Oleh Pius Lustrilanang
Pada hari Jumat (17/10/2008) Pansus Penghilangan Orang secara Paksa atau PPOSP DPR menyatakan akan memanggil sejumlah jenderal dan mantan perwira TNI.
Nama-nama yang disebut antara lain Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka akan dimintai keterangan terkait penculikan aktivis tahun 1997-1998. Langkah PPOSP ini langsung menimbulkan kontroversi.
Belum satu suara
Di internal PPOSP, belum satu suara terkait urgensi pemanggilan para mantan jenderal. Wakil Ketua Pansus Yorrys Raweyai buru-buru berpesan agar PPOSP tidak dijadikan alat untuk menjegal para jenderal yang akan maju sebagai capres. Jangan sampai langkah PPOSP ini dianggap sebagai manuver politik partai tertentu; sebagai kampanye hitam untuk membunuh karakter capres partai lain.
Ketua DPR Agung Laksono bahkan mempertanyakan kewenangan PPOSP untuk memanggil para mantan jenderal. Agung mengacu keputusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan Eurico Guteres tentang penjelasan Pasal 43 Ayat 2 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Dalam putusannya, MK menegaskan, sepanjang mengenai kata ”dugaan” yang ada dalam pasal itu bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.
MK berpendapat, untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti, diperlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat, yaitu DPR. Namun, DPR dalam merekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus memerhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Karena itu, DPR tak akan serta-merta menduga tanpa mendapat hasil penyelidikan dan penyidikan lebih dulu. Komnas HAM merupakan lembaga penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan UU No 26/2000.
Di sinilah letak masalahnya. Keinginan PPOSP memanggil para mantan jenderal dapat diartikan sebagai mengambil alih fungsi Komnas HAM sebagai institusi yang berwenang menyelidiki. Sebagai lembaga politik, sebenarnya DPR tinggal memutuskan untuk merekomendasikan kepada Presiden, perlu-tidaknya dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc, mengacu hasil penyelidikan Komnas HAM.
Sayang, PPOSP yang dikomandani Effendi Simbolon dari Fraksi PDI-P ngotot memanggil para mantan jenderal maupun korban, keluarga korban, dan lembaga pendamping. Para korban, keluarga korban, dan lembaga pendamping yang mendapat giliran pertama tidak hadir memenuhi panggilan PPOSP. Alasannya sederhana, mereka enggan mengulang keterangan yang sudah diberikan berulang-ulang. Mengulang kembali keterangan sama dengan membuka luka lama. Sebaliknya, para korban dan keluarganya menuntut PPOSP fokus pada upaya untuk menemukan keberadaan dan status mereka yang masih hilang.
Tanggung jawab institusional
PPOSP dan seluruh fraksi di DPR perlu melihat kecenderungan baru ini sebagai momentum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diberlakukan UU Pengadilan HAM. Menyelesaikan persoalan transitional justice selalu mengacu upaya untuk memberikan penyelesaian yang adil kepada korban maupun pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lampau. Yang terpenting, menolak impunity dan mencegah kejadian yang sama, terulang pada masa datang.
Pengadilan HAM Ad Hoc bukan satu-satunya cara penyelesaian persoalan transitional justice. Ada alternatif lain, yakni pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebagai korban, penulis cenderung lebih memilih penyelesaian melalui KKR karena dua hal. Pertama, para korban atau keluarga korban mendapat kompensasi. Kedua, pelaku mendapat amnesti. Cara penyelesaian ini pasti akan lebih diterima pelaku dan korban.
Penghilangan orang secara paksa (POSP) pada 1997-1998 adalah produk kebijakan politik rezim Soeharto. Sebagai kebijakan politik rezim, POSP pasti didukung semua aparat koersif yang dimiliki rezim, terutama militer. Dengan meninggalnya Soeharto, tinggal militer sebagai institusi yang akan terus dimintai pertanggungjawaban.
Agar kita mampu menyelesaikan transitional justice secara elegan dan bermartabat, panglima TNI sebagai representasi institusi harus mengambil alih tanggung jawab institusional. POSP 1998- 1999 bukan tindakan koboi petinggi militer saat itu, tetapi merupakan konsekuensi logis posisi politik TNI sebagai penopang utama rezim Soeharto.
Jika Panglima TNI mengambil tanggung jawab institusional, maka siapa pun yang terlibat POSP 1997-1998 pasti berani memaparkan peranannya sebagai pelaksana kebijakan politik rezim Soeharto. Setelah kebenaran diungkap, pemerintah harus segera memberi amnesti kepada pelaku dan kompensasi bagi korban.
KKR adalah cara penyelesaian masalah transitional justice paling tepat. Bangsa ini harus beralih dari masa lalu yang menyakitkan. KKR akan menyediakan ruang bagi kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan untuk kejahatan yang dilakukan rezim masa lalu tanpa harus mengadili rezim masa lalu dengan cara semena-mena.
Pius Lustrilanang Aktivis Korban Penculikan