Oleh Boni Hargens
Pada tahun 2005, Indonesia masuk daftar 89 negara yang memadai tingkat kebebasan politiknya, meninggalkan 58 negara yang setengah bebas, dan 45 lainnya yang sama sekali terkekang (Freedom House, 2005).
Prestasi ini bertahan hingga 2006 dalam penelitian di 195 negara. Tahun yang sama tercatat 46 persen (2,97 miliar) penduduk dunia hidup bebas, 18 persen dalam situasi setengah bebas, dan 36 persen lainnya (2,33 miliar) dalam keterkekangan.
Di bidang ekonomi cukup kontradiktif. Studi terhadap 61 negara di dunia, Indonesia (60) berdempetan dengan Venezuela (61) di tangga terakhir dalam hal daya saing (business competitiveness rangking). Indonesia tertinggal dari tetangga lain di Asia Tenggara, seperti Singapura (3), Thailand (27), Malaysia (28), dan Filipina (49). Dalam hal kemudahan berbisnis, Indonesia di posisi 135 dari total 175 negara, selangkah lebih baik dari Guyana (136), tetapi lebih buruk dari India (134).
Data ini tidak melegakan. Di bidang politik kita bebas, tetapi di bidang ekonomi terbelenggu masalah. Lalu, apa arti kebebasan? Jika betul kebebasan berbanding lurus dengan laju pembangunan (Amartya Zen, 1996), mengapa di Indonesia yang kian bebas, pembangunannya justru makin lamban? Indonesia, boleh jadi tantangan tersendiri bagi Zen bahwa korelasi kebebasan dan pembangunan mungkin tak selalu mutlak. Kebebasan selalu membutuhkan variabel lain. Dua aspek yang paling relevan di sini, yakni kepemimpinan kuat dan ethical awareness, kesadaran etis.
Pemimpin ideal
Kebebasan menjadi pepesan kosong ketika tidak disertai ketegasan, pemahaman komprehensif, dan kesadaran moral dalam berkuasa. Tanpa tendensi menuduh siapa yang salah di balik stagnasi yang cukup lama (1998-2008), mewujudkan ide kepemimpinan dalam rangka pembangunan adalah keutamaan. Seratus tahun lalu (1908), Boedi Oetomo bangkit dengan komitmen tanpa pamrih demi Indonesia. Dan, 20 tahun kemudian, 80 tahun lalu, kaum muda bersumpah untuk membangun Indonesia yang punya jati diri.
Maka, revitalisasi dan rekontekstualisasi semangat para pendahulu diperlukan, yakni menghidupkan lagi semangat juang Boedi Oetomo yang hampir tak dimiliki para pemimpin sesudahnya dan mengontekstualkan semangat yang dulu dengan pemaknaan baru yang lebih mendalam. Di sinilah pentingnya berbicara kepemimpinan ideal.
Bahwa memimpin (a) tak hanya kuat secara kategoris, tetapi juga (b) kuat secara prinsipiil dalam semangat pelayanan dan pengorbanan, serta (c) berkomitmen pada kemaslahatan bangsa, bukan kepentingan parsial.
Selain itu, memimpin juga perlu kesadaran (a) menarik jarak antara the power in itself dan diri pelaku agar tak terjadi abuse of power; (b) menghargai kekuasaan sebagai milik rakyat, yang dipercaya sementara waktu dan demi kebaikan umum, bukan untuk disewenang-wenangkan, apalagi dipertahankan selamanya.
Implikasinya, saat elite gagal memimpin, kontingensi harus diberikan kepada mereka yang berpotensi dan berkomitmen mendorong perubahan. Inilah yang dinamakan keikhlasan. Bahwa berdemokrasi butuh keikhlasan, termasuk ikhlas melepas kuasa bila itu jalan untuk perubahan (yang gagal ikhlas mundur, yang kalah berjiwa besar).
Jika semua elite memiliki kesadaran moral ini, kita tidak perlu menyaksikan kampanye saling hujat, perang setelah kalah pilkada, konflik horizontal terkait mobilisasi politik, atau kekerasan menjelang pemilu.
Dalam bahasa lain, pemimpin ideal mesti memiliki kesadaran moral tentang kekuasaan sebagai alat melayani orang banyak, bukan sumber daya untuk merampas hak orang lain (baca: rakyat). Lalu, siapa pemimpin ideal itu?
Selama ini, para elite berbicara perubahan, bahkan disputasi tua-muda berkisar pada siapa pantas dan bagaimana cara melakukan perubahan. Disputasi macam ini sia-sia. Sekalipun yang muda berkualitas, sistem politik belum memberi ruang untuk mengekspresikan seluruh potensi secara leluasa dan optimal. Sebagian yang muda terpaksa berjejal di pintu partai politik lama, antre dengan (di belakang?) yang tua. Kita sadar, strategi ini sulit efektif, kecuali yang muda mengambil kendali internal partai.
Sys NS sempat berinovasi melalui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Partai kaum muda ini tak lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum. Budiman Sudjatmiko membangun Partai Rakyat Demokratik (PRD), tetapi gagal, lalu berpaling ke PDI-P. Langkah Budiman disusul Adian Napitupulu dari Forum Kota (Forkot).
Bergabung dengan partai lama ketimbang membentuk partai baru kini menjadi ”gerakan baru” di kalangan para mantan aktivis. Muncul Barita Simanjuntak (GMKI), Fitus Morin (GMNI), David Pajung (PMKRI), Syaiful Bachri (PMII), Nusron Wahid (PMII), Ratu Dian Latifah (IPPNU), dan Dolly Kurniawan (HMI) dalam bursa Caleg 2009.
Secara positif, keterlibatan aktivis muda dalam parpol dibaca sebagai upaya membenahi politik. Namun, jika kehadiran kaum muda tak mengubah paradigma konvensional di tubuh partai yang menyakralkan kekuasaan, boleh jadi yang muda pun bakal mendaur ulang nilai politik lama.
Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia