Tb Ronny Rahman Nitibaskara - Mutilasi dan Intensitas Kejahatan

Judul : Mutilasi dan Intensitas Kejahatan
Sumber : Kompas, Senin, 10 November 2008

Oleh Tb Ronny Rahman Nitibaskara

Meningkatnya kejahatan dengan modus memotong- motong tubuh korban atau mutilasi kian mengkhawatirkan. Dalam tahun ini sedikitnya terjadi delapan kasus.

Jumlah itu relatif amat besar untuk ukuran jenis kejahatan yang langka (extra-rare crime) ini. Dikatakan langka karena kekejiannya melampaui batas kemanusiaan. Hal ini mengindikasikan bahwa intensitas atau derajat kesadisan kejahatan di masyarakat kian meninggi.

Beragamnya pelaku menunjukkan, motif yang mendasari dilakukannya kejahatan itu juga tidak tunggal. Memilih modus operandi kejahatan, umumnya tidak lahir dari pemikiran genuine, tetapi meniru. Pelaku berkaca pada peristiwa pidana yang pernah terjadi, lalu mempertimbangkan cara-cara yang berlangsung di dalamnya untuk diterapkan. Perilaku semacam ini dinamakan peniruan model kejahatan (imitation of crime model).

Menurut kriminolog sekaligus sosiolog Perancis, Gabriel Tarde (1842-1904), manusia itu pada dasarnya individualis, tetapi berkat kemampuan untuk meniru (imitasi), berbagai peniruan yang dilakukannya membentuk jalinan interaksi sosial dan pada gilirannya tersusun kehidupan sosial. Bahkan, menurut dia, masyarakat itu pun merupakan buah peniruan (society is imitation) yang timbul dari berlangsungnya imitasi berkelanjutan dalam proses sosial.

Imitasi

Mengingat imitasi merupakan salah satu bentuk aspek kegiatan belajar meniru perilaku orang lain, oleh berbagai ahli psikologi, imitasi dipandang bukan sebagai ciri-ciri pembawaan manusia. Ia merupakan suatu proses sosial dan cara yang memungkinkan bertambah besarnya partisipasi seseorang dalam kelompok/masyarakat (Arifin, 1997).

Imitasi yang terus dilakukan atas suatu obyek peniruan akan menghasilkan kepribadian kedua (second entity) yang mungkin berbeda dengan watak bawaan. Manusia mengimitasi hampir semua hal yang sanggup ditiru, termasuk kejahatan. Proses imitasi tidak bersifat serta-merta.

Menurut Chorus, seperti dikutip Soelaiman Joesoef dan Noer Abijono (1981), proses imitasi memerlukan beberapa syarat.

Pertama, adanya minat atau perhatian yang cukup besar terhadap apa yang akan diimitasi.

Kedua, ada sikap menjunjung tinggi atau mengagumi apa yang akan diimitasi.

Ketiga, tergantung pada pengertian, tingkat perkembangan, dan tingkat pengetahuan individu yang akan mengimitasi.

Peranan media

Beberapa prasyarat itu menunjukkan, informasi atau pengetahuan mengenai obyek peniruan bersifat sentral. Semakin kaya informasi, semakin mudah melakukan peniruan. Di sinilah media massa mempunyai peranan penting.

Pemberitaan kejahatan yang membeberkan detail-detail pelaksanaannya akan melahirkan proses imitasi untuk kejahatan sejenis. Akibatnya media dapat menjadi transmisi modus operandi kejahatan.

Menurut hasil penelitian Doris Graber (1980) di Amerika Serikat, 94 persen dari responden yang diteliti menyatakan, media masa merupakan sumber informasi utama mengenai kejahatan dan peradilan. Padahal, karena faktor persaingan media, tak jarang peristiwa kejahatan yang diberitakan sengaja didramatisasi secara berlebihan (overdramatization).

Distorsi pemberitaan biasanya diawali dari tindakan hanya memilih peristiwa-peristiwa kejahatan dengan kualitas tertentu saja yang disajikan.

Semakin keras, keji, luar biasa, dan aneh suatu kejadian tindak pidana, semakin berpeluang mendapat porsi besar pemberitaan (Wright, 1985). Maka, dapat dimengerti bila pemberitaan mengenai mutilasi memperoleh ruang berita yang besar.

Motif

Selain faktor peniruan, pemilihan modus mutilasi juga didasari berbagai motif.

Pertama, untuk menghilangkan jejak. Kedua, ringkas dalam membawa korban. Ketiga, pergulatan kejiwaan yang dikuasai oleh kemarahan, kebencian, dan emosi-emosi lain yang tak terkendali. Pembunuhan yang diliputi motif ini, mutilasi merupakan ekspresi kemarahan atau kebencian.

Keempat, karena gangguan kejiwaan yang relatif permanen, seperti psikopatis dan sadisme. Dalam motif ini, mutilasi merupakan bentuk pemuasan bahkan kenikmatan. Kelima, mutilasi merupakan ritual untuk meningkatkan keandalan ilmu hitam yang dipelajari.

Semua motif itu sebenarnya dapat dipilah dua, rasional dan nonrasional (termasuk tidak mampu berpikir sehat). Kebanyakan kasus mutilasi yang pada akhir-akhir ini terungkap, umumnya dilaksanakan berdasarkan perhitungan rasional, antara lain seperti kasus Ryan dan Yanti. Tekanan ekonomi tampaknya lebih dominan untuk menjadi pemicu. Mutilasi juga dapat dipandang sebagai ekspresi dari frustrasi yang akut

Adanya hambatan dan ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan, pada gilirannya menjelma menjadi bentuk-bentuk perilaku agresif. Henry dan Short (1954) berpendapat, orang- orang yang mengalami frustrasi mudah sekali melakukan tindakan kekerasan.

Dalam frustrasi yang berat, bila ada kesempatan, orang tidak lagi mengindahkan apa pun untuk melepaskan tekanan jiwanya. Untuk itu, agar kekejian ini tidak terus berlanjut, menahan diri dalam pemberitaan kasus mutilasi dan kesadisan lain perlu dipertimbangkan.

Dari segi penindakan, Polri dituntut semakin mengembangkan teknik-teknik investigasi ilmiah agar kasus kejahatan semacam itu lebih cepat terungkap. Dengan demikian, intensitas kekejian kejahatan dapat diredam.

Tb Ronny R Nitibaskara Guru Besar Kriminologi UI