Oleh Ignatius Haryanto
Dalam Pemilu 2009, ada sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan ikut bertarung dengan calon anggota legislatif lainnya.
Apakah mereka akan memberi perbedaan dalam kualitas anggota legislatif mendatang ataukah ini sekadar pilihan pragmatis pindah profesi dari penyampai informasi menjadi politikus?
Data dari anggota mailing list para jurnalis (ajisaja@yahoogroups.com dan jurnalisme@)yahoogroups.com) serta sejumlah komunikasi pribadi, penulis menemukan sekitar 120 wartawan atau mantan wartawan dari seluruh Indonesia yang menjadi calon anggota legislatif 2009. Daftar ini mencakup calon anggota legislatif tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Daftar ini mungkin akan bertambah melalui informasi pihak- pihak lain. Sekadar gambaran, untuk wilayah Gorontalo ada enam wartawan yang akan berlaga dalam pemilu mendatang. Di Sulawesi Utara ada 14 nama, di Jawa Timur ada tujuh nama, di Sulawesi Selatan ada 10 nama, di Sumatera Barat ada 10 nama, di Binjai ada 20 wartawan, dan di Kalimantan Barat ada 9 nama.
Lintasan sejarah
Fenomena wartawan menjadi politikus bukanlah hal baru. Hal ini sudah lama terjadi saat para jurnalis perintis menggunakan surat kabarnya sebagai bagian propaganda politik untuk merebut kemerdekaan Indonesia.
Pada masa kemerdekaan, kita melihat sejumlah surat kabar dan wartawan ikut dalam politik melawan rekolonialisasi sekutu. Pada periode 1950-1960-an, ada banyak wartawan menjadi anggota partai politik dan ada beberapa wartawan menjadi duta besar. BM Diah, misalnya, adalah salah satu dari sejumlah wartawan yang menjadi duta bangsa.
Semasa Orde Baru hingga Orde Reformasi kita mengenal sejumlah wartawan senior yang juga diangkat jadi duta besar, seperti Sabam Siagian, Djafar Assegaff, dan Susanto Pudjomartono.
Setelah era reformasi, kian banyak wartawan masuk dunia politik dan beberapa menjadi anggota parlemen. Nama-nama seperti Panda Nababan, Paulus Widiyanto, Effendie Choirie, Djoko Susilo, Benny Harman, dan Ciprianus Aoer adalah sebagian dari sejumlah wartawan yang banting setir masuk dunia politik.
Pertanyaannya kini, mengapa sejumlah wartawan pindah profesi menjadi politikus? Apa kelebihan wartawan sehingga dianggap layak masuk dunia politik? Ada peluang apa dalam dunia politik yang membuat mereka pindah profesi? Adakah kontribusi positif dari masuknya wartawan ke politik formal?
Kontribusi positif?
Adalah hak setiap warga untuk berpolitik dan berganti profesi. Apa kelebihan para jurnalis ini sehingga bisa masuk dunia politik? Betulkah kehadiran para mantan jurnalis ini memberi kontribusi positif bagi dunia politik partai saat ini? Ataukah ia akan ”larut dan hanyut” gelombang perpolitikan parlemen seperti banyak dikritik?
Dibandingkan profesi lain, mungkin wartawan diandaikan memiliki kelebihan dalam lobi kepada orang-orang penting. Sebagian wartawan juga dikenal pandai berargumentasi, lihai bersilat lidah, dan—ini tak kalah penting—kemudahan akses pada informasi dan media massa.
Bagi sebagian wartawan itu, dunia politik adalah bagian kehidupan sehari-hari saat menjadi jurnalis. Bagi partai politik, mungkin wartawan dianggap bisa menjadi pasukan segar untuk bertarung tahun depan.
Apakah fenomena wartawan menjadi politikus tak lebih dari para pihak yang ingin masuk politik kekuasaan untuk kepentingan sendiri atau partainya? Ini mengingatkan kita pada omongan Friedrich Nietzsche soal the will to power. Bahasa mudahnya, ini tak lebih dari sekadar ”’mencari perbaikan nasib” saja’”.
Perlu ada studi lanjut dan lebih cermat guna menilai fenomena ini, dilihat dari performa yang ditunjukkan para mantan wartawan dari anggota DPR(D) periode lalu. Betulkah mereka telah memberikan perbedaan signifikan (dalam arti positif) dibandingkan profesi lain terhadap kinerja parlemen di masa lalu?
Masyarakat punya harapan besar jika para mantan wartawan ini bisa menjalankan fungsi legislatif dengan lebih baik—fungsi pengawasan terhadap pemerintah, pembuatan UU, budgeting dan lain-lain. Namun, bila hal ini tak menunjukkan kenyataan, maka fenomena wartawan yang terjun ke dunia politik, mungkin tak ubahnya dengan para artis yang ikut memeriahkan Pemilu 2009.
Ignatius Haryanto Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta