Oleh Amich Alhumami
Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah mekanisme politik untuk melakukan pergantian administrasi pemerintahan. Melalui pemilu, dipilih anggota parlemen dan pemimpin pemerintahan baru.
Meski merupakan peristiwa politik, pemilu juga mengandung dimensi ekonomi. Apa pertimbangan utama rakyat saat memilih parpol dan pemimpin pemerintahan baru? Hal penting yang lazim dijadikan konsiderasi adalah kemampuan pemimpin menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi. Bagi incumbent, bila selama memerintah berkinerja bagus dalam mengelola perekonomian, terbuka peluang dipilih kembali. Bagi penantang, bila rakyat menganggap ia mampu mengurus ekonomi, amat mungkin dapat mengalahkan incumbent dan mengambil alih administrasi pemerintahan.
Jadi, kinerja ekonomi merupakan barometer utama tingkat elektabilitas tokoh politik untuk dipilih dalam pemilu. Bagi pemilih, ini merupakan pertimbangan rasional yang lazim disebut the rational choice explanations of economic voting. Karena itu, kecanggihan merumuskan kebijakan ekonomi menjadi faktor determinan tinggi-rendahnya probabilitas calon presiden/perdana menteri dipilih rakyat.
Mampu mengurus ekonomi
Pemilih rasional akan menjatuhkan pilihan kepada figur yang mempunyai kompetensi dalam mengurus ekonomi. Raymond Duch dan Randolph Stevenson menulis, … rational voters condition their vote on the incumbent’s record of economic performance—whether incumbents are responsible for economic outcomes—because this is the optimal way to identify and elect competent economic managers under conditions of uncertainty (lihat The Economic Vote: How Political and Economic Institutions Condition Election Results, Cambridge, 2008).
Apa yang dikemukakan dua ahli ilmu politik ini sebenarnya menegaskan, pilihan rakyat pada partai/calon presiden lebih didasarkan keyakinan sejauh mana mereka mampu atau dianggap punya kapasitas untuk mengelola perekonomian negara.
Ilustrasi relevan atas hal itu adalah pemilu Jerman tahun 2005 dan Italia tahun 2006. Angela Merkel dari koalisi Partai CDU/CSU mengalahkan Kanselir Gerhard Schroder dan mematahkan dominasi Partai SPD. Menurut persepsi publik, agenda dan kebijakan ekonomi yang ditawarkan Angela Merkel dianggap lebih meyakinkan publik di tengah kemerosotan ekonomi Jerman. Pada akhir pemerintahan Gerhard Schroder, ekonomi Jerman mundur, ditandai pertumbuhan rendah— 3-4 persen—di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Eropa, pengangguran tinggi (mencapai 11,3 persen), perdagangan internasional turun, dan cadangan devisa menyusut.
Begitu pula perekonomian Italia di bawah PM Silvio Berlusconi, yang pada tahun 2005 tumbuh 0 (nol) persen dan tahun 2006—saat pemilu parlemen berlangsung—PDB riil hanya tumbuh 1,3 persen. Akibatnya, Italia dijuluki the new sick man of Europe (The Economist, 18/4/2006). Dengan kinerja ekonomi yang buruk, penolakan publik pada the incumbents—Schroder/SPD (Jerman) dan Berlusconi/Forza (Italia)—amat kuat. Hasil pemilu menunjukkan, sebagai the incumbents mereka meraih suara, masing-masing sebesar 34,3 persen dan 49,7 persen, sedangkan Angela Merkel dan Romano Prodi sebagai the challengers mengumpulkan suara masing-masing 35,2 persen dan 49,8 persen.
Fakta ini jelas menggambarkan rasionalitas ekonomi pemilu yang tecermin pada korelasi antara kinerja ekonomi dan pilihan politik rakyat atas partai atau figur pemimpin pemerintahan.
Indonesia
Dalam konteks Indonesia, rasionalitas ekonomi pemilu tampaknya tak berlaku, bahkan kaitan antara kinerja ekonomi dan tingkat elektabilitas partai/calon presiden cenderung menyimpang.
Menurut berbagai survei, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden Yudhoyono mengalami penurunan, dari 80 persen (November 2004) menjadi 54 persen (Mei 2008). Bahkan, menurut survei Indo Barometer (Juli 2008)—setelah kebijakan menaikkan harga BBM—popularitas SBY turun drastis sampai titik terendah, 30 persen. Ini menjadi indikasi, derajat kepuasan publik menurun. Yang mengherankan, tingkat elektabilitas Presiden Yudhoyono dalam Pilpres 2009 justru paling tinggi—35,5 persen—dibandingkan calon presiden lain, seperti Megawati (28 persen), Wiranto (7,0 persen), dan Amien Rais (6,5 persen) (Laporan Survei LSI, Mei 2008).
Ini merupakan fenomena aneh, suatu anomali perilaku pemilih yang sulit dijelaskan secara teoretis. Ada kesenjangan antara kesadaran kognitif—berbentuk kemampuan menilai bahwa pemerintahan SBY gagal memenuhi janji kampanye untuk membuat rakyat sejahtera—dan preferensi politik untuk memilih pemimpin pemerintahan yang mengunggulkan SBY. Anomali ini dikonfirmasi jajak pendapat Kompas (9/9/2008). Pemilih mengabaikan janji kampanye, lebih mendasarkan pilihan kepada citra tokoh/elite pemimpin dan kelembagaan partai. Di pihak lain, belum muncul pemimpin alternatif yang meyakinkan publik sehingga tersedia pilihan calon presiden selain SBY.
Parpol pun sibuk mengurus caleg sambil mengklaim sebagai pembawa aspirasi perubahan, pembela kepentingan masyarakat, dan motor peningkatan kesejahteraan rakyat meski tak membuat rakyat percaya retorika kosong itu. Alih-alih merumuskan kebijakan ekonomi dan menawarkan agenda/program yang dapat diterima publik, parpol justru mengusung para selebritas menjadi caleg untuk meraup suara pemilu meski belum teruji kualitas dan kompetensinya.
Praktik politik ini jelas di luar nalar publik karena kekecewaan rakyat terhadap kinerja pemerintahan SBY tidak direspons dengan mengajukan proposal kebijakan ekonomi baru. Suatu kebijakan yang memberi harapan bagi perbaikan kinerja perekonomian sehingga para pemilih bersedia mengalihkan dukungan politik dan memberikan suara kepada partai nonpemerintah dan kandidat presiden non-incumbent. Rasionalitas ekonomi dalam pemilu di Indonesia tampaknya belum sekuat di Eropa.
Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, Inggris