Oleh Adrianus Mooy
Banyak informasi terkait krisis keuangan Amerika Serikat berikut dampaknya terhadap dunia. Demikian juga paket stimulus yang mencapai total 4 triliun dollar AS guna mengatasi dampak krisis itu.
Indonesia pun sudah merasakan dampaknya—meski terbatas—dalam bentuk jatuhnya harga saham di pasar modal, turunnya nilai rupiah, dan turunnya cadangan devisa karena arus modal keluar. Dampak lebih besar terhadap sektor riil baru akan dirasakan satu hingga tiga tahun mendatang karena krisis terus berkembang. Pertanyaannya, pesan apa yang dapat ditarik dari krisis ini? Apa yang harus dilakukan dan dihindari.
Untuk itu kita perlu mengetahui faktor dan penyebab timbulnya krisis keuangan AS dan bagaimana krisis itu memengaruhi, sebelum kita berbicara tentang langkah-langkah yang perlu dihindari dan perlu dilakukan.
Penyebab krisis keuangan AS
Pertama, adanya global imbalances di mana AS mengonsumsi lebih besar dari kemampuannya. Ini tecermin pada defisit ganda AS (defisit anggaran belanja dan transaksi berjalan) yang justru dibiayai oleh emerging markets, terutama China.
Kedua, pemberian kredit perumahan dalam jumlah besar kepada nasabah yang tidak layak (subprime) dengan bunga variabel yang mencapai 1,2 triliun dollar AS. Setelah suku bunga 2004- 2006 naik dari 1,0 persen menjadi 5,25 persen, kredit pun macet karena penghasilan nasabah subprime tidak meningkat.
Ketiga, sektor keuangan yang berkembang dengan pesat melalui penciptaan derivatif keuangan 480 miliar dollar AS subprime credit, misalnya, telah disekrutisasi melalui peciptaan derivatif, yaitu CDOs (collateralized debt obligations) yang dijual kepada investor AS maupun luar negeri tanpa rating yang benar. Melalui derivatif, kreditor yang semula telah mendapatkan uangnya kembali dengan keuntungan dan bonus besar sehingga tidak pusing lagi. Akan tetapi, pemegang CDOs terakhirlah yang menanggung beban sehingga banyak yang berguguran.
Keempat, krisis itu meluas, melahirkan kelangkaan likuiditas sehingga dana tidak mengalir ke sektor ekonomi/riil, mengakibatkan timbulnya resesi ekonomi. Hal ini memengaruhi perekonomian dunia karena ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia.
Dampaknya bagi Indonesia
Pada sektor keuangan, dampak bagi Indonesia bisa dikatakan tidak ada karena tidak memiliki CDOs dari AS. Akan tetapi, kelangkaan likuiditas di AS dan Eropa menyebabkan modal jangka pendek yang semula masuk Indonesia balik kandang karena dibutuhkan di negeri asalnya. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh karena pemainnya yang kebanyakan dari luar negeri, menjual lalu menukarnya dengan dollar AS. Rupiah pun melemah dan cadangan devisa menurun. Ini konsekuensi logis kebijakan kita untuk menerima modal jangka pendek dalam jumlah besar sehingga apa yang terjadi di sektor keuangan merupakan koreksi terhadap keadaan sebelumnya. Titik keseimbangan akan terbentuk, baik tentang kurs rupiah maupun harga saham setelah modal jangka pendek keluar semua, atau berhenti keluar karena likuiditas di luar sudah teratasi atau pemodal dalam negeri tidak ikutan menaruh dananya di luar karena merasa lebih terjamin di sana.
Bagi Indonesia, dampak yang lebih berarti adalah pada sektor riil. Resesi di AS menyebabkan penurunan ekspor Indonesia ke AS, juga ke Eropa dan Asia. Mengapa Asia, karena ekspor kita ke sana umumnya barang setengah jadi yang lalu diolah dan diekspor lagi ke AS. Artinya, untuk beberapa tahun mendatang laju pertumbuhan ekonomi kita akan menurun, pengangguran dan kemiskinan meningkat.
Langkah kurang tepat
Kebijakan yang terlambat dan hanya menjamin dana pihak ketiga hingga Rp 2 miliar—sedangkan negara tetangga menjamin 100 persen—mengesankan pemerintah mendorong capital flight dengan menganjurkan untuk menyimpan Rp 2 miliar di dalam negeri, dan menyimpan kelebihannya di luar negeri. Padahal, jumlah di atas Rp 2 miliar amat besar dari total dana pihak ketiga. Seharusnya pemerintah segera memberikan blanket guarantee untuk semua dana pihak ketiga sebagai tindakan preventif.
Kebijakan untuk mendongkrak harga saham dengan beli balik dan intervensi BI guna mendongkrak nilai rupiah hanya akan menguntungkan pemodal luar negeri. Mereka akan mendapat keuntungan ganda. Rupiah didapat lebih banyak bila menjual sahamnya dan mendapat dollar AS lebih banyak jika menukarnya. Akan tetapi, kita tidak dapat mencegah mereka keluar. Pelarian modal memang mengakibatkan gangguan, tetapi ini sudah seharusnya diketahui saat modal jangka pendek yang spekulatif masuk dari luar tanpa batas.
Kini penambahan likuiditas rupiah tidak akan menjamin terkucurnya kredit ke sektor riil selama masalah sektor riil belum teratasi. Hal ini juga akan mendorong pembelian dollar AS dan pelarian modal. Masalah kekurangan likuiditas yang ditakutkan sebenarnya kurang beralasan karena selama ini sektor keuangan kelebihan likuiditas, tetapi tidak disalurkan ke sektor riil. Kelebihan itu justru ditanam di SBI karena sektor riil menghadapi banyak masalah, seperti infrastruktur, perpajakan, perburuhan, kepastian hukum, dan birokrasi, sehingga oleh bank dinilai tidak layak menerima kredit. Ini adalah masalah yang sudah diketahui lama, tetapi belum tertangani baik hingga kini.
Menghindari krisis
Guna menghindari krisis, kredit konsumsi—kredit sepeda motor dan kartu kredit—yang menggebu-gebu, tetapi tidak diimbangi kredit investasi untuk sektor riil, perlu diwaspadai.
Juga perlu diperhatikan sektor keuangan yang melaju cepat, tetapi tidak diimbangi tumbuhnya sektor riil.
Waspadai dana jangka pendek dari luar negeri dalam jumlah besar karena dibanding manfaatnya, risikonya justru lebih besar. Saat masuk, rupiah mengalami apresiasi, pemerintah mendapat dana untuk biayai defisit, dan cadangan devisa meningkat. Akan tetapi, cadangan ini sebenarnya hanya pinjaman (borrowed reserves) yang tidak berguna untuk menjamin impor. Ia hanya untuk berjaga-jaga bila modal itu kembali keluar. Saat keluar serentak, akan terjadi guncangan besar di pasar keuangan.
Pesan untuk mengatasi krisis
Pertama, pemerintah perlu mengambil langkah cepat. Berbuat sesuatu secara cepat, biayanya lebih kecil daripada tidak berbuat apa-apa.
Kedua, langkah-langkah secara terkoordinasi antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan otoritas fiskal (pemerintah) lebih efektif untuk mengatasi krisis. Di AS, setiap ada krisis, Bank Sentral dan Pemerintah AS bersama-sama bertindak cepat. Disadari, satu kebijakan saja tak dapat mengatasi semua masalah. Ini memberi harapan meski terjadi krisis, tetapi tak berlangsung lama.
Ketiga, krisis timbul karena sektor riil tidak tumbuh sebanding dengan sektor keuangan. Solusinya, memberi stimulus fiskal guna menggerakkan sektor riil. Jadi, It’s the Real Sector, Stupid, meniru semboyan dari kampanye Bill Clinton tahun 1992.
Pertanyaannya, di mana kebijakan fiskal dengan paket stimulusnya? Anggaran belanja modal yang ada tidak penuh digunakan. Hingga Oktober realisasinya hanya 50 persen. Dampak ekonominya lebih kontraktif karena dana ke daerah yang sepenuhnya dikeluarkan ternyata disimpan lagi dalam SBI. Jika pemerintah tidak dapat menggunakan dana pajak dengan baik, sebaiknya dikembalikan kepada swasta untuk menggunakannya melalui keringanan pajak.
Jika sektor riil tidak cepat dibenahi, kelesuan ekonomi Indonesia bisa berkepanjangan dan lebih parah lagi bila ekonomi AS cepat bangkit, tetapi kita tidak dapat bangkit bersama
Jadi, di mana inti masalah yang dihadapi dan inti solusi yang dicari? Jawabannya, sekali lagi It’s the Real Sector, Stupid.
Adrianus Mooy Penasihat Senior UPH; Mantan Gubernur BI