentum yang harus segera diciptakan bersama oleh pemerintah dan Bank Indonesia sehingga rupiah tidak akan deja vu ke era 1998.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI