Oleh Paul Suparno
Pemerintah menyediakan tempat bagi 40.000 lulusan sarjana murni untuk mengikuti program pendidikan guru. Lama pendidikan profesi ini setengah tahun untuk guru SMP dan SMA dan setahun untuk guru TK dan SD (Kompas, 23/10/2008).
Salah satu tujuan perekrutan guru dari sarjana murni adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pertanyaannya, apakah program ini menjamin perbaikan mutu guru dan pendidikan di Indonesia?
Penguasaan ilmu
Model pendidikan profesi guru melalui jalur sarjana murni ditambah pendidikan profesi guru mempunyai keunggulan, terutama dalam penguasaan ilmu. Mereka sudah lulus sarjana ilmu murni, misalnya matematika, fisika, bahasa Inggris. Mereka minimal telah belajar ilmu-ilmu itu selama empat tahun (strata satu).
Penguasaan mereka di bidang keilmuan jelas lebih tinggi daripada melalui jalur S-1 pendidikan karena belajar bidang keilmuan lebih lama daripada jalur S-1 pendidikan. Dengan demikian, diharapkan mereka mempunyai pengertian keilmuan lebih baik, benar, dan tidak membuat kesalahan dalam mengajarkan ilmunya.
Dari beberapa penelitian tentang uji mutu guru di lapangan diketahui, salah satu kelemahan guru adalah dalam penguasaan bidang kajian ilmunya. Hal ini salah satunya disebabkan banyak guru yang mengajarkan fak, tetapi berlatar belakang fak lain. Misalnya, guru lulusan pendidikan agama mengajar fisika, guru lulusan olahraga mengajar biologi. Dengan dibukanya kesempatan bagi lulusan sarjana murni menjadi guru di sekolah menengah, diharapkan guru itu berkompeten dalam bidang kajiannya.
Tentu saja kita tidak boleh mengatakan, pengetahuan semua guru lulusan sarjana kependidikan lebih rendah karena memang ada beberapa lulusan yang berbakat dan berpotensi tinggi sehingga menguasai keilmuannya secara baik dan unggul. Namun, secara umum dapat dikatakan, karena mereka mempelajari bidang keilmuannya kurang dari empat tahun, sedangkan yang murni mempelajarinya selama empat tahun penuh; maka kompetensi dalam keilmuannya ”akan berkurang” dibandingkan sarjana murni.
Dari pengalaman kita tahu, seorang guru yang amat pandai dalam keilmuan belum merupakan jaminan dapat membantu siswa memahami. Dari lapangan sering ditemukan, guru yang amat pandai, tetapi tidak dapat membantu siswa belajar dan tidak dapat membantu siswa menguasai ilmunya. Dalam pendidikan, kecuali kompetensi dalam keilmuan, seorang guru memerlukan kompetensi yang lain seperti kompetensi pedagogis, sosial, dan kepribadian. Untuk kompetensi ini, mereka memerlukan ilmu pendidikan, psikologi, keterampilan berelasi dengan siswa, dan praktik lapangan.
Berbagai kompetensi yang disebut terakhir itu akan diperoleh melalui pendidikan profesi guru selama setengah tahun. Masalahnya, apakah dalam waktu setengah tahun calon dapat sungguh kompeten dalam segi pedagogis, sosial, dan terampil dalam berelasi dengan siswa?
Tampaknya setengah tahun untuk membuat mereka profesional sebagai guru terlalu pendek. Dalam setengah tahun, kecuali dibekali pengertian pendidikan, keguruan, mereka juga harus praktik mengajar agar profesional. Bagi calon yang sudah biasa mengajar, biasa aktif dalam pendampingan anak remaja, atau mempunyai bakat mengajar, mereka akan cepat menjadi kompeten. Namun, bagi kebanyakan pasti kurang waktu untuk sungguh menjadi profesional.
Kita ingat, beberapa profesi lain, seperti apoteker, notaris, dokter, akuntan, membutuhkan waktu lebih dari satu tahun setelah lulus S-1 keilmuan. Tampaknya perlu tambahan waktu agar profesi guru menjadi lebih bermutu dan sebanding dengan profesi lain. Hal ini juga akan menambah harga diri calon guru sendiri.
Program pendampingan
Satu hal yang memberi harapan adalah mereka dipilih dengan dua syarat minimal, yaitu minat menjadi guru dan kepribadiannya cocok untuk menjadi guru. Mereka tidak dipilih hanya berdasarkan keahlian, tetapi juga karakter dan minatnya. Dengan dasar motivasi yang tinggi dan karakter yang relatif tidak jelek, dalam pelatihan setengah tahun diharapkan mereka dapat dibantu untuk menjadi guru profesional. Mengingat mereka mempunyai motivasi menjadi guru, diharapkan mau terus belajar dan mengembangkan profesi keguruan setelah benar-benar menjadi guru.
Mengingat waktu setengah tahun belum cukup dan tidak semua guru dengan sukarela belajar sendiri, diperlukan program pendampingan setelah mereka menjadi guru muda. Pendampingan ini dimaksudkan untuk membantu mereka semakin profesional dalam pelaksanaan sebagai guru di lapangan. Beberapa program pendampingan berikut dapat dipikirkan.
Pertama, pertemuan rutin, misalnya tiga bulan sekali bagi mereka. Dalam pertemuan itu, mereka dapat saling berbagi kesulitan dan kemajuan. Mereka juga dibantu untuk terus mengembangkan keterampilan mengajar dan keterampilan melaksanakan tugasnya sebagai guru. Lokakarya dan pelatihan untuk pengembangan profesi dapat diadakan bagi mereka. Pendampingan ini dapat dilakukan dinas pendidikan atau yayasan sekolah.
Kedua, perlu diadakan evaluasi rutin pada semester awal dan tahun awal praktik mengajar. Evaluasi dapat dilakukan oleh kepala sekolah, rekan guru, dan siswa yang dibimbing. Siswa yang dibimbing dapat dimintai masukan sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja guru itu. Demikian juga dengan teman dan kepala sekolah. Dengan cara ini, perkembangan profesi keguruannya kian maju dan akhirnya mereka sungguh menjadi guru profesional.
Pada masa depan, guru diharapkan semakin mampu mengembangkan profesinya sendiri dan bersama. Maka, amat baik bila guru muda tidak dibebani mengajar seminggu penuh; tetapi perlu diberi waktu, katakan satu hari seminggu, untuk belajar dan mengembangkan profesinya. Mereka diberi waktu untuk terus belajar di sekolah, di perpustakaan, atau di lab. Juga penting mereka dibantu untuk melakukan sendiri riset tindakan kelas. Berdasarkan riset itu mereka mampu mengembangkan profesinya dalam mengajar dan siswa kian dibantu maju. Dengan cara ini proses mengembangkan mutu pendidikan bukan hanya dari atas, melainkan juga dari guru sendiri di lapangan.
Semoga usaha untuk makin meningkatkan mutu pendidikan di negara ini makin berkembang.
Paul Suparno Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta