TA Legowo - Pertarungan Antarkoalisi Parpol

Judul : Pertarungan Antarkoalisi Parpol
Sumber : Kompas, Selasa, 4 November 2008

Oleh TA Legowo

Undang-Undang Pemilihan Presiden sudah disahkan DPR. Tidak banyak hal baru dalam undang-undang tersebut sehingga mengubah sistem pemilu presiden yang diterapkan pada pilpres 2004.

Meski demikian, perubahan sedikit yang dilakukan akan berpengaruh terhadap satu di antara beberapa hal penting, yaitu perilaku partai politik (parpol).

Koalisi permanen

Salah satu perubahan itu adalah syarat parpol atau gabungan parpol untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-wapres). Syarat itu adalah parpol atau gabungan parpol harus mempunyai 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional hasil pemilu legislatif (DPR) 2009. (Pasal 9) Syarat ini akan memaksa parpol di DPR berkubu dalam gabungan atau koalisi parpol.

Jika hasil Pemilu 2004 menjadi proyeksi, hanya Golkar dengan perolehan kursi 22 persen bisa menominasi pasangan capres-wapres tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain. Sementara tak satu parpol pun bisa memenuhi syarat perolehan 25 persen suara sah nasional. Komposisi perolehan kursi atau suara parpol sebagai hasil Pemilu 2009 tampaknya tidak akan beranjak jauh dari komposisi yang sama dari hasil Pemilu 2004 itu.

Kalaupun ada perubahan besar dalam perilaku memilih masyarakat hingga menghasilkan perolehan suara Golkar atau PDI-P naik 75 persen (dari hasil Pemilu 2004), maka Golkar akan menjadi 37,5 persen atau perolehan PDI-P dari 20 persen menjadi 30 persen. Kenaikan ini—jika lebih dari 75 persen—belum cukup untuk mengantarkan salah satu dari parpol menguasai mayoritas kursi DPR.

Keunggulan itu belum memastikan Golkar, atau PDI-P, atau parpol lain akan maju sendiri dalam Pilpres 2009. Sebab, risiko politik yang besar akan ditanggung parpol bersangkutan pascapemilu.

Jika parpol bersangkutan maju sendirian dan capres-wapres yang diusungnya dalam pilpres 2009, dia akan menghadapi oposisi kuat di DPR dan dalam mendukung aneka kebijakan pemerintah. Sebaliknya jika kalah, parpol bersangkutan akan menjadi oposisi yang lemah.

Dengan diberlakukannya parliamentary threshold 2,5 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif 2009, diperkirakan maksimal hanya 10 parpol akan mempunyai perwakilan atau mendapat kursi di DPR. Jika satu atau dua dari 10 parpol itu mampu mencapai perolehan suara nasional lebih dari 25 persen atau perolehan kursi DPR lebih dari 20 persen, maka sembilan atau delapan parpol lain akan mempunyai perolehan suara atau kursi antara 2,5 hingga 15 persen.

Perkiraan maksimal itu akan memaksa parpol-parpol di bawah persentase syarat pencalonan capres-wapres bergabung dalam koalisi parpol. Ini bisa koalisi besar, yakni semua parpol bergabung dalam satu koalisi untuk melawan satu atau dua parpol yang mampu menembus syarat pencalonan capres-wapres, tetapi juga mungkin koalisi menengah, yakni parpol-parpol berkubu dalam dua koalisi untuk melawan satu atau dua parpol itu.

Ketentuan dalam UU Pilpres 2009 mengisyaratkan ikatan politik dalam koalisi parpol berlangsung secara permanen selama masa jabatan presiden terpilih. (Pasal 11 : 2) Artinya, parpol tidak dengan mudah dapat beralih kubu politik pascapilpres. Karena itu, jika sejak proses nominasi pilpres suatu parpol maju sendirian, dia akan sendirian seterusnya pada pascapilpres.

Mengaburnya sekat aliran

Risiko berhadapan dengan oposisi yang kuat, atau sebaliknya, menjadi oposisi yang lemah, tampaknya tidak akan mudah untuk ditanggung parpol apa pun. Jika demikian, koalisi parpol macam apa yang bakal terbangun selama dan setelah pilpres 2009?

Politik Indonesia masa reformasi pernah berpengalaman (bereksperimen) dengan koalisi kebangsaan versus koalisi kerakyatan, tetapi gagal dipertahankan. Basis pengelompokan koalisi adalah ”aliran” berbeda antara nasionalis dan Islam.

Mungkin saja pengalaman itu akan berulang kembali. Namun, kecenderungan politik mengarah lebih kuat kepada ”perkawinan” di antara dua aliran itu. Dalam banyak kasus pemilihan kepala daerah (pilkada), perkawinan itu telah terjadi. Demikian juga, saling lamar antara parpol nasionalis dan parpol Islam telah berlangsung pada tingkat nasional dalam dua tahun terakhir ini.

Golkar dan PDI-P mungkin tidak akan berada dalam satu koalisi parpol. Keduanya adalah parpol nasionalis besar yang relatif berimbang kekuatannya. Masalah utamanya, jika kedua parpol ini akan bergabung dalam suatu koalisi untuk menominasi pasangan capres-wapres adalah ketidaksiapan, kalaupun bukan ketidakrelaan, masing-masing untuk ditempatkan dalam posisi ”kedua”, posisi cawapres.

Perlu diingat, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri bersedia dipilih oleh Sidang Umum MPR sebagai wakil presiden tahun 1999 (-2001) karena situasi politik yang saat itu memaksa. Sementara Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla terpilih sebagai wakil presiden bukan atas nominasi Partai Golkar yang pada pilpres 2004 mengusung pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid.

Mungkin parpol-parpol Islam yang mencapai parliamentary threshold dapat bergabung dalam koalisi berdasarkan syarat 20 persen kursi DPR. Juga mereka bergabung dalam koalisi atas dasar 25 persen suara sah secara nasional. Namun, masing-masing dari dua pilihan ini akan membentuk koalisi yang kurang kuat dan karena itu kurang menguntungkan secara politik. Sekali lagi, jika hasil Pemilu 2004 dijadikan basis proyeksi, gabungan suara pemilu atau kursi DPR parpol Islam belum mencapai 50 persen.

Isu kebijakan

Perkiraan itu menyatakan, pilpres 2009 akan mengarahkan pada terbentuknya koalisi-koalisi besar parpol, yang mungkin akan mengaburkan sekat-sekat aliran antara nasionalis dan Islam.

Dalam pengertian itu, parpol-parpol nasionalis dan Islam harus menyelesaikan persoalan perbedaan aliran sebelum memutuskan berkoalisi. Keadaan ini dapat mengarahkan parpol-parpol mengambil berbagai pertimbangan substansial terkait orientasi kebijakan-kebijakan dasar koalisi, lebih dari pertimbangan pragmatis sekadar untuk berkoalisi.

Namun, apakah ini berarti percaturan politik nasional akan beralih pada fokus isu kebijakan berbasis okupasi populer seperti pemihakan pada pemodal versus pembelaan atas pekerja dalam urusan industri atau promosi pada pasar versus topangan pada campur tangan negara untuk urusan ekonomi dan isu lain, tetap menjadi pertanyaan?

TA Legowo Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)