Oleh Rikard Bagun
Sebagai tamu khusus, saya dan politisi muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, dapat berkali-kali memasuki rumah kediaman Presiden Paraguay Fernando Lugo di pinggiran Asuncion, ibu kota negara.
etiap kali masuk, kami berdua dibuat terperangah dan tidak habis pikir mengenai kondisi rumah berukuran sekitar 45 meter persegi itu. Citra kesederhanaan tidak hanya terlihat dari luar, tetapi terutama di dalam rumah warisan keluarga Lugo itu.
Sekalipun Lugo sudah terpilih sebagai presiden pada April lalu, kondisi rumahnya tidak berubah juga, sekurang-kurangnya sampai dua hari setelah dilantik tanggal 15 Agustus lalu.
Dengan diantar oleh Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, saya dan Budiman dapat memasuki rumah itu berkali-kali tanpa halangan sedikit pun.
Rasa terkejut bertambah karena Martin, mantan sekretaris pribadi Lugo, terkesan seenaknya mengajak kami berdua melihat- lihat seluruh ruangan, termasuk dapur dan kamar tidur Lugo.
Namun, belakangan baru diketahui, Martin sebagai mantan sekretaris pribadi Lugo sudah menyatu dengan budaya masyarakat Paraguay yang terkenal ramah terhadap tamu dan cenderung memperlakukan tamu sebagai anggota keluarga.
Tidak segan-segan orang Paraguay, pria atau perempuan, mengajak minum yerba mate, teh khas Paraguay, yang diminum bersama secara bergilir dari satu cangkir kayu. Jika sudah kenal, tamu bisa mengajak lihat dapur dan isi kulkas, bahkan tempat tidur.
Kehangatan macam itu juga terasa di rumah kediaman Lugo. Hanya bagi saya dan Budiman dengan latar belakang Indonesia, alangkah mengejutkan kondisi rumah kediaman presiden yang begitu sederhana, jauh dari kemewahan.
Jika di Indonesia, jangankan presiden, pelantikan seorang pejabat tinggi pun sudah memancing banyak orang yang berkepentingan untuk mengulurkan tangan, memberi bantuan, termasuk memperbaiki rumah.
Karangan bunga pun mengalir. Namun, dalam kasus Lugo, hal macam itu praktis tidak terlihat. Citra asketis sangat kuat pada Lugo, yang terefleksi jelas pada rumah kediamannya.
Cat kusam tetap menyelimuti dinding luar dan seluruh ruangan rumah. Sofa sederhana, yang terkesan agak kusam, tetap berada di ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Terlihat pula sebuah perangkat TV tua.
Ekspresi kesederhanaan itu semakin terasa kuat pada meja makan. Setiap tamu, termasuk kami bertiga dari Indonesia (saya, Budiman, dan Martin), ikut menikmati makanan harian Lugo berupa singkong rebus, nasi putih, daun kol cacah (salad), dan ikan. Jenis makanan sehari-hari rakyat biasa di Paraguay. Tidak ada yang istimewa.
Sementara itu, di dinding ruang tamu yang kusam tampak tergantung bingkai sederhana berisi surat keputusan komisi pemilu atas kemenangan Lugo dalam pemilihan presiden. Juga terlihat foto pribadi Lugo yang sedang berpidato, yang dibingkai dengan sederhana pula.
Dalam lorong tangga menuju lantai dua terlihat tembok yang kusam terkena tirisan hujan. Potret kesederhanaan itu semakin terlihat pada kamar tidur Lugo yang kecil.
Ketika dilantik menjadi presiden, Lugo terlihat seperti menggunakan baju putih lengan panjang dan celana panjang krem yang sudah biasa dipakainya. Sama sekali tidak memakai seragam lengkap sipil.
Ajak ke istana
Selama menjadi tamu khusus, saya dan Budiman sering terkaget-kaget dengan kiprah Lugo yang terkesan tidak terikat dengan pakem protokoler seorang presiden.
Dua hari sebelum dilantik, Lugo, misalnya, tiba-tiba meminta Martin untuk mengantarnya ke Casa Sentral SVD. Dengan mobil setengah pikap, Lugo bersama kami bertiga dari Indonesia pergi di tengah larut malam ke Casa Sentral SVD di pinggiran Asuncion.
Dua hari setelah dilantik, Lugo tiba-tiba juga mengajak kami bertiga menaiki mobil yang dikemudikannya sendiri ke Istana Kepresidenan. Namun, ajakan itu batal karena kami menggunakan kendaraan lain agar leluasa bisa meninggalkan Kantor Kepresidenan. Akan tetapi, Lugo meminta agar kendaraan kami mengambil posisi langsung di belakang kendaraannya menuju istana.
Sesampai di Istana Kepresidenan, kami bertiga diajak Lugo untuk ikut melihat seluruh ruang kerja, termasuk ruang sidang kabinet dan kamar istirahat yang dilengkapi kasur.
Selama hari pertama mengantor itu, kami bertiga dipersilakan duduk sambil minum kopi dan teh di ruang kerjanya. Secara langsung kami bertiga dapat menyaksikan Presiden Lugo menerima sejumlah anggota kabinet sembari menandatangani sejumlah dekret penting.
Pada hari pertama kerja sebagai presiden itu, Lugo mendapat laporan, anggaran rumah tangga istana hanya tersisa sekitar 20.000 dollar AS untuk kebutuhan empat bulan ke depan. Sebagian dana sudah dihabiskan rezim terdahulu yang terkenal korup.
Sesekali Lugo dan anggota kabinetnya menanyakan situasi terkini Indonesia. Sehari sebelumnya kami bertiga juga diajak mengikuti acara syukuran di San Piedro, tempat Lugo menjadi uskup sebelum terjun ke dunia politik tahun 2006.
Ketika makan pagi, kami menyaksikan bagaimana Lugo bersama Presiden Venezuela Hugo Chavez menyantap makanan rakyat Amerika Latin, seperti ubi kayu, jagung, dan pisang rebus.
Salah satu karakter para pemimpin neososialis Amerika Latin memang kedekatan dengan rakyat. Sosialisme benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.