Oleh Hasrul Halili
Kontroversi RUU MA terus bergulir. Yang banyak diperbincangkan adalah soal perpanjangan usia hakim agung.
Selain isu usia, RUU MA juga mengandung beberapa kelemahan yang jika tidak dibenahi, bisa melahirkan komplikasi masalah. Memang, proses dan substansi RUU perlu dikritisi karena prosesnya sarat manuver mencurigakan dan substansinya ”antireformasi peradilan”.
Dari segi proses, ada dua hal penting. Pertama, pembahasan dilakukan tertutup, terburu-buru, dan nirpartisipasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan, motif apa yang memaksa DPR melakukannya? Mungkin DPR berargumentasi, urgensitas pengesahan UU MA adalah alasannya.
Argumentasi ini mudah dibantah. Alasannya, revisi UU MA harus diletakkan dalam konteks putusan Mahkamah Konsitusi (MK) terkait judicial review UU KY. Seperti diketahui, meski putusan MK tentang UU KY, tetapi ia juga merekomendasikan revisi UU yang relevan, salah satunya UU MA. Jika urgensitas yang diutamakan, UU KY perlu direvisi dulu, bukan UU MA.
Lemahnya argumentasi urgensitas menggiring kecurigaan, motif apa yang mendasari DPR melakukan pembaruan peradilan selain alasan politik pragmatis? Kepentingan ”investasi politik di pengadilan” terkait kemungkinan konflik politik berdimensi hukum pada Pemilu 2009 merupakan motif yang masuk akal.
Kedua, patut dicurigai proses yang dilakukan secara tertutup, terburu-buru dan tidak partisipatif, apalagi beredar rumor suap meski hingga kini belum ada bukti. Pengungkapan aneka suap dalam proses legislasi belakangan ini seakan mengafirmasi kecurigaan itu bukan tidak ada presedennya. Terendusnya ”aroma suap” dalam RUU MA bukanlah hal baru. Tahun 2003, misalnya, isu politik uang oleh para hakim terhadap anggota DPR terkait perpanjangan usia hakim dalam revisi UU MA pernah mencuat ke permukaan.
Saat itu, Sahlan Said (seorang hakim di Yogyakarta) memberikan testimoni adanya perintah Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) kepada seluruh hakim untuk menggalang dana dengan tujuan mengubah ketentuan usia pensiun hakim. Isu itu menguap.
Catatan kritis
Dari segi substansi, RUU MA patut diberi catatan kritis.
Pertama, perubahan usia pensiun dari 65 menjadi 70 tahun. Catatannya adalah penambahan usia pensiun tidak sejalan dengan gagasan regenerasi hakim agung yang muncul akhir-akhir ini, bersamaan terpuruknya kinerja MA. Mainstream gagasan regenerasi merupakan pintu masuk purifikasi MA dari para hakim korup, dengan menghadirkan ”generasi baru” yang lebih puritan dalam sikap antikorupsi, termasuk korupsi di peradilan.
Selain itu, dari aspek momentum, perpanjangan usia juga amat tidak tepat karena bisa mendelegitimasi proses seleksi calon hakim agung yang sedang dilakukan KY. Seperti diketahui, bersamaan wacana perpanjangan usia, kini KY sedang merekrut dan mengirim calon ke DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan guna dipilih enam hakim agung. Saat ini KY juga menyeleksi tahap kedua dan menghasilkan 43 calon yang lolos seleksi administratif.
Kedua, ihwal derajat pengawasan MA. Konstruksi draf RUU menempatkan MA sebagai pengawas tertinggi di semua lingkungan peradilan. Ketentuan ini dapat menimbulkan interpretasi MA merupakan badan pengawas tertinggi sementara KY adalah subordinat pengawasan MA. Konstruksi itu merupakan ”penelikungan” terhadap konstitusi yang eksplisit menempatkan KY sebagai pengawas, sederajat dengan MA dalam fungsi pengawasan.
Ketiga, berbagai potensi masalah yang mungkin timbul dari substansi RUU MA perlu dibaca sebagai ketidaktepatan konstruksi format kekuasaan kehakiman dalam RUU MA. Ketidaktepatan itu bisa jadi disebabkan oleh proses legislasi yang dilakukan secara parsial. Revisi RUU MA tidak dilakukan dalam ”satu napas” bersama RUU MK dan RUU KY. Terkait derajat pengawasan, konstruksinya terkesan memperkokoh hegemoni MA. Namun, pada saat sama memangkas dan menyubordinasi kewenangan pengawasan KY. Dengan kata lain, pendulum pengawasan hakim diperkokoh sekaligus ditarik kembali ke MA menjadi mekanisme pengawasan internal. Adapun pengawasan KY dilemahkan sebatas pengawasan eksternal pelengkap. Ini riskan mengingat banyak pihak mengkritik ketertutupan mekanisme pengawasan internal, tidak akuntabel, dan mengedepankan esprit de corps.
Hakim ”ad hoc”
Masalah RUU MA lainnya adalah penghapusan Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU No 5/2004 tentang MA terkait pengangkatan hakim ad hoc. Penghapusan pasal ini harus dibaca sebagai ”pembonsaian” terhadap pengadilan ad hoc Tipikor. RUU MA menggerus pengadilan Tipikor. Dengan demikian dapat dikatakan, RUU MA tidak hanya antireformasi peradilan, tetapi juga ancaman serius gerakan antikorupsi.
Atas alasan inilah, RUU MA pantas ditunda dan dibahas ulang karena memiliki ”aroma aneh”, dilakukan secara parsial, dan antireformasi.
Hasrul Halili Dosen dan Kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM