Oleh Benjamin Mangkoedilaga
Sebanyak enam calon hakim agung terseleksi dari uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Komisi Yudisial dan Komisi III DPR. Melalui media, diketahui hasilnya pas-pasan dan diperoleh setelah melalui jalan sulit.
Atas hasil itu, tidak perlu heran karena hampir semua pejabat publik yang dihasilkan melalui uji kelayakan dan kepatutan, hasilnya pas-pasan. Itu semua terjadi mungkin karena lembaga yang melaksanakannya juga pas-pasan.
Sulit mencari hakim agung?
Dulu, saat lembaga uji kelayakan dan kepatutan belum dikenal dan diterapkan, kita mampu menghasilkan hakim-hakim agung yang menjadi idola dan panutan para hakim sekarang, seperti Soebekti, Sarjono, Purwoto Gandasubrata, Asikin Kusumaatmadja, Adi Andojo, Bustanul Arifin, Bismar Siregar, Indroharto, Purbowati, dan Widoyati.
Mereka dilahirkan dan berpredikat sebagai hakim agung yang harum, bukan berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan selama dua jam, membuat karya tulis ilmiah, dan tes kesehatan, tetapi berdasarkan rekam jejak selama puluhan tahun sejak mereka berkiprah sebagai hakim selama 30-40 tahun. Jenjang yang mereka lalui pun bertahap, dari hakim tingkat pertama hingga ketua pengadilan tinggi. Seperti menjadi titian karier tetap bahwa jabatan ketua pengadilan tinggi Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makassar, dan Medan adalah jabatan yang selangkah lagi menuju hakim agung di Mahkamah Agung.
Kini, keadaannya berubah. Jabatan-jabatan prestisius itu bukan jaminan untuk dapat meraih puncak karier sebagai hakim agung di MA (Ben Suhanda).
Seperti disinggung pada awal tulisan, reformasi telah bergulir, penetapan karier tidak berlaku lagi. Kini, jenjang yang harus dilalui seorang hakim untuk mencapai puncak karier sebagai hakim agung di MA menjadi pertanyaan besar.
Kini posisi hakim agung tidak dapat dicapai dengan dan melalui berbagai putusan maupun penetapan yang dikeluarkan dalam jangka waktu panjang dan terpantau. Juga tidak lagi bisa ditempuh melalui berbagai penugasan ke daerah yang minim fasilitas, tidak pusing memikirkan kontrak rumah, tidak mengurus perpindahan sekolah anak-anak, dan lainnya. Itu semua tidak dialami seorang hakim agung nonkarier.
Soal integritas dan moralitas?
Terus terang tidak semua bersih, tetapi juga tidak semua miring dan kotor. Secara jelas dan transparan, banyak rekan sejawat hakim dan panitera bergelimpangan, mulai ketua pengadilan tinggi, hakim tinggi, ketua pengadilan negeri, dan hakim-hakimnya, mulai dari rekan-rekan sejawat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim tinggi sampai pengadilan tinggi di Jawa Timur. Terasa ngeri untuk berbuat hal-hal yang miring, terutama pada era Agung Mujono menjabat Ketua Mahkamah Agung. Sanksi dilaksanakan secara nyata dan transparan dan dibawa ke pengadilan. Hal ini membuat para hakim risi untuk melakukan hal-hal yang miring meski saat itu belum ada Komisi Yudisial dan lembaga uji kelayakan dan kepatutan.
Penataan karier dilakukan dan dipantau dalam jangka waktu panjang melalui berbagai penetapan dan putusan. Menurut hakim Bismar Siregar, putusan, penetapan, dan pemantauan perilaku itu merupakan mahkota yang disandang setiap hakim. Kini, sulitkah mendapatkan hakim-hakim yang kelak berkualitas, seperti Purwoto Gandasubrata dan Asikin Kusumahadmadja.
Kami mengenal banyak dan tidak sulit menemukan hakim-hakim jujur. Namun, temuan itu akan sulit jika hanya ditentukan dengan aneka persyaratan seperti sekarang, di mana seleksi dilakukan terbuka dengan instrumen seleksi yang ilmiah. Hal ini otomatis membuka kesempatan luas bagi semua orang untuk melamar, termasuk mereka yang sebenarnya hanya mencari pekerjaan atau status (Kompas, 17/10/2008).
Kita tak ingin publik terus dikecewakan dalam seleksi calon hakim agung. Di tengah kondisi MA yang terpuruk, publik berharap enam calon hakim agung itu mampu memberi kontribusi positif terhadap MA. Namun, kita juga bertanya mengapa DPR dan Komisi Yudisial tetap meloloskan calon hakim agung yang dua tahun lagi akan pensiun atau mereka yang justru sedang disorot publik?
Terlepas dari proses seleksi calon hakim agung kali ini, kita berharap DPR berani membongkar status quo penanganan perkara di MA. Revisi UU MA yang sedang dibahas DPR harus mengembalikan fungsi pengawasan hakim agung kepada Komisi Yudisial. DPR harus merekomendasikan diberlakukannya sistem kamar dan spesialisasi penanganan perkara di MA, bukan malah memperjuangkan perpanjangan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun (Kompas, 17/10/2008).
Sebagai insan yang berlatar belakang hakim selama 35 tahun, saya amat kecewa karena tak satu pun hakim berlatar belakang TUN yang lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Akan dibawa ke mana kamar TUN di Mahkamah Agung. Masuknya para hakim nonkarier justru harus dikembalikan kepada kebutuhan.
Pada masa datang, mungkin apa yang saya kemukakan dapat menjadi sumbangan ke arah posisi MA yang terhormat.
Pertama, jika MA, Ikahi, Komisi Yudisial, dan DPR melaksanakan dialog secara intensif akan kebutuhan formasi hakim agung di Mahkamah Agung.
Kedua, jika Ikahi harus lebih banyak berperan sebagai organisasi perjuangan seperti awal kelahirannya, memperjuangkan cita-cita para hakim karier mencapai posisi puncak di Mahkamah Agung.
Ketiga, dalam rangka revisi UU, posisi dan formasi Komisi Yudisial harus kembali ke posisi awal naskah akademis tentang Komisi Yudisial, di mana minimal dua mantan hakim Agung berposisi sebagai anggota komisi. Ini pun untuk mengurangi resistensi dengan Mahkamah Agung.
Semoga akan lahir Mahkamah Agung yang terhormat dan dihormati.
Benjamin Mangkoedilaga Mantan Hakim Agung; Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI Timor Leste; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI); Dosen FH Trisakti dan Bhayangkara