Oleh Yonky Karman
Memimpin pada saat krisis berbeda dari saat normal. Dampak krisis global sulit dihindari. Kepanikan ekonomi di AS merembet ke negara lain dan berimbas ke negara yang relatif baik fundamental ekonominya.
Memasuki turbulensi krisis keuangan global, peran pilot negeri amat menentukan. Turbulensi tidak selamanya, tetapi bisa mencelakakan. Pesawat Indonesia harus selamat keluar dari turbulensi.
Negara vs pasar
Hari-hari ini komunitas bisnis di Tanah Air diselimuti sentimen negatif pasar. Orang menjadi sensitif dengan isu meski tanpa dasar. Rasionalitas publik yang tak menentu itu menjadi sasaran spekulan yang selalu memanfaatkan kesempatan di atas kesempitan. Kepanikan akibat krisis keuangan global sengaja ditularkan agar Indonesia terseret dalam arus panik.
Spekulan ingin pasar bergerak liar sesuai keinginannya dan pemerintah hilang kendali. Sebisanya saham-saham perusahaan di Indonesia yang neraca keuangannya sebenarnya sehat, terus turun hingga ke level terendah, seperti krisis tahun 1998. Sesudah itu, mereka leluasa memunguti saham-saham murah.
Jika dihambat berspekulasi di pasar saham, aksi mereka dialihkan ke pasar uang dan mengeruk keuntungan dari fluktuasi kurs. Karena itu, bertentangan dengan doktrin pasar bebas, kehadiran pemerintah di pasar amat diperlukan. Pasar tidak selalu mengatur dirinya untuk efisiensi dan kesejahteraan publik. Pasar bukan panglima, tetapi didikte spekulan.
Ada yang gembira jika masyarakat menengah ke atas bertindak irasional. Diharapkan akumulasi tindakan irasional itu kemudian membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang tidak cermat. Spekulan ingin menutupi kerugian mereka dengan mengobok-obok pasar di negeri yang lemah penegakan hukumnya. Karena itu, regulasi menjadi kata kunci untuk meredam gejolak liar pasar.
Spekulan terus mengembuskan sentimen negatif kepada masyarakat yang sedang resah. Informasi positif yang berasal dari otoritas resmi tentang fundamental dan perkembangan ekonomi disambut dingin. Sebaliknya, disinformasi diterima bulat-bulat. Krisis keuangan global memasukkan Indonesia ke dalam ujian berat. Adu kuat antara hasrat spekulan dengan kebijakan pemerintah yang antisipatif, solutif, dan konsisten.
Saatnya barangkali untuk merevisi rezim devisa bebas. Belum ada penguasa yang berani merevisinya karena takut dengan ongkos politik yang diembuskan asing. Padahal, selama ini hot money lebih banyak membuat pasar uang Indonesia babak belur dan devisa hasil ekspor yang diparkir bebas di luar negeri tidak ikut memperkuat fundamental ekonomi negeri.
Kepemimpinan baru
Krisis adalah keadaan gawat meski tidak selalu di luar kendali. Krisis tidak disukai penguasa sebab membuat rakyat resah dan memicu instabilitas. Agar keluar dari krisis dengan selamat, pemimpin negeri harus fokus dan konsentrasi penuh pada implementasi kebijakan ekonomi. Krisis dapat memunculkan kepemimpinan yang tegas dan cerdas, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Memimpin bukan untuk dilihat meski di posisi terdepan. Memimpin bukan untuk menonjolkan diri meski disorot. Memimpin adalah memberi arah, pasang badan untuk yang dipimpin, mencurahkan segenap waktu untuk kebaikan yang dipimpin. Tata kelola pemerintahan adalah kekurangan terbesar Indonesia dan kini tak dapat ditunda lagi.
Indonesia akan terseret krisis jika masyarakat terus panik, ditambah kepemimpinan negeri yang tidak jelas dan business as usual. Presiden perlu mengurangi kegiatan meresmikan proyek yang sebenarnya cukup dilakukan kepala daerah atau menteri terkait. Birokrasi perlu ramping dan lincah mengarungi turun naik gelombang krisis. Produktivitas bangsa dan daya beli masyarakat harus ditingkatkan. Jangan menggusur pedagang informal sebab mereka menjadi katup pengaman pada saat krisis.
Memimpin tidak hanya memerintah, tetapi menjadi pembangun solidaritas. Berbagai elemen primordial dan kepentingan dipercayakan kepada negara untuk diatur agar tak bersilangan atau berbenturan. Negara bukan kumpulan elemen bangsa. Visi bernegara membuat entitas baru, yakni negara-bangsa, menjadi lebih besar dari totalitas elemennya. Maka, bahasa mayoritas atau proporsionalitas tidak relevan.
Berdasarkan visi negara-bangsa itu, pemimpin tidak hanya mengakomodasi berbagai aspirasi elemen masyarakat, tetapi mengarahkannya untuk kepentingan bangsa. Elemen primordial tak menjadi primordialis. Elemen kepentingan tidak melahirkan egoisme sektoral. Yang kuat tidak merugikan yang lemah. Yang berkuasa tidak memanipulasi kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri/kelompok.
Pemimpin populis mudah mengumbar janji, tetapi kepemimpinannya mengecewakan. Kekuasaan membentuk lingkaran sendiri, menjauhkan pemimpin dari rakyat dan membuatnya sulit mendengarkan suara rakyat. Banyak pemimpin tidak mau tahu realitas sebenarnya di lapangan. Banyak pejabat bermentalitas dilayani daripada melayani.
Dikawal konstitusi
Proses reformasi dan demokrasi harus dikawal konstitusi. Tak terhitung energi, waktu, dan biaya telah dihamburkan untuk lebih dari 3.000 peraturan daerah tentang pajak dan retribusi di kabupaten/kota di Indonesia yang kemudian terindikasi bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Walhasil, 1.002 perda dibatalkan. Sekitar 700 perda bermasalah karena bernuansa syariah.
Wibawa pemerintah merosot saat pelanggaran konstitusional dibiarkan. Hukum dilecehkan, di jalan hingga lembaga tinggi negara. Warga main hakim sendiri. Warga yang dirugikan menanggung sendiri kerugiannya. Aparat penegak hukum merangkap makelar perkara atau memeras pihak yang beperkara. Eksekutif dan legislatif membuat kebijakan yang mengkhianati konstitusi.
Berhentilah meninabobokan rakyat seolah agama menjadi solusi bagi buruknya tata kelola pemerintah. Ke dalam, birokrasi harus berbenah diri agar efisien dalam layanan publik yang murah dan cepat. Ke luar, birokrasi menegakkan konstitusi tanpa pandang bulu. Negara harus probangsa, tidak didikte kepentingan pasar global. Jangan sampai negara konstitusional antara ada dan tiada, terombang-ambing antara massa dan pasar.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta