Oleh Ikrar Nusa Bhakti
Setelah diguyur hujan, cuaca Yogyakarta benar-benar cerah pada Selasa, 28 Oktober lalu. Kota perjuangan dan kota pelajar itu pun terasa ingar bingar dengan hadirnya rakyat dari berbagai penjuru Yogyakarta ke Alun-alun untuk menghadiri Pisowanan Ageng.
Dari 1.000 koordinator, tercatat 220.000 orang hadir. Namun, melihat luapan manusia yang datang, jumlahnya diperkirakan lebih dari 350.000 orang. Mereka berasal dari beragam status sosial ekonomi, dari rakyat kebanyakan, abdi dalem keraton, budayawan, seniman, politisi, mahasiswa, dosen, sampai ibu rumah tangga.
Kedatangan mereka bukan untuk melakukan topo pepe, duduk berpanas-panas diri meminta kebijakan Raja, tetapi menghadiri Pisowanan Ageng, ingin mendengar deklarasi Ngarso Dalem yang siap maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009.
Deklarasi Sultan Hamengku Buwono X pun amat singkat, ”Dengan memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan niat yang tulus memenuhi panggilan kepada Ibu Pertiwi, dengan ini saya menyatakan siap maju menjadi Presiden 2009” (Kompas, 29/10/2009). Tepuk tangan pun membahana.
Namun, deklarasi ini tentu disambut berbeda calon presiden lain, baik yang sudah mendeklarasikan dirinya secara tegas, seperti Megawati Soekarnoputri, maupun yang masih malu-malu.
Sejak deklarasi itu, bagai bola salju, cepat atau lambat akan menimbulkan The Sultan Mania, kesengsem kepada Sultan. Mengapa begitu? Karena Sultan adalah salah seorang tokoh pencetus Deklarasi Ciganjur yang mendukung reformasi politik pada tahun 1998, selain Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, Gus Dur, Akbar Tandjung, dan tokoh politik lainnya.
Banyak kalangan juga menilai Sultan bersih. ”Raja Jawa” ini pun dipandang sebagai salah satu alternatif calon pemimpin bangsa ke depan.
Dilema
Hanya satu hari sejak Deklarasi Sultan untuk maju pada Pilpres 2009, komentar pun bermunculan. Salah satu isu yang mencuat, keinginan Sultan untuk maju menjadi presiden menimbulkan dilema.
Pertama, terkait keistimewaan Yogyakarta. Di satu sisi, dengan keistimewaan itu, Sultan otomatis menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sisi lain, jika terpilih menjadi presiden, tak mungkin ia menduduki jabatan rangkap, yaitu sebagai raja, gubernur, dan presiden. Anehnya, rangkap jabatan ini tak pernah dipermasalahkan saat Sultan Hamengku Buwono IX, ayah sultan sekarang, pada 1973-1978 menjadi Wakil Presiden RI era Presiden Soeharto. Dilema ini mungkin muncul karena RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) baru akan dibahas DPR dan Pemerintah.
Dilema kedua, soal feodalisme sistem kerajaan dan demokratisasi politik Indonesia modern pascareformasi. Persoalannya, dapatkah Sultan, yang adalah Raja Kesultanan Yogyakarta, bersikap demokratis memimpin Republik Indonesia yang sistem politiknya lebih modern dan demo- kratis.
Gaya memerintah Yogyakarta sebagai raja dan gubernur tentu berbeda dengan gaya memerintah Indonesia sebagai presiden. Gaya memerintah masyarakat Yogyakarta yang—maaf—sebagian menganut tradisi alon-alon waton kelakon (biar lambat asal terlaksana atau mencapai tujuan) tentu berbeda dengan gaya memerintah masyarakat Indonesia yang geliat masyarakatnya lebih dinamis dan ingin cepat mencapai tujuan. Selain itu, memimpin masyarakat yang memiliki budaya relatif homogen, seperti Yogyakarta dan memimpin Indonesia yang multi-etnik dan multibudaya, tentu berbeda.
Dilema ketiga, gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa yang didasari oleh pulung (kekuasaan yang berasal ”dari atas”) tidak mengenal legitimasi melalui prosedur pemilihan umum demokratis dan tak mengenal pembagian kekuasaan, amat berbeda dengan demokrasi yang kini kita anut. Selain itu, meski orang Indonesia yang berasal dari etnis Jawa adalah mayoritas, sekitar 43 persen dari jumlah penduduk Indonesia, ada konotasi negatif soal ”hegemoni Jawa” dalam kehidupan politik di Indonesia. Dengan kata lain, timbul persoalan apakah mayoritas rakyat Indonesia dari berbagai etnis dapat menerima ”Raja Jawa” menjadi presiden Republik Indonesia.
Kesiapan politik
Pilpres 2009 masih sembilan bulan lagi. Berbagai kelemahan Sultan HB X masih dapat diperbaiki dalam periode yang cukup singkat itu. Sebagai contoh, bagaimana Sultan sebagai calon pemimpin bangsa harus memiliki leadership yang kuat yang bukan didasari budaya politiknya sebagai ”raja”, tetapi dalam posisi ”setingkat di atas di antara yang sederajat” (primus inter pares atau the first among equals). Respons politiknya dalam menghadapi persoalan yang dihadapi bangsa juga harus cepat, tak bisa lagi alon-alon waton kelakon.
Jawaban atas berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan harus sigap dan masuk akal, bukan atas dasar ”mimpi” atau wangsit. Sultan HB X juga perlu memiliki kapabilitas kepemimpinan yang mampu mengarahkan ke mana kebijakan negara harus diarahkan (steering capability) di tengah gelombang perubahan politik dan ekonomi internasional yang begitu cepat dan mencemaskan.
Meski Sultan adalah ”raja”, toh masih harus belajar atau mendapatkan kuliah atau ”tentir” politik dari para ”konsultan politik- nya” yang jujur. Ia tidak mungkin memenangi Pilpres 2009 jika hanya tampil ”seadanya”, apalagi ”apa adanya”. Sultan harus mampu meminjam istilah Napoleon Bonaparte, create a definite plan for carrying out your desire and begin at once, whether you are ready or not, to put this plan into action.
Jika platform politiknya jelas, bukan Sultan yang datang melamar untuk didukung partai politik, tetapi bagai madu, akan dikerubungi partai-partai untuk mendukungnya pada Pilpres 2009. Meski dukungan atas calon-calon presiden masih amat cair, tampaknya tidak sulit bagi Sultan mendapatkan dukungan dari kumpulan partai politik yang mendapatkan 20 persen kursi di DPR atau mendapatkan 25 persen suara pada pemilu legislatif 2009.
Namun, demi keterwakilan tokoh pemimpin bangsa, ada baiknya jika calon wakil presiden yang mendampinginya bukan berasal dari etnik Jawa!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia