Oleh Richard Susilo
Tahun 2008 merupakan tahun emas hubungan Indonesia-Jepang. Tetapi, dalam usia ke-50, apakah hubungan kedua negara benar-benar sudah terjalin baik?
Baik-tidaknya hubungan kedua negara dapat dilihat dari berbagai faktor. Dari nilai investasi Jepang ke Indonesia, misalnya, sempat mencapai 40 miliar dollar AS semasa pemerintahan Soeharto. Namun, kini tinggal 10 persen atau sekitar empat miliar dollar AS. Itu sebabnya, banyak pejabat Indonesia mengimbau pengusaha Jepang untuk terus berinvestasi ke Indonesia. Tetapi, sebelum mengimbau, Indonesia perlu berkaca diri, mengapa banyak pengusaha Jepang lebih suka berinvestasi ke Vietnam atau China.
Masalah korupsi atau uang sogokan masih merajalela di Indonesia. Dalam membantu pengusaha Jepang berinvestasi ke Indonesia, saya melihat sendiri, sebuah tanda tangan seorang pejabat di daerah kecil di Indonesia, bernilai Rp 100 juta tunai. Tidak terbayangkan, berapa uang harus disediakan untuk mengurus izin di Jakarta, apalagi untuk mengurus perizinan lembaga finansial asing, uang sogok mungkin sampai miliaran rupiah.
KKN di berbagai negara
Kita perlu wajar dan tidak munafik. Di semua negara, termasuk Jepang, juga ada yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Namun, dengan uang sogokan ratusan juta rupiah, akan di-posting ke mana dalam pembukuan sebuah perusahaan. Dari berbagai cara posting administrasi yang ada pun akan membingungkan staf administrasi dan dengan mudah segera terdeteksi pihak pajak.
Di Jepang juga ada KKN, tetapi dalam bentuk lain. Misalnya, menjamu pejabat ke restoran amat mahal, memberi kartu keanggotaan Golf Club, dan sebagainya.
Belum lama ini ada kasus Izakaya Taxi, yaitu pegawai negeri yang pulang tengah malam dijamu sopir taksi. Para sopir memberi minuman bir dan makanan ringan gratis di dalam taksinya bahkan ada yang memberi kupon belanja gratis 1.000 yen kepada penumpang. Apa maksudnya? Agar tiap malam menggunakan taksi itu.
Kasus uang tunai juga ada. Morihiro Hosokawa, mantan Perdana Menteri Jepang, misalnya, mundur dari jabatannya karena sekretaris pribadinya menerima uang KKN. Hosokawa sendiri mengaku tidak menerima uang itu, tetapi sebagai rasa tanggung jawab, dia mengundurkan diri setelah kasus ini terbongkar.
Penguasaan bahasa
Di bidang bahasa, kita perlu menyimak data The Japan Foundation. Pada masa lalu, jumlah penggemar bahasa Jepang di Indonesia sekitar 85.000 orang. Jumlah itu membengkak menjadi 275.454 orang tahun ini.
Ihwal kategori ”jumlah penggemar” itu, juga tidak jelas. Hingga level apa bahasa Jepang yang dikuasai? Tidak jelas. Sebagai catatan, penguasaan bahasa Jepang memiliki empat level dan memiliki sertifikat NNS (Nihongo Noryoku Shiken). Ada level empat, terendah) sampai NNS Level 1 (penguasaan bahasa Jepang tertinggi). Tingkatan itu seperti TOEFL dalam bahasa Inggris.
Terlepas dari level penguasaan bahasa Jepang, adanya 275.454 orang yang mengerti bahasa Jepang di antara 230 juta penduduk Indonesia, jelas merupakan angka yang amat kecil, 0,115 persen.
Melihat angka terakhir yang amat kecil itu, bisa mengindikasikan betapa hubungan komunikasi kedua bangsa amat rendah. Saat ini mereka umumnya menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin investasi Jepang di Indonesia pernah mencapai 40 miliar dollar AS? Itu semua karena hubungan diplomatik yang baik, terutama antara Presiden Soeharto, saat itu, dengan almarhum Michio Watanabe, politisi senior partai Liberal Demokratik (LDP).
Pertanyaannya, siapakah pejabat Indonesia yang kini memiliki hubungan baik dengan pejabat Jepang? Tidak ada. Yang ada hanya Ginandjar Kartasasmita yang pernah belajar di Jepang dan kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Ketua Kehormatan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang.
Dari pihak Jepang, pejabat eksekutif mana yang mengenal dekat Indonesia? Tidak ada. Pada masa lalu ada mantan PM Jepang, Yasuo Fukuda.
Lalu, apa yang terjadi jika tidak ada ”jembatan” antara kedua negara? Hubungan akan melemah dan semua hanya basa-basi, tanpa landasan yang kuat. Dan, penguasaan bahasa (Jepang), menjadi hal utama. Mengapa? Tanpa penguasaan bahasa (Jepang), mustahil Indonesia dapat berbisnis dengan baik dan sukses dengan Jepang.
Perawat Indonesia
Kini, diperkirakan ada sejumlah perawat Indonesia dan penopang lansia (lanjut usia) Indonesia yang sudah bekerja di Jepang. Ini sesuai Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (Economic Partnership Agreement/EPA) Indonesia-Jepang yang ditandatangani 26 Juli 2007 oleh kedua kepala negara.
Namun, lagi-lagi penguasaan bahasa Jepang yang masih amat dasar oleh para tenaga kerja Indonesia, dipastikan akan berdampak pemulangan setelah mereka bekerja tiga tahun di Jepang. Mengapa? Ketentuan menyebutkan, setelah tiga tahun, para pekerja ini harus mengikuti ujian nasional perawat. Ujian diselenggarakan dalam bahasa Jepang. Apabila lulus, mereka bisa tetap bekerja di Jepang. Tetapi, bila gagal, mereka harus kembali ke Indonesia.
Jangankan orang asing, sekitar 40 persen orang Jepang sendiri sering kali gagal bila mengikuti ujian perawat nasional Jepang itu. Ujian itu amat sulit, bukan hanya dalam hal penguasaan bahasa, tetapi juga penguasaan teknis perawat yang amat detail sehingga memerlukan konsentrasi penuh saat persiapan agar bisa lolos ujian.
Padahal, para tenaga kerja Indonesia itu praktis sulit belajar karena tugas utama ke Jepang adalah untuk bekerja dan bukan untuk belajar meskipun mereka sudah menggunakan waktu enam bulan sebelumnya hanya untuk belajar bahasa Jepang.
Apabila setelah tiga tahun semua perawat Indonesia kembali ke Indonesia karena gagal ujian, nama Indonesia menjadi taruhannya. Citra Indonesia, khususnya TKI di Jepang akan memburuk gara-gara tak ada yang lulus ujian. Siapkah kita menerima kenyataan ini?
Itu sebabnya hubungan 50 tahun diplomatik Indonesia-Jepang saat ini sebenarnya masih pada kulitnya, masih jauh dari keakraban sejati, antara masing-masing bangsa di tengah citra yang masih kental di kalangan orangtua, terutama atas penjajahan Jepang pada masa lalu. Pengaruh citra perang dunia ini mungkin akan berakhir setelah tiga generasi mendatang.
Memang, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Indonesia agar hubungan dengan Jepang menjadi semakin akrab. Tetapi, mengapa hanya kita saja yang harus berusaha? Bukankah Jepang juga harus melakukan hal serupa untuk mendekatkan dirinya ke Indonesia?
Jawabannya, seandainya saya (orang Indonesia) menjadi orang kaya, seperti Bill Gates, dalam berbisnis atau ke mana pun, saya tidak akan menggunakan bahasa Inggris. Saya akan terus berbahasa Indonesia. Mengapa? Daripada salah pengertian, lebih baik menggunakan tenaga penerjemah. Biayanya pun masih murah. Ingat, saya kan Bill Gates!
Richard Susilo Koordinator Forum Jepang-Indonesia (JIEF) di Tokyo, Jepang