ALI KHOMSAN - Ketahanan Pangan Vs Jalan Tol

Judul : Ketahanan Pangan Vs Jalan Tol
Sumber : Kompas, Kamis, 20 November 2008

Oleh ALI KHOMSAN

Konsekuensi pembangunan jalan tol trans-Jawa sudah dipikirkan, termasuk berkurangnya lahan pertanian subur yang selama ini menjadi penopang ketahanan pangan nasional. Untuk itu ekstensifikasi pertanian di luar Jawa dan intensifikasi di Jawa akan ditingkatkan (Kompas, 18/11/2008).

Indonesia boleh dikatakan tertinggal jauh dibandingkan RRC atau Malaysia dalam pembangunan infrastruktur jalan tol. Padahal, negara kita lebih awal dalam membangun jalan bebas hambatan. Sejak tahun 1978 Indonesia telah memiliki Tol Jagorawi.

Membangun jalan tol menimbulkan pro-kontra terkait keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh. Yang berpandangan pro beranggapan, jalan tol akan menyebabkan lebih lancarnya transportasi dan lebih menggairahkan perekonomian nasional. Ketika jalan raya di sepanjang Jawa rusak akibat hujan dan banjir, para pengusaha mengeluhkan kerugian yang dialami akibat waktu tempuh transportasi barang yang lebih lama. Produk pertanian juga menjadi lebih mahal dan tidak mampu bersaing dengan produk impor karena sarana transportasi yang buruk.

Sementara yang kontra berkeyakinan akan terjadi konversi ribuan hektar lahan sawah sebagai dampak negatif pembangunan jalan tol trans-Jawa. Dalam jangka panjang, jalan tol akan mengancam produksi dan suplai pangan nasional. Karena itu, ada tuntutan agar tol yang akan dibangun ini semaksimal mungkin harus ramah lahan pertanian. Saat ini saja, konversi lahan pertanian terus terjadi akibat perubahan sawah/tegalan menjadi perumahan atau industri.

Pembangunan jalan tol mengharuskan pemerintah lebih serius membangun pertanian di luar Jawa dengan segala tantangannya, seperti kekurangsuburan lahan, budaya masyarakat, dan suplai atau pemasaran input dan output produk pertanian. Pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional akan kian berat menyandang beban pemenuhan kebutuhan energi dan protein penduduk.

Selama ini kita kurang hirau terhadap upaya ekstensifikasi pertanian di luar Jawa karena terlena kemampuan Pulau Jawa menghasilkan pangan (terutama padi). Sebenarnya hanya sebagian kecil wilayah di luar Jawa yang kini dapat dikatakan sebagai lumbung padi. Gebrakan Presiden Soeharto membuka lahan gambut sejuta hektar terhenti. Ide besar mantan presiden yang penuh perhatian terhadap pertanian ini perlu dipikirkan kembali.

Para ahli agronomi, ahli tanah, serta ahli hama dan penyakit tanaman ditantang mengonversi lahan kurang subur di luar Pulau Jawa menjadi sawah. Indonesia yang memiliki banyak perguruan tinggi pengembang iptek pertanian harus mampu membangun sentra-sentra produksi padi, menggantikan peran Pulau Jawa.

Rapuhnya ketahanan pangan

Isu pangan selalu menarik perhatian karena merupakan hajat hidup orang banyak. Kebutuhan pokok yang paling utama dan harus dipenuhi tiap orang adalah pangan. Instabilitas penyediaan pangan dapat mengakibatkan ketidakstabilan politik. Para pemerhati pangan pantas galau dengan rencana pembangunan tol trans- Jawa. Indonesia telah lama masuk perangkap pangan. Artinya, ketahanan pangan kita rapuh. Berbagai komoditas pangan penting harus diimpor, membuat bangsa ini rentan bila terjadi gejolak pangan di tingkat dunia. Namun, inikah alasan kita menolak pembangunan tol trans-Jawa?

Ancaman ketahanan pangan yang sering dihadapi bangsa ini adalah akibat bencana banjir, kekeringan, dan serangan hama. Kini, masalah pangan bertambah dengan rencana pembangunan jalan tol. Penulis kini sedang meneliti sistem pangan (ketahanan pangan) masyarakat Baduy. Dalam skala mikro, suku Baduy adalah cermin bagaimana mereka dapat berswasembada pangan dengan segala ketradisionalan yang dimilikinya.

Masyarakat Baduy tidak menggunakan benih unggul, sistem pertaniannya belum beririgasi, tidak ada lahan sawah, yang ada hanya ladang (huma), dan tak menggunakan pestisida. Yang menyebabkan mereka mampu menciptakan ketahanan pangan lokal adalah karena suku Baduy taat menjaga lingkungan. Sistem resapan air dijaga sehingga wilayahnya tidak mengalami kekeringan pada musim kering dan tidak mengalami erosi di musim hujan.

Berbagai pemikiran untuk menghadapi masalah pangan bermunculan secara instan pada saat kita menghadapi masalah. Saat sorotan atas masalah pangan ini mengendur, kita kembali melakukan berbagai kebijakan pertanian yang bersifat rutin alias tidak ada perbaikan yang signifikan.

Ketidaktahanan pangan adalah wujud masih lemahnya pembangunan pertanian di negara kita. Entah kapan bangsa ini dapat mengulang sukses swasembada pangan seperti tahun 1984. Harapan petani untuk hidup sejahtera masih sekadar mimpi. Keinginan masyarakat bisa mengakses pangan murah belum terwujud.

Rapor belum memuaskan

Lokakarya tentang Household Food and Nutrition Security digelar di Hanoi, 2-5 Mei 2005. Kegiatan ini difasilitasi Neys- van Hoogstraten Foundation (NHF) dan National Institute of Nutrition-Vietnam. Para peneliti yang selama ini bekerja sama dengan NHF, antara lain, Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, Banglades, Nepal, dan India. Berbagai temuan para peneliti itu tentu sebagian dapat dimanfaatkan untuk membantu pemecahan masalah ketahanan pangan dan gizi di negara masing-masing.

Rapor ketahanan pangan nasional kita memang belum memuaskan. Alam luar Jawa yang mahaluas seharusnya menjadi tantangan dan peluang untuk digarap lebih serius sebagai produsen pangan nasional. Pulau Jawa akan mengalami kejenuhan untuk menghasilkan pangan, baik karena populasi manusia yang terus meningkat maupun adanya kebutuhan lahan untuk aktivitas nonpertanian.

Tetap terus mempertahankan Pulau Jawa sebagai lumbung pangan tampaknya menjadi kian kurang relevan. Pembangunan pertanian di luar Jawa akan lebih menggairahkan perekonomian masyarakat, menumbuhkan agribisnis dan agroindustri yang akan menyerap banyak tenaga kerja. Pembangunan yang selama ini berat sebelah dan berorientasi ke Jawa sudah saatnya dikoreksi.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Deden Rukmana - Tinjauan Jalan Tol Trans-Jawa

Judul : Tinjauan Jalan Tol Trans-Jawa
Sumber : Kamis, 20 November 2008

Oleh Deden Rukmana

Pembangunan jalan tol trans-Jawa sepanjang 652 kilometer dari Cikampek, Jawa Barat, sampai Surabaya, Jawa Timur, dianggap kunci perkembangan ekonomi di Pulau Jawa, khususnya sektor industri.

Para perencana dan pengambil keputusan menganggap, saat ini, prasarana transportasi—khususnya jalan raya—tidak mendukung perkembangan industri untuk bersaing global. Kini, kondisi jalan raya di Pulau Jawa dianggap penghambat daya saing sektor industri. Apakah pembangunan jalan tol trans-Jawa menjadi solusi terbaik perkembangan ekonomi di Pulau Jawa?

Dalam pembangunan berkelanjutan di Pulau Jawa, layakkah pembangunan tol Trans-Jawa ini? Harian Kompas, (17/11/2008) memaparkan, jalan tol trans-Jawa akan mengonversi 655.400 hektar lahan pertanian. Hal ini jelas akan mengancam ketahanan pangan nasional, mengingat peran Pulau Jawa memasok 53 persen kebutuhan pangan nasional.

Konversi lahan pertanian sebanyak itu akan terus bertambah seiring pembangunan sektor perkotaan sepanjang jalan tol itu, khususnya di pintu-pintu keluar tol. Konversi guna lahan juga akan berpengaruh terhadap perubahan struktur mata pencarian penduduk. Dipastikan tenaga kerja sektor pertanian di Pulau Jawa akan banyak beralih ke perkotaan. Lambat laun pertanian di Pulau Jawa menjadi sektor marjinal dan menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional.

Kereta api

Di AS, pembangunan jalan bebas hambatan antarnegara bagian (interstate highways) dimulai tahun 1956 dan bukan menjadi kunci utama perkembangan sektor perkotaan. Jauh sebelum moda transportasi jalan raya berkembang, sistem perkeretaapian menjadi kunci perkembangan sektor perkotaan di AS sejak pertengahan abad ke-18.

Sistem kereta api di AS menghubungkan sebagian besar wilayah AS dari kota-kota di pantai Timur ke pantai Barat. Kota-kota besar, seperti Chicago, Detroit, dan Atlanta, adalah contoh kota yang berkembang pesat karena prasarana kereta api. Perkembangan moda transportasi darat dan pembangunan jalan bebas hambatan menjadi alternatif untuk mendistribusikan bahan baku dan produk industri tanpa mematikan peran kereta api.

Dengan menghangatnya isu pemanasan global dan krisis energi, keberadaan jalan-jalan bebas hambatan di AS ditengarai sebagai penyebab tingginya penggunaan bahan bakar minyak dan emisi karbon dioksida. Jalan-jalan bebas hambatan itu menyebabkan berkembangnya kawasan permukiman di suburb dan pertumbuhan kawasan perkotaan yang kian sprawling. Pertumbuhan kota-kota ini menyebabkan pelayanan transportasi publik tidak efisien dan kian meningkatkan ketergantungan penduduk terhadap penggunaan kendaraan pribadi.

Konsumsi bahan bakar

Indonesia seharusnya mencontoh eksternalitas negatif pembangunan jalan bebas hambatan di AS. Pembangunan jalan tol trans-Jawa bukan hanya mengancam ketahanan pangan nasional akibat konversi lahan pertanian dan tenaga kerja pertanian ke sektor perkotaan, tetapi juga akan kian meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak akibat peningkatan penggunaan moda transportasi jalan raya.

Dampak negatif pembangunan tol trans-Jawa ini akan bertambah bila kita menghitung dampak lingkungan dari berkurangnya lahan terbuka hijau, termasuk hutan dan perkebunan di Pulau Jawa. Pembangunan jalan tol juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di sepanjang jalan tol yang akan menjadi sprawling.

Alternatif yang bisa disampaikan untuk meningkatkan perkembangan perekonomian di Pulau Jawa adalah mengembangkan sistem perkeretaapian.

Pengembangan jalur ganda rel kereta api di Pulau Jawa dapat menjadi alternatif utama untuk membantu distribusi bahan baku dan produk dari sektor industri di Pulau Jawa. Begitu pula dengan mengaktifkan kembali jalur-jalur kereta api yang dulu sempat dibangun Belanda. Pengembangan rel ganda kereta api tidak akan mengonversi lahan pertanian sebanyak pembangunan jalan tol. Pengembangan sistem perkeretaapian juga tidak akan mengonsumsi energi sebanyak konsumsi moda transportasi jalan raya.

Secara ringkas dapat disampaikan, pembangunan jalan tol trans-Jawa bukan solusi yang berkelanjutan untuk mengembangkan perekonomian di Pulau Jawa. Solusi ini hanya menjadi ancaman bagi ketahanan pangan dan energi nasional. Pembangunan jalan tol trans-Jawa lebih banyak ruginya bagi kepentingan nasional. Sebagai alternatif, kita dapat mempertimbangkan pengembangan sistem perkeretaapian yang lebih hemat energi dan tidak mengonversi banyak lahan pertanian.

Deden Rukmana Koordinator Program Pascasarjana Studi dan Perencanaan Kota di Savannah State University, Amerika Serikat

Oce Madril - Menguji UU Pilpres

Judul : Menguji UU Pilpres
Sumber : Kompas, Kamis, 20 November 2008

Oleh Oce Madril

Akhirnya DPR mengesahkan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menjadi Undang-Undang Pilpres.

Semula, RUU ini diharapkan selesai Juli lalu, tetapi baru bisa disahkan Oktober 2008.

Isu utama UU ini terkait syarat partai politik yang mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Semula fraksi-fraksi di DPR bertahan pada angka masing-masing. Ada yang menghendaki pencalonan presiden berdasarkan suara nasional parpol; ada yang menghendaki berdasarkan perolehan kursi di DPR; ada yang bersikukuh pada angka 25 persen kursi di DPR seperti dipertahankan PDI-P dan Golkar. Juga ada yang bertahan pada angka 15 persen atau maksimal 20 persen perolehan kursi di DPR, seperti disuarakan PAN, PPP, PKB, PD, dan PKS. Pemerintah juga punya angka sendiri. Semua fraksi akhirnya menyetujui RUU diundangkan dengan syarat dukungan bagi pasangan capres dan cawapres 25 persen suara nasional atau 20 persen perolehan kursi.

Syarat ”persen”

Banyak kalangan mempertanyakan asal munculnya syarat persentase bagi parpol yang ingin mengajukan capres-cawapres. Ketentuan itu dinilai merupakan rekayasa politik partai-partai besar. Tujuannya, mempersulit warga negara yang ingin maju sebagai capres dan agar motor koalisi tetap di tangan mereka.

Jika merujuk konstitusi, ketentuan tentang pemilihan presiden tercantum dalam Pasal 6A UUD 1945. Dalam ketentuan itu dinyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Substansi pasal itu menunjukkan, parpol peserta pemilu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (koalisi), dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, konstitusi menghendaki semua partai politik yang secara de jure sudah dinyatakan KPU sebagai peserta pemilu, dapat mengajukan pasangan capres-cawapres sehingga syarat persentase jumlah dukungan bagi partai politik untuk mengajukan capres-cawapres jelas dapat dipersoalkan aspek konstitusionalitasnya.

Angka-angka persentase itu memberatkan parpol kecil dan menengah yang ingin mengajukan kader terbaiknya sebagai capres pada Pemilu 2009. Dalam konteks lebih luas, upaya untuk membendung banyak capres hanya akan merugikan masyarakat sebagai konstituen. Masyarakat dirugikan karena tidak diberi alternatif untuk memilih pemimpinnya. Kepentingan publik, yang seharusnya diperjuangkan dalam pembahasan RUU, terabaikan.

Uji materi

Tak lama seusai RUU Pilpres diundangkan, muncul aksi-aksi penolakan dari banyak kalangan, terutama dari tokoh politik yang terancam tidak bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres. Langkah konstitusional ditempuh dengan mangajukan uji materi (judicial review) UU Pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana peluangnya?

Secara hukum, konstitusi ditafsirkan melalui banyak cara. Ada lima cara penafsiran konstitusi yang sering digunakan MK dalam putusan-putusannya, yakni penafsiran historis, sosiologis, gramatikal, tekstual, dan original intent. Model-model penafsiran itu dapat digunakan sebagai alas gugat UU Pilpres.

Merujuk Pasal 6A UUD 1945, secara historis dan sosiologis, spirit dasar pemilihan presiden sebenarnya adalah memberi ruang luas kepada rakyat untuk memilih calon potensial yang ada di tengah masyarakat. Dari sisi gramatikal dan tekstual, Pasal 6A dengan tegas memberi hak yang sama pada parpol peserta pemilu untuk mengajukan capres-cawapres. Tidak ada kata-kata atau kalimat yang mengindikasikan perintah konstitusi untuk membeda-bedakan parpol berdasar perolehan kursi atau suara.

Bila menggunakan penafsiran original intent atau risalah perdebatan saat pasal itu dibuat, akan jelas, pembentuk UUD 1945 memberi hak kepada parpol untuk mengajukan capres-cawapres tanpa syarat persentase.

Terkait norma hukum dalam konstitusi, UU Pilpres berpotensi melanggar beberapa ketentuan konstitusi. Membatasi capres dan cawapres melalui instrumen syarat persentase bagi parpol jelas akan menabrak asas equality before the law yang terkandung dalam Pasal 27 dan 28D UUD 1945. Bahwa tiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di depan hukum. Lalu UU Pilpres berpotensi melanggar hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan serta mengekang kebebasan hak pilih pemilih.

Maka, pengajuan uji materi beralasan. Dari penafsiran dan norma hukum yang terkandung dalam konstitusi, uji materi bukan demi kepentingan tokoh politik atau parpol tertentu, tetapi demi menyelamatkan rakyat dengan meminjam palu MK.

Oce Madril Peneliti Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM; Research Student, Postgraduate Program in Law and Governance Studies, Nagoya University, Jepang

M Dawam Rahardjo - Tantangan Perbankan Syariah

Judul : Tantangan Perbankan Syariah
Sumber : Kompas, Rabu, 19 November 2008

Oleh M Dawam Rahardjo

Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam.

Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi.

Maka, dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama.

Mengingat motifnya bukan bisnis, pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Perbankan syariah berkembang meski awalnya dijumpai kesulitan menghimpun dana untuk modal awal sebesar Rp 10 miliar (1990-an). Berkat intervensi negara melalui Presiden Soeharto, dapat dihimpun dana Rp 110 miliar. Langsung dapat dibentuk bank syariah pertama bernama Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) dengan CAR amat mencukupi.

Namun, kecukupan modal saja tidak mencukupi. Dana selanjutnya diharapkan dari penyimpan pihak ketiga untuk memperbesar modal dan aset. Semula juga diragukan, masyarakat bersedia menabung. Masalahnya, penabung tidak dijanjikan suku bunga pasti, tetapi bergantung pada laba dan bagi hasil. Jika laba bank kecil atau merugi, perolehan bagi hasil nasabah ikut kecil pula.

Maka, agar masyarakat—yang umumnya bermotif ekonomi—mau menyimpan uangnya di bank, perlu dibuktikan bahwa bagi hasil bank syariah lebih tinggi dari bunga bank konvensional. Bank syariah berharap mendapat nasabah emosional dari umat Islam yang takut menjalankan riba. Penyimpan seperti itu ada, bahkan cukup fanatik. Buktinya, saat suku bunga bank mencapai 70 persen pada masa krisis, nasabah emosional itu tetap bertahan dengan tingkat bagi hasil yang jelas lebih rendah. Rush yang diramalkan pun tidak terjadi. Bahkan, bank-bank syariah tetap bertahan, sementara banyak bank konvensional bangkrut karena penarikan dana dan negative spread. Hal ini menjadi bukti keunggulan syariah yang tidak bergantung pada naik-turunnya suku bunga, dibanding bank konvensional.

Tanpa melibatkan dogma

Bank syariah menunjukkan bukti sukses penerapan syariah di bidang bisnis. Kunci sukses ini ada dalam metode atau cara penerapan.

Pertama, kajian ilmiah tentang riba dan alternatif riba dengan menggunakan teori-teori ekonomi, terutama moneter modern. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal-jurnal profesional untuk diketahui dunia akademis. Penerbitan itu menimbulkan aneka perbincangan tanpa melibatkan iman, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, kajian itu bisa diterima dunia akademis untuk dikuliahkan dan dipelajari mahasiswa di universitas terkemuka, seperti Harvard dan Oxford.

Kedua, hasil kajian ilmiah tentang perbankan syariah lalu dikemas menjadi produk-produk perbankan dan ditawarkan ke masyarakat dan dunia bisnis. Sebagian masyarakat menerima produk itu berdasar keyakinan agama, tetapi dunia bisnis ada yang menerima dan menolak produk itu berdasar pertimbangan rasional-ekonomis, yakni untung rugi. Inilah yang mendasari sebagian pemilik dana untuk menginvestasikan dan menyimpan uangnya ke bank syariah.

Ketiga, seperti kebijakan moneter dan perbankan memerlukan legislasi dan regulasi untuk menjamin kepastian hukum, syariat di bidang perbankan ini juga dilegislasikan, biasanya setelah didiskusikan secara publik melalui seminar-seminar. Pelegislasian syariat itu dilakukan melalui cara demokratis.

