Achmad Ali - Ketua Baru dan Reformasi MA

Judul : Ketua Baru dan Reformasi MA
Sumber : Kompas, Selasa, 4 November 2008

Oleh Achmad Ali

Setelah Bagir Manan pensiun sebagai Ketua Mahkamah Agung, pimpinan sementara Ketua MA dijabat Harifin Tumpa. Lalu, akan dilakukan pemilihan ketua definitif, yang merupakan hak pilih seluruh hakim agung.

Saya tidak ingin terlibat polemik usia ideal Ketua MA, tetapi kita hormati hak setiap hakim agung untuk menentukan pilihan dan kepercayaannya, dengan mengacu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang lebih penting adalah, dengan ketua baru, bagaimana MA ke depan. Lebih jelas lagi, bagaimana upaya nyata dan prioritas yang dilakukan dalam rangka reformasi MA.

Tak boleh disia-siakan

Pergantian Ketua MA adalah momen yang tak boleh disia-siakan oleh kalangan MA guna mulai mengakomodasi secara bijak dan realistis, aneka kritikan publik yang relevan (tidak kebablasan) selama ini.

Betapa besar peran pengadilan dalam masyarakat modern, dikemukakan Justice Rose E. Bird, Ketua MA Negara Bagian California-AS, “If our courts lose their authority and their rulings are no longer respected, there will be no one left to resolve the divisive issue that can rip the social facic apart. The courts are a safety wanve without which no democratic society can survise”.

Seperti sinyalemen Hakim Agung Bird, MA harus tampil sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang memiliki kewibawaan, sebab hanya dengan demikian berbagai putusannya dihiraukan dan dihormati masyarakat. Betapa besar peran pengadilan, terutama MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi, terkait dengan yang pernah dinyatakan Presiden ke-3 AS, Thomas Jefferson, ”The implementation of the law is more important than the making of them”.

Kepemimpinan baru MA harus diterima dengan sikap yang tidak pars pro toto, yang menggeneralisasi seolah semua hakim agung adalah sosok yang memiliki kinerja buruk. Kenyataan, ada banyak hakim agung yang memiliki integritas baik, komitmen tinggi untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta penguasaan dan wawasan hukum yang luas, ditambah pengalaman cukup, baik dari jalur hakim karier maupun nonkarier. Karena itu, upaya reformasi MA untuk tampil sebagai ”MA yang responsif” bukan kemustahilan yang senantiasa memunculkan pesimisme. Yang penting, ada tidaknya ”kemauan” dan ”komitmen” kalangan hakim agung, dan sekaranglah saatnya.

Berbagai langkah reformasi MA harus dalam rangka mengoptimalkan perannya, yang berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Selain reformasi kelembagaan yang sementara ini revisi undang-undangnya digodok di DPR, yang tak kalah penting adalah reformasi kualitas sosok hakim agung. Targetnya, melahirkan hakim agung yang memiliki karakteristik hakim agung ideal, yaitu integritas, berkepribadian tak tercela, adil, profesional, dan memiliki kreativitas untuk—jika dibutuhkan—melakukan terobosan melalui putusannya.

Mengingat proses merekrut hakim agung merupakan kewenangan Komisi Yudisial, maka ke depan, amat diharapkan revisi UU MA, MK, dan Komisi Yudisial akan menjamin terwujudnya hubungan harmonis antara MA, MK, dan Komisi Yudisial. Hal ini mau tak mau memengaruhi persepsi publik terhadap lembaga penegakan hukum kita.

Karakteristik profesi hakim

Salah satu karakteristik profesi hakim menurut Richard A Posner, (2008 : 206 ), ”A judge is a generalist who writes an opinion under pressure of time in whatever case, in whatever field of law, is assigned to him”.

Mengingat profesi hakim yang generalis dan senantiasa dituntut memutus dalam waktu cepat berdasar asas the speedy administration of justice (peradilan cepat) dan asas non-liqued (tidak boleh menolak perkara apa pun yang diajukan kepadanya), apalagi tugas hakim agung bukan lagi sebagai iudex facti (hakim fakta), melainkan iudex iuris (hakim yang menilai ada atau tidaknya kesalahan dalam penerapan hukum), maka keterampilan rechtsvinding (penemuan hukum), rechtscheppend (penciptaan hukum) dan rechtstoepassing (penerapan hukum) mutlak harus terus ditingkatkan, baik secara otodidak maupun melalui berbagai pelatihan formal bagi para hakim agung. Hal itu juga akan menghasilkan aneka putusan MA yang tidak hanya adil, tetapi juga kian responsif karena seperti dikatakan Justice Oliver Wendell Holmes, ”Dalam proses menghasilkan putusan, para hakim bersumber dari kebutuhan pada masanya, moral umum dan teori-teori politik, intuisi tentang apa yang menjadi kebutuhan kebijakan umum, dan selaras dengan vorverstandnis (prapengetahuan, prasangka) yang juga dipunyai hakim dan dipandu oleh suatu kesadaran situasi (a situation sense) yang dihasilkan oleh bekerjanya sekelompok faktor yang sifatnya internal maupun eksternal”.

Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin