Oleh Oce Madril
Akhirnya DPR mengesahkan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjadi Undang-Undang Pilpres.
Semula, RUU ini diharapkan selesai Juli lalu, tetapi baru bisa disahkan Oktober 2008.
Isu utama UU ini terkait syarat partai politik yang mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Semula fraksi-fraksi di DPR bertahan pada angka masing-masing. Ada yang menghendaki pencalonan presiden berdasarkan suara nasional parpol; ada yang menghendaki berdasarkan perolehan kursi di DPR; ada yang bersikukuh pada angka 25 persen kursi di DPR seperti dipertahankan PDI-P dan Golkar. Juga ada yang bertahan pada angka 15 persen atau maksimal 20 persen perolehan kursi di DPR, seperti disuarakan PAN, PPP, PKB, PD, dan PKS. Pemerintah juga punya angka sendiri. Semua fraksi akhirnya menyetujui RUU diundangkan dengan syarat dukungan bagi pasangan capres dan cawapres 25 persen suara nasional atau 20 persen perolehan kursi.
Syarat ”persen”
Banyak kalangan mempertanyakan asal munculnya syarat persentase bagi parpol yang ingin mengajukan capres-cawapres. Ketentuan itu dinilai merupakan rekayasa politik partai-partai besar. Tujuannya, mempersulit warga negara yang ingin maju sebagai capres dan agar motor koalisi tetap di tangan mereka.
Jika merujuk konstitusi, ketentuan tentang pemilihan presiden tercantum dalam Pasal 6A UUD 1945. Dalam ketentuan itu dinyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Substansi pasal itu menunjukkan, parpol peserta pemilu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (koalisi), dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, konstitusi menghendaki semua partai politik yang secara de jure sudah dinyatakan KPU sebagai peserta pemilu, dapat mengajukan pasangan capres-cawapres sehingga syarat persentase jumlah dukungan bagi partai politik untuk mengajukan capres-cawapres jelas dapat dipersoalkan aspek konstitusionalitasnya.
Angka-angka persentase itu memberatkan parpol kecil dan menengah yang ingin mengajukan kader terbaiknya sebagai capres pada Pemilu 2009. Dalam konteks lebih luas, upaya untuk membendung banyak capres hanya akan merugikan masyarakat sebagai konstituen. Masyarakat dirugikan karena tidak diberi alternatif untuk memilih pemimpinnya. Kepentingan publik, yang seharusnya diperjuangkan dalam pembahasan RUU, terabaikan.
Uji materi
Tak lama seusai RUU Pilpres diundangkan, muncul aksi-aksi penolakan dari banyak kalangan, terutama dari tokoh politik yang terancam tidak bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. Langkah konstitusional ditempuh dengan mangajukan uji materi (judicial review) UU Pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana peluangnya?
Secara hukum, konstitusi ditafsirkan melalui banyak cara. Ada lima cara penafsiran konstitusi yang sering digunakan MK dalam putusan-putusannya, yakni penafsiran historis, sosiologis, gramatikal, tekstual, dan original intent. Model-model penafsiran itu dapat digunakan sebagai alas gugat UU Pilpres.
Merujuk Pasal 6A UUD 1945, secara historis dan sosiologis, spirit dasar pemilihan presiden sebenarnya adalah memberi ruang luas kepada rakyat untuk memilih calon potensial yang ada di tengah masyarakat. Dari sisi gramatikal dan tekstual, Pasal 6A dengan tegas memberi hak yang sama pada parpol peserta pemilu untuk mengajukan capres-cawapres. Tidak ada kata-kata atau kalimat yang mengindikasikan perintah konstitusi untuk membeda-bedakan parpol berdasar perolehan kursi atau suara.
Bila menggunakan penafsiran original intent atau risalah perdebatan saat pasal itu dibuat, akan jelas, pembentuk UUD 1945 memberi hak kepada parpol untuk mengajukan capres-cawapres tanpa syarat persentase.
Terkait norma hukum dalam konstitusi, UU Pilpres berpotensi melanggar beberapa ketentuan konstitusi. Membatasi capres dan cawapres melalui instrumen syarat persentase bagi parpol jelas akan menabrak asas equality before the law yang terkandung dalam Pasal 27 dan 28D UUD 1945. Bahwa tiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di depan hukum. Lalu UU Pilpres berpotensi melanggar hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan serta mengekang kebebasan hak pilih pemilih.
Maka, pengajuan uji materi beralasan. Dari penafsiran dan norma hukum yang terkandung dalam konstitusi, uji materi bukan demi kepentingan tokoh politik atau parpol tertentu, tetapi demi menyelamatkan rakyat dengan meminjam palu MK.
Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM; Research Student, Postgraduate Program in Law and Governance Studies, Nagoya University, Jepang