Meskipun UU dan peraturan perbankan syariat telah menjadi hukum positif, tetapi realisasinya tetap bersifat sukarela karena, menurut Sjafruddin Prawiranegara SH, mantan Gubernur BI, hukum syariat adalah sebuah voluntary law. Dengan perlindungan hukum, bank syariah berkembang di pasar, bersaing dengan bank-bank konvensional. Konsumen dipersilakan memilih. Hal ini berbeda, misalnya, dengan di Iran, di mana perbankan syariah diberlakukan dengan menutup bank-bank konvensional.

Tiga faktor

Ada beberapa faktor mengapa perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank syariah memiliki keunggulan, misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari risiko fluktuasi suku bunga sehingga memudahkan perencanaan usaha.

Kedua, produk bank syariah cukup variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank konvensional misalnya sistem gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana bisa menunjuk peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa diinvestasikan, juga ijarah muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk memiliki barang di akhir sewa atau hak untuk membeli barang yang telah disewa.

Namun, bank syariah juga memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah.

Kedua, jika dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI.

Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank.

Agar bisa berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.

Di AS, para ahli keuangan sudah melirik. Bahkan, mulai mempelajari apakah konsep syariah bisa menjadi alternatif sistem keuangan global yang kini sedang dilanda turbulensi? Di Indonesia, gerakan perkreditan mikro juga bertanya, apakah pendekatan syariah bisa mendukung sistem perkreditan mikro yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat yang sehat, mandiri dan berkelanjutan (sustainable)?

M Dawam Rahardjo Pemerhati Perbankan Syariah; Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta

Doyo Prasojo - Mainan Maut dari Limbah RS

Judul : Mainan Maut dari Limbah RS
Sumber : Kompas, Rabu, 19 November 2008

Oleh Doyo Prasojo

Belum lama ini, sebuah televisi swasta melaporkan adanya mainan anak-anak terbuat dari limbah medis rumah sakit. Mainan itu berasal dari jarum suntik, alat infus, pipet, dan alat cuci darah.

Bahan limbah medis RS ini dibuang begitu saja, lalu dipungut pemulung, dicuci, dibungkus, dan dijual di sebuah sekolah dasar. Anak-anak pun banyak yang membeli dan menggunakannya untuk bermain, tanpa memahami bahaya mengancam dirinya.

Atas kejadian itu, terlihat betapa sembrononya sebuah RSUD di daerah Jawa Barat yang membuang limbahnya tanpa diproses atau dihancurkan.

Dapat dipastikan, dengan tidak diprosesnya limbah medis itu, kuman atau bibit penyakit yang menempel dan bersarang akan tetap hidup, yang selanjutnya menularkan kepada anak. Apabila anak-anak ini terkontaminasi lalu terjangkit penyakit HIV atau hepatitis melalui limbah medis, dalam puluhan tahun diasumsikan kualitas SDM remaja Indonesia menurun, belum lagi pengobatannya yang mahal

Bibit penyakit berupa kuman, virus HIV, dan virus hepatitis bila strain ganas bukan lagi menyebabkan kualitas SDM menurun, bahkan menyebabkan maut.

Limbah medis

Limbah merupakan sisa usaha atau kegiatan. Ada beberapa konsep dalam mengelola limbah, yaitu mereduksi limbah, meminimalisasi limbah melalui reduksi sumbernya, produksi bersih, dan teknologi bersih.

Kegiatan pelayanan RS selain meningkatkan derajat kesehatan, juga menghasilkan limbah medis. Limbah medis ini mengandung kuman patogen, virus, zat kimia beracun, dan zat radioaktif yang membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan.

Limbah medis dapat berupa benda tajam, seperti jarum suntik atau perlengkapan infus. Ada juga limbah infeksius yang berkaitan dengan penyakit menular dan limbah laboratorium yang terkait pemeriksaan mikrobiologi. Limbah jaringan tubuh meliputi organ anggota badan, darah, dan cairan tubuh yang dihasilkan saat pembedahan. Limbah ini dikategorikan berbahaya dan mengakibatkan risiko tinggi infeksi.

Keberagaman limbah memerlukan penanganan yang baik sebelum limbah dibuang. Sayang sebagian besar pengelolaan limbah medis (medical waste) RS masih di bawah standar lingkungan karena umumnya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan sistem open dumping atau dibuang di sembarang tempat. Padahal, limbah medis seharusnya dibakar menjadi abu di insinerator bersuhu minimal 1.200-1.600 derajat celsius.

Minimalisasi limbah

Bila pengelolaan limbah tak dilaksanakan secara saniter, akan menyebabkan gangguan bagi masyarakat di sekitar RS dan pengguna limbah medis. Agen penyakit limbah RS memasuki manusia (host) melalui air, udara, makanan, alat, atau benda. Agen penyakit bisa ditularkan pada masyarakat sekitar, pemakai limbah medis, dan pengantar orang sakit.

Berbagai cara dilakukan RS untuk mengolah limbahnya. Tahap penanganan limbah adalah pewadahan, pengumpulan, pemindahan pada transfer depo, pengangkutan, pemilahan, pemotongan, pengolahan, dan pembuangan akhir. Pembuangan akhir ini bisa berupa sanitary fill, secured landfill, dan open dumping.

Mencegah limbah RS memasuki lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi keterpajanan (exposure) masyarakat. Tindakan ini bisa mencegah bahaya dan risiko infeksi pengguna limbah. Tindakan pencegahan lain yang mudah, jangan mencampur limbah secara bersama. Untuk itu tiap RS harus berhati-hati dalam membuang limbah medis.

Aspek pengelolaan limbah telah berkembang pesat seiring lajunya pembangunan. Konsep lama yang lebih menekankan pengelolaan limbah setelah terjadinya limbah (end-of-pipe approach) membawa konsekuensi ekonomi biaya tinggi.

Kini telah berkembang pemikiran pengelolaan limbah dikenal sebagai Sistem Manajemen Lingkungan. Dengan pendekatan sistem itu, tak hanya cara mengelola limbah sebagai by product (output), tetapi juga meminimalisasi limbah. Pengelolaan limbah RS ini mengacu Peraturan Menkes No 986/Menkes/Per/XI/ 1992 dan Keputusan Dirjen P2M PLP No HK.00.06.6.44,tentang petunjuk teknis Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Intinya penyelamatan anak harus di nomorsatukan, kontaminasi agen harus dicegah, limbah yang dibuang harus tak berbahaya, tak infeksius, dan merupakan limbah yang tidak dapat digunakan kembali

Rumah sakit sebagai bagian lingkungan yang menyatu dengan masyarakat harus menerapkan prinsip ini demi menjamin keamanan limbah medis yang dihasilkan dan tak melahirkan masalah baru bagi kesehatan di Indonesia.

Doyo Prasojo Mahasiswa Program Magister KARS-FKMUI

Doni Koesoema A - Mengurai Masalah Guru (Swasta)

Judul : Mengurai Masalah Guru (Swasta)
Sumber : Kompas, Rabu, 19 November 2008

Oleh Doni Koesoema A

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi.

Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.

Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Rocky Gerung - Ruang Sejarah

Judul : Ruang Sejarah
Sumber : Kompas, Selasa, 18 November 2008

Oleh Rocky Gerung

Sejarah memerlukan peristiwa. Peristiwa memerlukan tokoh. Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa. Dengan cara itu, sejarah diulang-ulang dan tokoh diingat-ingat.

Mengulang dan mengingat harus menimbulkan ”sensasi politik” agar dapat menghasilkan ”ketagihan historis”. Sensasi itu bernama ”perjuangan” dan pelembagaannya bernama ”kepahlawanan”.

Arsip nasional adalah tempat sensasi politik disimpan. Begitulah, secara rutin itu dibuka dan rutinitas itu justru menghambarkan sensasinya. Namun, ritus harus berlanjut karena negara memerlukan masa lalu.

