Syamsuddin Haris - Nepotisme Ancam Demokratisasi

Judul : Nepotisme Ancam Demokratisasi
Sumber : Kompas, Senin, 20 Oktober 2008

Oleh Syamsuddin Haris

Fenomena nepotisme politik kembali menguat dalam era demokratisasi saat ini. Para petinggi partai menempatkan anak, istri, keponakan, dan keluarganya pada posisi-posisi strategis daftar calon anggota legislatif Pemilu 2009. Apa dampaknya bagi reformasi yang masih berjalan di tempat?

Mungkin ruang tulisan ini terlalu sempit untuk memuat kembali daftar nama caleg yang tak lain adalah keluarga dari pengurus kunci partai. Sekadar contoh, tiga orang di antaranya adalah Edy Baskoro, putra Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono; Puan Maharani, putri Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri; dan Dave Laksono, putra Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Hampir semua partai menempatkan keluarga elite partai ini pada posisi nomor urut teratas, menyisihkan para kader dan aktivis partai yang ”berkeringat” serta berjuang dari bawah.

Perlakuan istimewa petinggi partai atau pejabat terhadap keluarga sendiri ini hampir seragam di semua tingkat dan dapat dicek kembali pada daftar caleg DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diumumkan KPU. Ini tentu ironi politik di tengah retorika membuncah para elite tentang urgensi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam rangka mewujudkan Indonesia baru.

Nepotisme dan dinasti politik

Nepotisme politik secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian perlakuan istimewa kepada keluarga sendiri dalam posisi kekuasaan politik tertentu, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Nepotisme tak hanya menafikan penjenjangan karier politik atas dasar prestasi, kapabilitas, dan rekam jejak dalam proses rekrutmen politik, tetapi bersifat antidemokrasi. Karena itu, salah satu cita-cita reformasi pasca-Soeharto yang terpenting adalah pemberantasan KKN yang selama ini dianggap sebagai biang kebobrokan rezim Orde Baru.

Para pelaku nepotisme biasanya membela diri dengan menunjukkan fakta bahwa fenomena serupa juga terjadi di negara lain. Di negeri kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat, sering disebut klan John F Kennedy, George Bush, dan Bill Clinton sebagai pelaku nepotisme. Di Asia acapkali dicontohkan keluarga Nehru yang melahirkan Indira Gandhi serta anak dan menantu Gandhi yang terjun ke politik, sementara di Pakistan ada keluarga Ali Bhutto yang melahirkan Benazir Bhutto dan kini suami serta anaknya juga turut berkiprah dalam politik. Kecenderungan hampir sama terjadi di Filipina, Thailand, Banglades, dan beberapa negara lain.

Namun, sebagian pembelaan itu jelas salah dan tidak tepat. Sekadar contoh, Ted dan Bob Kennedy, Hillary Clinton, Gandhi beserta anak menantunya, begitu pula Benazir yang tertembak, tidak berkiprah di politik semata-mata karena nepotisme. Mereka tak sekadar memiliki reputasi, rekam jejak, dan kapabilitas, tetapi juga sebagian memiliki latar belakang pendidikan bidang politik atau hukum yang memadai. Jadi, kalaupun terbentuk ”dinasti politik” atas dasar garis darah, citra publik mereka cenderung positif.

Neopatrimonial

Sementara itu, yang berlangsung di Indonesia acapkali adalah kecenderungan para elite politik berlaku aji mumpung. Artinya, mumpung sang bapak sedang berkuasa, diwariskanlah kekuasaan serupa untuk anak, istri, atau anggota keluarga yang lain. Akhirnya yang berkembang adalah format patrimonial dengan kutub ekstremnya: negara patrimonial. Sebagaimana berlaku pada monarki tradisional, di negara patrimonial kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, diwariskan secara turun-temurun di antara para keluarga ataupun kerabat istana.

Gejala menguatnya kembali nepotisme di balik proses pencalonan legislatif dewasa ini mungkin belum separah negara patrimonial karena para caleg yang ditawarkan itu akan dipilih melalui pemilu demokratis. Namun persoalannya, sistem pemilu atas dasar nomor urut dan struktur sebagian besar partai yang masih oligarkis relatif belum memberikan kesempatan bagi publik untuk memilih caleg atas dasar kapabilitas, rekam jejak, dan kompetensi mereka. Format kepartaian dan perwakilan politik yang berlaku pasca-Soeharto masih memberi ruang yang lebar berkibarnya nepotisme politik.

Karena itu, jika budaya politik tradisional dan tidak sehat ini terus berlangsung dalam politik nasional, maka tidak mustahil patrimonialisme baru dalam skala partai tumbuh membesar dalam skala negara dan berujung pada ketidakpercayaan publik terhadap proses demokrasi. Fenomena golput yang relatif tinggi dalam berbagai pilkada provinsi dan kabupaten/kota bisa jadi merupakan pertanda mulai runtuhnya kepercayaan publik terhadap segenap proses demokrasi itu.

Personalisasi kekuasaan

Salah satu dampak dari nepotisme politik dalam proses rekrutmen politik adalah tidak kunjung melembaganya partai sebagai sebuah organisasi modern dan demokratis. Nepotisme tak hanya menutup peluang para kader atau aktivis partai yang benar-benar berjuang meniti karier politik dari bawah, tetapi juga menjadi perangkap berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan kepemimpinan oligarkis partai-partai.

Implikasi lain dari menguatnya nepotisme dalam rekrutmen politik adalah semakin melembaganya praktik korupsi politik dalam arti luas. Apabila para elite terbiasa mengambil hak politik para kader dan aktivis partai, yang menjadi korban berikutnya adalah rakyat melalui korupsi berjemaah atas dana publik, seperti marak dalam sejumlah kasus mutakhir.

Rezim Orde Baru sebenarnya memberi pelajaran amat berharga bagi bangsa ini betapa berbahayanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun ironisnya para elite politik kita tak kunjung sadar akan hal itu. Semoga masih ada elite politik yang tidak sekadar ”mengambil” untuk diri dan keluarga, tetapi juga memberi bagi Tanah Air tercinta.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI