Oleh Donny Gahral Adian
Indonesia sedang menuju sistem presidensial yang kokoh. Undang-undang pemilihan presiden yang baru disahkan adalah salah satu indikator kuat.
Memang, presiden, tidak bisa tidak, harus memiliki keleluasaan politik untuk mengambil keputusan, apalagi berbagai persoalan kini berjalan lebih cepat daripada birokrasi ketatanegaraan kita. Demokrasi parlementer yang terlalu kuat membuat kecepatan keputusan presiden harus seiring kecepatan birokrasi di parlemen. Ini pokok persoalan yang perlu serius direnungkan.
Kediktatoran konstitusional
Sebuah adagium berbunyi, ”Jika konstitusi sebuah negara adalah demokratis, maka setiap negasi terhadap prinsip-prinsip demokratis, setiap penggunaan kekuasaan tanpa persetujuan mayoritas dapat disebut sebagai kediktatoran”. Adagium itu dipakai semua negara demokratis. Negara demokratis senantiasa curiga terhadap kekuasaan eksekutif yang berlebihan.
Pengalaman 32 tahun di bawah Orde Baru membuat trauma politik di negeri ini. Sejarah menunjukkan bagaimana kekuasaan presiden yang tak terbatas menghasilkan berbagai kerugian. Institusi kepresidenan hampir tak tersentuh, membuat berbagai keputusan mengalir dari Istana tanpa halangan berarti. Kebijaksanaan mayoritas dikalahkan keputusan penguasa tunggal yang didukung militer.
Fakta sejarah itu tidak dapat dibantah. Namun, apakah konstitusi kita tidak memberikan keleluasaan politik bagi presiden. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah bukti, konstitusi kita memiliki ruang bagi keputusan yang mencederai prinsip pembagian kekuasaan. Gus Dur mencoba kembali saat menjabat presiden. Namun, upaya itu gagal karena desakan kuat politik dari berbagai elemen di dalam maupun luar parlemen.
Trauma politik selama Orde Baru membuat kita mengabaikan kandungan kediktatoran dalam konstitusi kita. Carl Schmitt, filsuf Jerman, mengingatkan, setiap pemerintahan yang mampu bertindak secara decisive harus mengadopsi kadar tertentu kediktatoran dalam konstitusinya. Jerman mengenal konsep ausnahmezustand, artinya kedaruratan. Dalam kedaruratan, kekuasaan eksekutif dibebaskan dari konstrain legal dalam mengambil keputusan.
Kita dapat berandai-andai. Undang-undang membatasi kewenangan presiden untuk membatalkan produk hukum yang dibuat pemerintah daerah. Padahal, produk hukum itu sudah mengakibatkan sengketa sosial yang parah. Apakah presiden sebagai panglima tertinggi, yang notabene bertanggung jawab atas keamanan teritorinya, tidak bisa berbuat apa-apa? Presiden tidak dapat membatalkan produk hukum yang mengancam integrasi, padahal dirinya bersumpah menjaga NKRI.
Reichspräsident harus dapat bekerja secara efektif. Dalam esai Schmitt berjudul Die Diktatur, dijelaskan perbedaan antara elemen efektif dan tidak efektif dalam konstitusi Weimar Republic. Elemen tak efektif adalah proses yang lama, penuh kompromi dan bertele-tele dalam lembaga legislatif. Sebaliknya, elemen efektif adalah lembaga kepresidenan yang cepat, tegas, dan efektif. Kita terlalu naif, menurut Schmitt, menyamaratakan antara keputusan eksekutif yang efektif dan kediktatoran. Kediktatoran bersemayam dalam konstitusi modern semua republik. Kediktatoran konstitusional, paling tidak.
Kekuasaan presiden
Sejak reformasi, wacana yang bergulir adalah pembatasan kekuasaan presiden. Ini didukung sistem multipartai yang diadopsi republik ”baru” ini. Partai bertambah banyak sehingga kini parlemen dihuni beragam kepentingan. Dulu, semasa Orde Baru, pengawas kekuasaan presiden hanya dua partai dan itu pun ditumpulkan. Saat ini pengawas demikian banyak dan beragam. Ada yang sungguh-sungguh mengawasi, dan ada yang sekadar menaikkan posisi tawar politik.
Presiden pun menjadi tidak dapat mengambil keputusan. Sebab, dia harus melayani banyak kepentingan di parlemen. Juga saat dia berani mengambil keputusan, dia terancam pemakzulan. Gus Dur, saat menjadi presiden, merasakan hal itu. Proposalnya untuk mencabut Tap MPRS No XXV ditanggapi keras berbagai kelompok kepentingan di parlemen.
Demokrasi merupakan pemerintahan yang berunding. Namun, perundingan tidak selalu menghasilkan solusi yang tepat. Belum lagi waktu habis terbuang.
Presiden memerlukan keleluasaan politik untuk mengambil keputusan. Banyak keputusan harus cepat diambil, tidak dapat menunggu. Giorgio Agamben, filsuf Italia, mengatakan, keputusan eksekutif dapat membatalkan konstitusi dan membuat konstitusi baru. Ia menyebutnya kedaruratan (state of exception). Dalam menghadapi terorisme, misalnya, beberapa pasal hukum yang menjamin hak dasar warga dapat dibatalkan demi kecepatan penyidikan.
Pertanyaannya, mampukah presiden terpilih nanti memperjuangkan berlakunya sistem presidensial yang kokoh. Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Presiden sedikit banyak sudah mendukung. Kini tinggal kemampuan presiden terpilih mengelola resistensi politik yang pasti akan menggelora. Jika presiden terpilih sekadar ingin menyenangkan banyak kepentingan, kita akan kembali terjebak pada dualitas sistem presidensial-parlementer.
Apalagi jika presiden terpilih nanti datang dari calon independen yang tidak memiliki kaki politik di parlemen. Alih-alih presidensial, kita akan menyaksikan bagaimana parlementarianisme murni bekerja. Berbagai komitmen yang dicanangkan pada kampanye akan bertabrakan dengan kerasnya kepentingan di parlemen. Kita berharap yang terbaik bagi sistem kepolitikan republik ini. Bagi saya pribadi, sistem presidensial yang kokoh adalah yang terbaik dan harus segera menjadi pegangan politik kita bersama.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia; Pendapat Pribadi