Kepahlawanan lalu menjadi rutinitas politik kebangsaan, tetapi ritusnya tidak menghasilkan imajinasi kebudayaan. Yang terasa hanya semacam ”perang tarif” politik dalam menentukan siapa, kapan, dan untuk apa sebuah lencana kepahlawanan dianugerahkan.

Dagangan politik

Ketagihan historis adalah candu kekuasaan. Ia mengikat masyarakat di tiang politik masa lalu dan mengatur ruang sejarah dari titik itu. Akibatnya, ruang sejarah menjadi terbatas, sebatas jumlah peristiwa yang memiliki ”tokoh”.

Mengingat politik yang mendefinisikan syarat-syarat menjadi ”tokoh”, maka arsip nasional tidak lain adalah arsip politik. Dalam konstruksi semacam itu, kepahlawanan tak lagi menjadi ”ruang hening cipta” untuk meluaskan batin kemanusiaan, tetapi berubah menjadi ”pasar tumpah” yang hiruk-pikuk oleh berbagai dagangan politik.

Gejala ”kecanduan pahlawan” menumbuhkan industri politik baru: upacara, tanda jasa, biografi, proposal seminar, pidato, puisi, film, talk show, iklan politik, dan doa-doa. Di sini, produk sejarah dan produk kebudayaan massa bercampur dalam pasar yang sama: demagogi!

Begitulah ”sang pahlawan” tewas untuk kedua kali: bukan di medan perang, tetapi di medan makna! Persoalan kita memang ada di sini.

Kepahlawanan selalu disimpan dengan password politik. Padahal, sebuah makna semacam ”kepahlawanan” seharusnya disimpan dalam folder sejarah sosial yang terbuka, tanpa password, agar ia dapat diakses oleh beragam imajinasi. Dengan cara ini, ruang sejarah dapat meluas dan kita bertumbuh dalam pengalaman kebudayaan yang inklusif, lega, dan sugestif bagi pendidikan kemanusiaan.

Reorientasi mental

Sejarah diperlukan bukan karena sensasi politiknya, juga bukan sumber keteladanan nilai. Namun, pada percakapan tanpa henti tentang kemanusiaan. Keteladanan tidak harus diikat pada masa lalu. Ia dapat berada pada masa depan, pada ide-ide yang membuka ruang imajinasi peradaban.

Cita-cita politik yang menimbulkan toleransi kemanusiaan adalah a history in the making. Sebaliknya, orientasi obsesif politik identitas pada masa lalu adalah imajinasi historis yang berbahaya.

Karena itu, dalam hal ”kepahlawanan”, ruang sejarah meluas mengikuti daya jelajah pikiran. Sebenarnya, suatu deteritorialisasi sejarah sedang terjadi dalam berbagai percakapan kebudayaan kita. Pertemuan pikiran dunia karena eskalasi komunikasi memungkinkan kondisi kemanusiaan dirawat di luar batas natural sebuah bangsa.

Dalam banyak peristiwa dunia—yang menyangkut ”penyelamatan kemanusiaan”—kepahlawanan justru berasal dari luar batas bangsa.

Begitulah, dulu kita sinis pada ide hak asasi manusia, pada individualitas, pada liberalisme, pada pluralisme. Namun, itulah nilai-nilai kepahlawanan global yang memungkinkan kita bercakap-cakap dalam bahasa politik kemanusiaan, bahkan telah dipakai untuk mengoreksi masa lalu kita yang penuh penindasan dan penghinaan terhadap kemerdekaan manusia. Inilah medan global citizenship yang mengajarkan kita pada nilai-nilai toleransi, perbedaan, dan kesementaraan.

Kepahlawanan adalah kepemimpinan untuk membuka ruang sejarah seluas akal sehat manusia. Kepahlawanan adalah keberanian berorientasi dalam medan makna yang produktif bagi perluasan kemanusiaan.

Dalam cara pandang ini, patriotisme niscaya memerlukan reorientasi mental, yaitu dari nasionalisme ke humanitarianisme. Perluasan ide ini akan melapangkan jalan bagi sejarah untuk menemui anak tunggalnya: Kemanusiaan Yang Maha Esa.

Rocky Gerung Pendiri Setara Institute; Pengajar Filsafat, FIB UI