Oleh Yonky Karman
”Kontrak sosial kita tercabik-cabik. Kita membutuhkan malaikat sebanyak-banyaknya.” (Bruce Springsteen)
Demikian ucapan musisi rock legendaris AS saat menggelar konser dalam rangka kampanye kandidat presiden Barack Obama (2/11). Krisis finansial melanda seantero dunia. Dari Barat ke Timur. Dari Utara ke Selatan.
Ada yang berubah. Negara yang satu terpuruk, negara lain mengalami kontraksi pertumbuhan. Akankah dunia menuju keseimbangan baru? Akankah terbentuk tata ekonomi yang berkeadilan? Akankah kapitalisme liberal mengalami koreksi?
Krisis juga bagian sejarah, tepatnya sejarah perubahan (José Ortega y Gasset, Man and Crisis, 1958). Bisa jadi krisis finansial global hanya membuat kapitalisme liberal berganti jubah. Kepemilikan saham perusahaan besar berganti. Namun, pengisapan negara kaya atas negara miskin dan berkembang terus berlangsung. Kesenjangan Utara dan Selatan tak mengalami perubahan.
Koreksi fundamental tak terjadi karena minimnya peran generasi historis. Generasi historis tidak hanya sezaman (contemporaries) atau sebaya (coevals), tetapi memiliki cara baru dalam memandang dunia dan menangani persoalan. Selalu ada pertentangan di antara mereka yang mempertahankan dunia lama dan yang ingin mengubahnya.
Interaksi intens di antara keduanya membuat roda sejarah bergerak dan berputar. Sejarah mengalir. Tanpa dis-ekuilibrium internal itu, sejarah berhenti di satu titik, kehilangan daya geraknya, membatu, dan berwajah tunggal. Namun, generasi historis sering tidak berhasil menentukan jalan sejarah.
Watak kepahlawanan
Tidak seperti kebanyakan bangsa lain, Indonesia memilih untuk memiliki Hari Pahlawan. Pahlawan, dalam mati atau hidupnya, dikenal atau tak dikenal, dikenang karena peran historisnya.
Sayang, pemerintah dari tahun ke tahun sibuk dengan penetapan siapa saja dari yang telah gugur layak menerima gelar pahlawan nasional. Padahal, diperlukan pahlawan yang hidup untuk merajut kontrak sosial yang tercabik-cabik.
Pemerintah bertanggung jawab mengembangkan watak kepahlawanan sebagai identitas bangsa. Pahlawan berbuat sesuatu bagi kelangsungan bangsa yang menjawab panggilan sejarah.
Masyarakat, bahkan pemerintah, kini terbelah tak mampu membedakan antara heroes and villains. Tindak kejahatan mendapat pemutihan saat panji agama dikibarkan. Pemimpin tak berkualitas menjadi pejabat karena dukungan uang, mesin politik, dan massa.
Pemerintah terkesan hanya pandai memberi perintah, tetapi lemah dalam perencanaan jangka panjang dan koordinasi antarinstansi. Tenaga kerja Indonesia adalah pahlawan devisa, tetapi pemerasan TKI yang baru pulang adalah cerita biasa. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi pemerintah setengah hati memajukan dunia pendidikan. Pengusaha dan pedagang adalah pahlawan ekonomi, tetapi mereka menjadi obyek pungutan liar. Pejabat yang sukses mereformasi birokrasi dan mengikis budaya paternal adalah birokrat pahlawan.
Mereka semua adalah generasi historis, tumpuan harapan yang membuat biduk Indonesia tak terdampar ke posisi negara pinggiran.
Generasi orde
Paradigma berbangsa kita adalah orde dalam kerangka waktu eksternal dan kronologis. Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Generasi dilihat sebagai suksesi dengan asumsi terjadi juga perubahan fundamental. Padahal, politik orde diusung penguasa baru hanya untuk menarik demarkasi dengan rezim lama. Setelah 10 tahun reformasi, wajah Indonesia belum banyak berubah.
Pascakemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI, Bung Karno menyatakan Revolusi belum selesai dan menegakkan Demokrasi Terpimpin. Penentangnya adalah kontrarevolusi. Namun, menurut Bung Hatta, revolusi meruntuhkan sendi kehidupan sosial politik (Umwertung aller Werte). Fokus perjuangan pascakemerdekaan seharusnya perwujudan cita-cita sosial revolusi. Keadilan sosial harus dicapai dengan cara-cara rasional, terencana, dan bertahap.
Belum tuntas proyek kemandirian bangsa, rezim baru yang prokapitalisme muncul. Pancasila yang seharusnya melahirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat hanya jadi alat di tangan penguasa untuk menghantam lawan politik.
Perilaku historis
Padahal, Sumpah Pemuda melahirkan generasi historis yang menyatu dengan visi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Yang muda dan intelektual rela hidup untuk visi itu, termasuk mendekam dari penjara ke penjara. Kini pejabat dan mantan pejabat mendekam di penjara karena korupsi.
Sayang, kegeraman rakyat terarah kepada moralitas individual daripada korupsi berjemaah. Mafia peradilan merajalela. Korupsi di parlemen. Panggung kehidupan bernegara dikuasai generasi ahistoris.
Tiap hari wibawa pemerintah dijatuhkan. Pengguna jalan berlaku seenaknya, dan menjadi pangkal kecelakaan dan kemacetan. Ruang pengadilan menjadi tak berwibawa dan tiada sanksi bagi kepala pengadilan yang lalai. Pelanggar hukum lebih memiliki keberanian daripada penegak hukum. Dibutuhkan tindakan heroik untuk membalik tren demoralisasi di kalangan penegak hukum.
Yang dibutuhkan bukan jargon ”Indonesia Bisa”, tetapi Indonesia bisa apa untuk menjadi bangsa mandiri dan sejahtera. Maka, pemimpin harus memiliki watak kepahlawanan. Berdedikasi, bukan abdi partai dan kekuasaan. Siap memberi jalan bagi orang lain yang lebih mampu, berjuang dalam diam. Memberdayakan rakyat dan memfasilitasi perubahan.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta