Oleh A Prasetyantoko
Langkah Barack Hussein Obama tak terbendung. Kemenangannya dalam pemilihan umum AS mengantarnya untuk menuju ke Gedung Putih sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat.
Meski secara resmi baru mulai bekerja pada awal tahun 2009, dunia seperti tak sabar menunggu arah kebijakan yang akan diterapkan Presiden Obama dan tim ekonominya. Memang, Obama tidak akan menunggu sampai hari pelantikan untuk mulai membereskan masalah ekonomi.
Di belakang Obama, ada tiga tokoh kunci yang bertugas merancang kebijakan ekonomi, yaitu Paul Volcker (mantan Ketua The Fed), Larry Summers, dan Robert Rubin (keduanya mantan menteri keuangan). Mereka memiliki dua sisi yang amat dibutuhkan sebagai pengambil kebijakan (birokrat), yaitu kecerdasan dan pengalaman. Mereka adalah mantan pejabat penting AS yang dianggap sukses pada zamannya.
Apa pun alasannya, Obama mendapat warisan masalah pelik yang sedang diderita perekonomian AS serta ancaman resesi global. Turbulensi pasar finansial, selain disebabkan oleh muramnya proyeksi fundamental ekonomi, juga diperparah oleh kepanikan yang muncul akibat hilangnya kepercayaan akan ketidakpastian masa depan ekonomi. Tugas berat pertama yang harus diemban Obama adalah mengembalikan kepercayaan pelaku ekonomi itu.
Program ”New Deal” baru
Kemenangan Presiden berkulit hitam pertama ini mengingatkan pada kemenangan Franklin D Roosevelt yang menjadi presiden ke-32 tahun 1933. Saat itu AS juga sedang dilanda resesi besar yang menyeruak tahun 1929. Roosevelt dipilih karena programnya yang populis dan diyakini mampu menggerakkan sektor riil.
Dengan program New Deal, Presiden Roosevelt berupaya keras membangkitkan perekonomian AS melalui proyek-proyek infrastruktur yang bersifat padat karya. Dia percaya musuh utama perekonomian adalah pengangguran. Maka, seluruh kebijakan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja (full-employment). Dengan demikian, daya beli masyarakat (demand side) akan meningkat dan perekonomian akan bekerja. Dalam buku teks ekonomi, pola ini disebut kebijakan Keynesian.
Tampaknya, kebijakan serupa juga dibutuhkan AS sekarang ini, tentu dengan sejumlah penyesuaian. Pascapecahnya gelembung sektor finansial yang ditandai dengan proses penyusutan nilai aset (deleveraging) secara dramatis, perekonomian membutuhkan langkah konkret untuk menggerakkan sektor riil.
Standard & Poor’s melaporkan, selama bulan Oktober telah terjadi penurunan kapitalisasi pasar modal dari 52 bursa global sebesar empat triliun dollar AS. Jika dihitung selama 10 bulan terakhir, penurunannya mencapai 16,22 triliun dollar AS. Mengapa koreksi terjadi begitu dalam? Karena sebelumnya, peningkatan aset juga terjadi secara eksesif. Dalam perekonomian, di mana sektor finansial terlalu besar, spekulasi bisa berakibat fatal. Ketika situasi normal dan optimistis nilai aset akan menggelembung lewat aksi spekulasi (speculation-up), sebaliknya ketika terjadi ancaman resesi spekulasi akan menggerus dalam nilai aset (speculation down).
Selama ini perekonomian AS terlalu didominasi para spekulan dan pelaku bermodal besar. McKinsey and Company melaporkan, hingga tahun 2008 sebesar 46 persen pasar finansial AS dikuasai para hedge funds, sementara 32 persen lainnya ditempati kelompok super kaya (high-net worth individuals). Terkait fakta ini, Obama termasuk orang yang keras menentang usaha penyelamatan pasar modal dengan stimulus besar-besaran.
Meski demikian, sejauh ini skema yang sudah disepakai telah tertuang dalam Emergency Economic Stabilization Act, paket penyelamatan sebesar 700 miliar dollar AS melalui Troubled Asset Recovery Program. Tampaknya, skema ini akan berlanjut dengan berprinsip pada dua hal penting, menstabilkan pasar modal sebagai target jangka pendek serta menggerakkan ekonom riil sebagai platform jangka panjang. Obama dituntut merancang program New Deal bentuk baru.
Kebijakan ekonomi
Sebagaimana janji dalam kampanye, Obama akan mengarah pada paket stimulus yang langsung mengerakkan perekonomian di sektor riil daripada ”menggarami laut” dengan menggelontorkan uang ke sektor finansial. Kongkretnya, rencana pemerintah baru ini adalah menyediakan pemotongan pajak (tax cut) serta pemberian kredit pada pekerja dengan penghasilan (household incomes) di bawah 200.000 dollar AS serta menaikkan pajak untuk keluarga berpenghasilan lebih dari 250.000 dollar AS. Jika dirangkum, pola kebijakan Obama akan mengarah pada pengembangan industri dalam rangka penambahan lapangan pekerjaan baru.
Dunia pun menaruh harapan besar pada Obama untuk mengatasi krisis finansial global ini. Banyak pihak mengharapkan Obama sudah terlibat pertemuan tingkat tinggi negara-negara G-20, 15 November dalam Washington Summit. Bersama Nicolas Sarkozy dan Gordon Brown, Obama diharapkan mampu menjadi simbol kembalinya sistem intervansi pasar pada ekonomi dengan penguatan regulasi-regulasi, khususnya pada pasar finansial.
Bisa jadi, kemenangan Obama hanya soal momentum. Dia datang pada saat yang tepat di tengah bergejolaknya pasar finansial serta kerinduan pada intervensi dan regulasi pemerintah. Namun, momentum ini juga sebuah kesempatan untuk menata perekonomian global yang lebih berorientasi pada ”ekonomi riil”, bukan ”ekonomi finansial”.
Akankah Obama mampu menjadi Roosevelt II untuk AS serta mampu merancang program ”New Deal” gaya baru? Itu semua masih buram, di tengah euforia kemenangannya.
A Prasetyantoko Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta