Oleh A Setyo Wibowo
Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.
Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.
Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsafat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jati dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.
Utama sama dengan sukses
Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski ”moral” di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katakanlah kesuksesan.
Penting ditekankan, keutamaan dalam filsafat Yunani belum ditunggangi pemahaman modern tentang moral dan agama. Keutamaan adalah optimalnya inti kemanusiaan, tidak lebih dan tidak kurang. Penjelasan ini urgen karena masyarakat modern justru lebih concern secara instingtif pada kesuksesan hidup daripada kepada moral atau agama! Inilah ironi kita: di mulut berteriak ”moral dan agama mesti ditegakkan”, tetapi setiap hari yang diupayakan hanya kesuksesan hidup. Maka, tanpa meminggirkan pentingnya moral dan agama, mari kita tilik makna kesuksesan hidup tawaran pemikir Yunani 25 abad yang lampau.
Bagi Sokrates, keutamaan pisau adalah mengiris. Pisau bersifat optimal kalau mampu mengiris. Tumpul, pisau tidak excellent, tidak sukses. Bagaimana dengan manusia? Keutamaan manusia ada pada jiwanya. Manusia optimal, sukses adalah manusia yang hidup dengan memprioritaskan jiwanya. Inilah bagian pertama maksim, ”kenalilah dirimu sendiri”. Kita hanya menjadi manusia sukses sejauh mengakui bahwa jiwa adalah orientasi hidup kita, bukan harta benda.
Seperti makan, minuman, dan seks, uang adalah sesuatu yang kita nafsui secara tak terbatas. Nafsu (epithumia) makan memasukkan kita dalam lingkaran lapar-makan-kenyang-lapar lagi dan seterusnya. Demikian juga seks dan uang. Nafsu digambarkan murid Sokrates (Platon) sebagai gentong bocor: seberapa pun air dimasukkan, selalu minta diisi.
Sokratisme tidak membuang makan, minum, seks, dan uang. Itu semua berguna bagi hidup manusia. Namun, justru karena bersifat utilitarian, ia tidak pernah menjadi tujuan dalam diri sendiri. Hidup manusia terarah pada sesuatu yang lain: jiwanya.
Dan persis pada jiwanya inilah nafsu terdapat! Selain nafsu-nafsu itu, Platon membuat kita sadar, jiwa juga memiliki rasa bangga diri, hormat diri (thumos). Harga diri ambisinya juga tak terbatas, ia bisa membuat manusia lupa segalanya. Harga diri bisa membuat orang nekat.
Survival yang menjadi tugas penting nafsu bisa diluluhlantakkan oleh harga diri. Harga diri, yang berguna bagi pemaknaan hidup, bisa membuat manusia menghancurkan diri, sesuatu yang tidak pernah dianjurkan Sokrates dan Platon.
Rasio manusia
Tahu bahwa diri sejati adalah jiwanya, tahu bahwa jiwanya memiliki nafsu dan harga diri, maka pentinglah unsur-unsur itu diberi tahu agar ”jangan berlebih-lebihan”. Makan boleh, mencari uang boleh, tetapi jangan berlebih-lebihan. Merasa bangga, berani menentang arus juga boleh, tetapi ”secukupnya” saja.
Apa arti secukupnya? Minimalis? Siapa yang bisa mengatakan ”sudah cukup” atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk ”cukup, tahu batas”.
Bagaimana rasio bisa melakukannya? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mampu mengatakan ”cukup”. Rasio hanya bisa mengatakan ”cukup” manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaimana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.
Belajar bijaksana
Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan ”cukup”. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan ”cukup”. Semoga kapitalisme mau belajar. Sebuah harapan paradoksal karena memasukkan ”kendali negara” dalam sistem kapitalisme dianggap bunuh diri ”isme” itu sendiri.
Atau, sudah saatnya belajar bijaksana? Waspada dengan kredo kita tentang kapitalisme? Mengapa pebisnis dan penanggung jawab ekonomi negeri ini seakan lalai sila ”keadilan sosial”, horizon ultima sistem ekonomi bangsa?
Semoga kita tidak mudah percaya begitu saja hanya karena suatu ajaran tampak canggih dan dari negeri hebat, semoga kita lebih mengenali ”diri kita sendiri” sehingga hidup bersama di republik ini memiliki makna dan penuh sukses.
Menjadi manusia utama, yang sukses hidupnya, adalah harapan kita semua. Syukur-syukur ditambahi agamais dan moralis. Namun, en deça (lebih di bawah lagi) dari sikap itu, keutamaan dalam arti rasional dari Sokrates adalah apa yang kita butuhkan saat ini.
A Setyo Wibowo Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; Alumnus Universitas Paris-I, Sorbonne, Perancis