M Alfan Alfian - Langkah Politik Raja Jawa

Judul : Langkah Politik Raja Jawa
Sumber : Kompas, Selasa, 4 November 2008

Oleh M Alfan Alfian

Akhirnya Sultan Hamengku Buwono X mengumumkan kesediaannya untuk dicalonkan menjadi presiden. Keputusan itu muncul dalam Pisowanan Ageng di Yogyakarta, 28 Oktober 2008.

Ini berarti Sultan telah menegaskan posisi politiknya. Kepastian maju merupakan modal untuk melangkah, menepis keraguan publik yang mengidolakan. Dengan pengumuman itu, Sultan melangkah lebih maju, kalau bukan lebih jauh, dalam politik praktis dengan target yang jelas.

Namun, bukan hal mudah bagi Tim Sukses Sultan untuk memobilisasi dukungan partai politik. Sejauh ini, baru Partai Republika Nusantara yang bersedia mengusung. Partai Golkar, tempat Sultan beraktivitas, belum menentukan dukungan. Jadi, dukungan partai masih spekulatif. Sultan masih menunggu kepastian hasil pencalonannya hingga pascapemilu legislatif 2009.

Desakralisasi

Dengan keputusan politis itu, Sultan rela ”melepas” simbol kebesaran sebagai raja sebab dalam demokrasi berlaku prinsip egalitarianisme. Desakralisasi atas Sultan—yang diagungkan secara kultural—terjadi saat menjadi menjadi ”manusia biasa” atau ”manusia politik” yang berebut legitimasi rakyat. Demokrasi tak memandang para ”pemain” di dalamnya sebagai Sultan atau bukan Sultan. Siapa yang banyak didukung, dialah yang menang.

Sultan menyatakan siap dengan segala konsekuensinya. Namun, sementara kalangan ”rakyat”-nya, ada yang ngeman, tak rela jika kelak Sultan kalah. Seharusnya Sultan konsisten di wilayah dan simbol kultural. Namun, Sultan telah kuat tekadnya.

Kini, yang penting bagi Sultan, bagaimana mampu memunculkan pengaruh yang menguntungkan atas pemosisiannya sehingga melipatgandakan ”dukungan”. Timnya pasti akan bekerja sesuai nalar marketing politik, melakukan langkah-langkah terukur. Secara popularitas, Sultan cukup dikenal. Namun, popularitas saja belum final. Apakah rekam jejak Sultan akan diapresiasi positif dan orang akan memilihnya?

Sementara kalangan menghitung, Sultan memiliki kelebihan, antara lain karena ia seorang raja Jawa. Dalam komunitasnya, ia memiliki karisma dan dianggap amat layak sebagai tokoh alternatif pembawa perubahan.

Meski demikian, bisa jadi variabel ”raja Jawa” itu merupakan kekurangannya. Variabel itu membuat berat sosok Sultan. Dengan mau berkiprah di politik praktis, stasiun kebesarannya turun. Sultan telah ”melempar dadu”, berspekulasi dalam permainan demokrasi langsung, yang membuatnya bekerja keras dalam iklim yang ekstrakompetitif.

Kalkulasi politik

Tentu saja Sultan tak bisa dikatakan ”asal maju dan tanpa perhitungan”. Sultan dan timnya telah menakar risiko. Hanya aneh, terkesan Sultan mempunyai ”ambisi politik”. Hal itu coba dipatahkan dalam kemasan Pisowanan Ageng. Sultan terkesan tak kuasa menolak desakan ”rakyat” agar siap dicalonkan sebagai presiden. Namun, dengan itu justru hakikat kesultanan yang kultural dan ”sakral” terdekonstruksi.

Atas perkembangan politik Sultan pasca-Pisowanan Ageng, ada beberapa hal yang perlu dilihat. Pertama, fluktuasi popularitas dan perkiraan elektabilitas politik Sultan. Pasti ada reaksi atas keputusan Sultan: ada yang suka dan tidak suka. Soal ini lembaga-lembaga survei akan mengonfirmasikannya.

Kedua, apresiasi dan akhirnya dukungan partai-partai. Hal ini akan terus berproses.

Ketiga, analisis dan simulasi komposisi pasangan. Siapa pasangan tepat mendampingi Sultan bukan hal sederhana. Sultan memosisikan diri sebagai calon presiden, membuat partai-partai politik tertentu menjadi dilematis. Sementara kalangan di Partai Golkar yang menginginkan pasangan Jusuf Kalla-Sultan, misalnya, akan kecewa jika Sultan hanya sebagai capres.

Keempat, analisis pesaing. Pesaing Sultan tidak bisa dipandang ringan. PDI-P kembali mencalonkan Megawati Soekarnoputri. Partai Demokrat mantap dengan Susilo Bambang Yudhoyono. PAN mengelus ketua umumnya, Soetrisno Bachir. PKS ”menetapkan” banyak nama sebagai kandidat capres. Bersandar pada partai- partai baru tampak berisiko. Jangan-jangan perjuangan Sultan akan langsung anjlok pascapemilu legislatif.

Namun, kita masih akan mencermati, bagaimana langkah Sultan selanjutnya. Bagaimana pula partai-partai politik dan rakyat.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta