Oleh Mutiara Andalas
Setiap pertengahan November, paguyuban keluarga korban menaburkan bunga duka di kawasan Semanggi. Mereka mengenang tragedi Semanggi yang terjadi 10 tahun lalu.
Mereka mengutuk pelaku kekerasan dan mendorong negara menuntaskan kasus korban secara adil. Indonesia baru tanpa kekerasan merupakan pesan kemanusiaan mereka. Paguyuban keluarga korban mengingatkan masyarakat akan bahaya rezim yang menganut politik kekerasan. Peringatan satu dasawarsa tragedi Semanggi mengundang pejabat negara untuk meninggalkan politik kekerasan dan memeluk politik kemanusiaan.
Pertarungan narasi
Paul Veyne dalam Writing History (1984) menyatakan kebenaran sebagai kepentingan tunggal dari pencatatan sejarah. Penulis sejarah menyadari keterbatasannya untuk menangkap peristiwa historis. Ia sering hanya dapat merengkuh jejak peristiwa melalui dokumen atau kesaksian yang ada. Dalam tragedi kemanusiaan Semanggi, aparat keamanan mengakui tindakan penembakan terhadap demonstrasi mahasiswa. Paguyuban keluarga korban memberi kesaksian tentang korban luka dan meninggal.
Penafsiran atas tragedi Semanggi dari aparat negara dan paguyuban keluarga korban berseberangan. Aparat keamanan hanya memiliki pilihan tunggal melakukan kekerasan demi mengamankan sidang istimewa. Kekerasan menjadi mekanisme mempertahankan diri setelah negosiasi damai dengan mahasiswa menemui kebuntuan. Paguyuban keluarga korban memandang aparat negara melakukan serangan terhadap demonstrasi mahasiswa, mengakibatkan jatuhnya korban luka dan meninggal. Tindakan ini lazim dilakukan rezim penganut politik kekerasan.
Pertarungan narasi atas tragedi Semanggi berlanjut di ruang hukum. Negara melalui aparat hukumnya menolak dakwaan kekerasan aparat sebagai kejahatan HAM berat. Para pejabat tinggi militer menolak dakwaan telah melakukan tindakan kriminal dalam tragedi Semanggi. Pengembalian berkas kasus Trisakti–Semanggi merupakan tindakan simbolik, negara menolak dakwaan paguyuban keluarga korban.
Pembungkaman kebenaran masuk ruang hukum. Kebuntuan memperjuangkan keadilan melalui jalur hukum mendorong paguyuban keluarga korban melakukan gerakan kemanusiaan di jalan. Mereka menggelar safari kemanusiaan bersama paguyuban keluarga korban lain untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya rezim politik kriminal. Masyarakat menjadi hakim atas kesaksian tragedi yang disampaikan negara dan paguyuban keluarga korban. Kedua pihak yang menulis narasi tragedi mendaku kebenaran (contested truth).
Pertobatan politik
Jim Wallis, teolog publik dan aktivis kemanusiaan dari AS, dalam The Soul of Politics (1994) dan God’s Politics (2005) melukis sketsa baru politik yang mengedepankan moralitas kemanusiaan. Wallis prihatin dengan politikus status quo di AS yang merekatkan politik dengan kepentingan diri, kerakusan, perpecahan sektarian, ketakutan, dan kekuasaan. Penganut politik ini menyekat masyarakat dalam aneka kelompok yang selalu berlawanan satu dengan lainnya. Diskursus tentang kehidupan publik menjadi arena saling tuding dan umpat antarkelompok yang berebut kursi kekuasaan.
Politik profetik lahir dari jalanan, simbol kehidupan sehari-hari rakyat, sebagai kritik atas politik status quo. Jalanan menjadi tempat menguji moralitas kemanusiaan. Politikus profetik mengartikulasikan kebenaran moral kemanusiaan. Ia merekatkan politik dengan bela rasa, komunitas, keberagaman, harapan, dan pelayanan. Semua warga masyarakat berperan sebagai subyek politik untuk mendekatkan politik dengan nilai kemanusiaan.
Kita dapat mengukur keberadaban rezim politik dari kemauannya merengkuh nilai-nilai kemanusiaan. Rezim politik yang mengangkangi nilai-nilai kemanusiaan kehilangan keberadabannya. Untuk perlu pertobatan politik agar kemanusiaan yang telah dirusak terajut kembali.
Pertobatan politik mengandaikan subyek mengakui kesalahan, bahkan dosa, yang mengakibatkan penderitaan subyek lain. Kekerasan yang mengakibatkan luka dan kematian massal dalam tragedi Semanggi merupakan dosa politik. Paguyuban keluarga korban telah mendahului negara melakukan pertobatan politik. Orangtua yang kehilangan anak- anaknya mengakui memendam amarah dan dendam. Namun, mereka berhasil menyingkirkan emosi negatif dan memperjuangkan visi kemanusiaan Indonesia baru tanpa kekerasan.
Dalam buku The Voice of Memory (2001), Primo Levi menyatakan emosi negatif terhadap rezim politik kriminal melemahkan pesan kemanusiaan. Paguyuban keluarga korban sebagai saksi kemanusiaan hendaknya lebih memiliki emosi positif untuk memperjuangkan kemanusiaan baru tanpa kekerasan.
Indonesia tanpa kekerasan
Orangtua korban pascatragedi kemanusiaan Semanggi mengalami transformasi sebagai saksi kemanusiaan bagi korban dan Indonesia. Mereka mengajukan politik perikemanusiaan demi Indonesia baru tanpa kekerasan. Keadilan korban dan Indonesia baru yang berperikemanusiaan sulit tercipta tanpa dukungan masyarakat. Bela rasa masyarakat kepada paguyuban keluarga korban menguatkan perjuangan mereka. Kesaksian kebenaran akan menyusut menjadi monolog jika negara menutup telinga hati terhadap suara kebenaran paguyuban keluarga korban. Rekonsiliasi gagal tercipta jika pelaku kekerasan menolak mengakui dosa politiknya dan menerima pengampunan dari paguyuban keluarga korban.
Politik kemanusiaan menyingkap kebenaran dan membuka jalan rekonsiliasi antarpihak yang berkonflik dalam tragedi Semanggi. Politik inhumanitas membenamkan kebenaran dan menutup jalan rekonsiliasi. Indonesia tanpa kekerasan hanya mungkin tercipta jika negara memeluk politik kemanusiaan.
Mutiara Andalas Rohaniwan; Pernah Mendampingi Paguyuban Keluarga Korban Mei-Semanggi 1998