WANDY N TUTUROONG - Belajar dari "Nasionalisasi" Migas Venezuela

Judul : Belajar dari "Nasionalisasi" Migas Venezuela
Sumber : Kompas, Jumat, 7 November 2008

Oleh WANDY N TUTUROONG

Sosialisme yang ”lahir kembali” di Amerika Latin tak terlepas dari upaya ”nasionalisasi” minyak dan gas yang dipelopori Hugo Chavez di Venezuela dan Evo Morales di Bolivia.

i Venezuela, perusahaan migas negara, PDVSA, yang selalu merugi, pada tahun 2004 berpendapatan sebesar 64,5 miliar dollar AS sebagai dampak awal nasionalisasi. Tahun berikutnya, perusahaan ini menyumbang negara sebesar 10,3 miliar dollar AS, termasuk pajak, royalti, serta program- program sosial.

Dengan selesainya sertifikasi cadangan minyak terbesarnya di Sungai Orinoco, Venezuela sekarang menjadi produsen minyak terbesar di dunia setelah menambah cadangan minyaknya dari 77 miliar barrel menjadi 312 miliar barrel, melampaui cadangan minyak terbesar dunia di Arab Saudi sebesar 260 miliar barrel.

Apa rahasia sukses nasionalisasinya Chavez? Ini bukan nasionalisasi buta, melainkan renegosiasi yang menguntungkan negara ataupun asing meskipun porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar, mencapai 60 persen. Dengan model kerja sama ini dan dengan cadangan minyak yang sangat menjanjikan di Orinoco, wajar jika perusahaan-perusahaan asing, kecuali ExxonMobil, bisa menerima renegosiasi yang ditawarkan Chavez.

Sementara itu, ExxonMobil sebagai perusahaan swasta migas terbesar di dunia yang membawa kasus ini ke arbitrase internasional harus gigit jari karena—pada pertengahan Maret 2008—Royal Court of Justice di London memenangkan PDVSA.

Keberanian Chavez melakukan renegosiasi pun didahului dengan penyelidikan yang mendalam. Setelah Chavez memperkenalkan Undang-Undang Hidrokarbon baru (2001), dia memerintahkan kajian legal untuk menyelidiki berbagai penyimpangan dan ketidaktransparanan dalam pengelolaan sektor migas.

Tak mudah untuk melakukannya. Perlawanan dilakukan oleh oligarki bisnis dan politik yang waktu itu menguasai PDVSA. Mereka bahkan mendalangi kudeta militer sayap kanan terhadap Chavez tanggal 11 April 2002.

Kajian legal

Hasil kajian legal tentang bisnis perminyakan menyingkap praktik pengelolaan migas yang sangat merugikan negara, tetapi menguntungkan perusahaan- perusahaan multinasional. Mulai dari regulasi hingga operasi.

Pertama, pembajakan substansi undang-undang. Ditemukan upaya sistematik untuk memutarbalikkan substansi dari berbagai undang-undang dan regulasi migas di Venezuela. Kontrol negara atas migas dipreteli. Negara bahkan tidak harus memiliki saham sama sekali.

Kedua, penghilangan peran negara dalam penetapan harga. Negara bukan saja tidak punya kontrol atas harga, tetapi juga terhadap penilaian atas royalti dan pajak pendapatan yang menjadi hak negara.

Ketiga, penghilangan potensi pemasukan bagi negara dengan dalih privatisasi. Dengan alasan internasionalisasi dan privatisasi, dilakukan akuisisi terhadap sejumlah sistem penyulingan minyak internasional, khususnya Citgo di AS pada tahun 1986. Namun, yang terjadi adalah kepemilikan silang menyulitkan negara untuk mengetahui berapa besar hak yang seharusnya diperoleh.

Bersembunyi di balik ”rahasia perusahaan”, berbagai keanehan terjadi, mulai dari diskon terhadap harga minyak mentah, penghapusan royalti negara karena adanya diskon tadi, hingga penggunaan pendapatan dari ekspor minyak sebagai jaminan atas utang yang dimiliki anak perusahaan PDVSA (Citgo).

Lalu, sejak tahun 1989 PDVSA mengonsolidasikan rekening-rekeningnya dengan basis global, yang mengakibatkan semua biaya ”internasionalisasi” tadi dijadikan alasan agar dapat mengurangi pajak pendapatan bagi negara. Singkatnya, opportunity costs yang dihibahkan PDVSA bagi mitra-mitra asingnya mencapai 1,03 dollar AS per barrel atau secara total pada tahun 2004 mencapai 11,4 miliar dollar AS.

Keempat, manipulasi izin operasional perusahaan-perusahaan jasa perminyakan. Perusahaan jasa biasa, misalnya, kemudian dijadikan produsen minyak.

Kelima, keganjilan penyelenggaraan outsourcing. Semula untuk pengelolaan ladang-ladang minyak yang kurang produktif, tetapi belakangan diperlebar ke ladang-ladang yang masih aktif

Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan kontraktor ini rata-rata 18,17 dollar AS per barrel atau mencapai 52 persen dari harga jual minyak Venezuela saat itu. Padahal, jika melakukan sendiri, PDVSA hanya perlu biaya sekitar empat dollar AS per barrel!

Keenam, ketidakadilan perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja sama, khususnya dalam mengelola minyak mentah di Orinoco, menempatkan PDVSA dan negara dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Selain kepemilikan saham PDVSA yang minoritas, royalti yang seharusnya diterima negara pun ditekan dari 16,3 persen menjadi tinggal 1 persen dan pajak pendapatannya pun sama dengan pajak nonminyak yang hanya sebesar 34 persen.

Ketujuh, sabotase sistematik dokumen-dokumen perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani tahun 1993 adalah Sincor dan Petrozuata. Rekanan dalam proyek Sincor adalah Total dengan saham 47 persen, Statoil (15 persen) dan PDVSA (38 persen). Sementara dalam Petrozuata, ConocoPhillip memegang 50,1 persen saham dan PDVSA memegang sisanya, sebesar 49,9 persen.

Dalam proyek Sincor semestinya produksi yang diizinkan hanya 114.000 barrel per hari, tetapi kenyataannya 210.000-250.000 barrel per hari. Selain itu, luas wilayah eksploitasi yang semestinya hanya 250 kilometer persegi dengan jumlah cadangan minyak sebesar 1,5 miliar barrel telah diperluas secara ilegal menjadi 324 kilometer persegi dengan jumlah cadangan sebesar 2,5 miliar barrel. Ini pun dengan rencana lanjutan untuk memperluasnya lagi dengan tambahan wilayah eksploitasi 170 kilometer persegi.

Berbagai resep kerja sama canggih yang ditawarkan mitra-mitra asing PDVSA bermuara pada dua kerugian utama negara, yakni (1) terkurasnya sumber daya alam tak terbarukan, dan (2) hilangnya potensi pendapatan negara dari sisi fiskal berupa royalti, pajak pendapatan, pajak ekspor, serta dividen. Berkurangnya pendapatan fiskal dari minyak selama sepuluh tahun (1993 hingga 2002) dibandingkan dengan 17 tahun sebelumnya (1976-1992) mencapai 34 miliar dollar AS atau berkurang 3,4 miliar dollar AS per tahun.

Sekarang, pendapatan dari bidang migas di Venezuela sudah transparan. Kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat pun diperjelas. PDVSA bahkan sekarang berhasil menjadi perusahaan migas nomor tiga terbesar di dunia (setelah Exxon dan Chevron) dan menawarkan minyak murah untuk kebutuhan warga miskin di New York, Alaska, dan London.

Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dengan demikian, pertanyaannya sekarang adalah: mungkinkah hal semacam itu juga terjadi di Indonesia yang masih ”mustahil” ini?

Wandy N Tuturoong Bergiat di Lembaga Kajian dan Penerbitan ALA Solidarity (Asia, Latin America, and Africa Solidarity)