Sumber : Kompas, Kamis, 13 November 2008
Oleh Frans H Winarta
Desakan untuk menciptakan good governance di birokrasi merupakan tuntutan universal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Gerakan antikorupsi bermunculan hampir di semua negara di dunia.
Sejak United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dideklarasikan pada 31 Oktober 2003, banyak negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukungnya, khususnya negara-negara berkembang yang paling menderita didera korupsi serta merasakan akibatnya dalam bentuk kemiskinan, birokrasi yang tidak efisien, tindak pidana pencucian uang (money laundering), defisit anggaran belanja negara, daya beli yang lemah, serta beban pajak yang beragam dan mencekam kehidupan rakyat.
Tidak salah jika Executive Director United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Antonio Maria Costa dalam Conference of the States Parties to the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Nusa Dua, Bali, 28 Januari 2008, mengusulkan kepada negara anggota UNCAC agar berkonsentrasi dalam tiga hal dalam memberantas korupsi.
Langkah pertama adalah hal apa yang telah dilakukan oleh negara anggota (state parties) untuk memberantas korupsi dalam melaksanakan UNCAC Convention.
Langkah kedua adalah hal apa yang diperlukan dalam memberantas korupsi, termasuk perlunya bantuan teknis (technical assistance).
Langkah ketiga adalah pengembangan atas mekanisme penilaian (review mechanism) agar penyebaran korupsi dapat dikontrol dengan meninjau kembali upaya pemberantasan korupsi sehingga tidak menyebar lebih luas dan di luar kontrol.
Semua itu dicanangkan dalam rangka mencegah penyebaran korupsi lebih luas. Pencegahan korupsi antara lain dilakukan dengan menunjuk badan antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk sejak lima tahun lalu. Upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan menggunakan segala kewenangan yang dimiliki sebagaimana diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tidak dapat disangkal hadirnya KPK membuat para koruptor kecut hati dan berupaya untuk mengecilkan perannya dengan berbagai cara, seperti menyuap, kooptasi, penggunaan jasa calo perkara, pemberian gratifikasi terang-terangan maupun terselubung, penyediaan aneka fasilitas, memengaruhi lembaga penegak hukum agar tidak konsisten memberantas korupsi, dan segala upaya untuk menghambat gerakan pemberantasan korupsi.
Upaya memberantas korupsi
Pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan global dan universal di seluruh dunia. Dunia pun menjadi desa kecil (small village) terlebih setelah revolusi informasi. Kabar dari tempat paling terisolasi pun dapat diserbarluaskan ke seluruh dunia, termasuk kabar pemberantasan korupsi.
Hal itu merupakan ancaman bagi tindak pidana korupsi untuk bertahan. Para koruptor akan melakukan apa pun guna melumpuhkan pemberantasan korupsi. Lambannya pemberantasan korupsi di Indonesia antara lain karena belum adanya pengadilan yang jujur dan berintegritas. Budaya kleptokrasi terjadi di hampir semua birokrasi. Juga belum ada kebiasaan mengumumkan aset yang dimiliki sebelum dan sesudah seseorang menjadi pejabat dan sulitnya menunjuk pejabat yang konsisten dalam memberantas korupsi.
Kita sudah memiliki UU Antikorupsi, yaitu UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Badan antikorupsi, yaitu KPK, sudah ada sejak lima tahun lalu. Pengadilan tindak pidana korupsi sudah dibentuk beberapa tahun lalu. Namun, kemauan politik untuk memberantas korupsi belum memadai karena budaya korupsi begitu lama dibiarkan dan telah menyebar ke semua aspek kehidupan.
Salah satu perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi adalah ketika ada seorang hakim yang ditembak karena menjatuhkan putusan bersalah kepada seorang terdakwa korupsi. Selain itu, sikap tidak setuju atas KKN juga ditunjukkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan pernyataan yang tegas mencekal 14 pengusaha batu bara dan akhirnya beberapa perusahaan itu membayar royalti.
Belum lama ini, dalam bidang pasar modal, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan putusan terhadap PT Bumi Resources Tbk. tentang penangguhan penjualan saham perusahaan itu demi menjaga kredibilitas pasar modal. Namun, putusan itu dibatalkan pemerintah. Hal itu menimbulkan kekecewaan sehingga Menkeu sempat diberitakan mengancam akan mengundurkan diri. Jika ini terjadi, niscaya akan merupakan kerugian besar bagi rakyat Indonesia dan kredibilitas pemerintah karena Sri Mulyani berperan besar dalam meningkatkan kredibilitas pemerintah melalui gebrakannya mereformasi Departemen Keuangan.
Selain itu, beberapa hari lalu Prof Romli Atmasasmita dijadikan tersangka tanpa lebih dulu diperiksa dan bisa dianggap melanggar hak asasi manusia. Dalam hal ini, ada perbedaan, yaitu saat KPK yang menjadikan Aulia Pohan sebagai tersangka setelah diperoleh bukti-bukti nyata atas dugaan keterlibatannya dalam aliran dana YPPI-BI ke beberapa anggota DPR melalui pemeriksaan yang lama dan teliti.
Sifat kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka ini berbeda dengan tindakan yang dikenakan terhadap Romli Atmasasmita. Romli diduga terlibat korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM).
Semua orang tahu Prof Romli Atmasasmita adalah arsitek pembentukan KPK dan penyusunan RUU tentang KPK sebelum menjadi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitu pula dia bersama beberapa anggota DPR dan DPD, seperti Soeripto, Ade Daud Nasution, Priyo Budi Santoso, dan Marwan Batubara, serta beberapa LSM, seperti ICW di bawah pimpinan Teten Masduki, Masyarakat Profesional Madani (MPM) di bawah pimpinan Ismed Hasan Putro, paling gencar menyuarakan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI dan mendesak pengambilalihan pemeriksaan kasus BLBI dari Kejaksaan Agung ke KPK.
Gerakan nasional
Agenda pemberantasan korupsi harus ditingkatkan agar menjadi gerakan nasional. Pemerintah harus lebih serius memberantas korupsi dan tak menerapkan standar ganda dalam memberantas korupsi. Jangan sampai karena ”orang dalam” atau ”sumber keuangan” dijadikan alasan untuk tidak menerapkan hukum secara tegas dan konsisten.
Kebijakan tebang pilih ini akan menyebabkan gerakan pemberantasan korupsi mengendur dan muncul perlawanan dari para koruptor, baik melalui oknum penegak hukum maupun penguasa. Semua ini dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi.
Frans H Winarta Advokat di Jakarta; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan