Khamami Zada - Terorisme Pascaeksekusi Mati

Judul : Terorisme Pascaeksekusi Mati
Sumber : Kompas, Selasa, 11 November 2008

Oleh Khamami Zada

Setelah menanti cukup lama, eksekusi terhadap para terpidana mati kasus Bom Bali I—Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron—akhirnya dilaksanakan di Lembah Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Minggu subuh lalu.

Sudah enam tahun Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron beserta keluarganya menunggu kepastian dihukumnya para pelaku terorisme. Sudah lama pula perdebatan soal terorisme berlangsung di Indonesia.

Aksi pengeboman di Bali tahun 2002 dan sederet aksi terorisme lainnya telah mengisahkan entak tangis keluarga korban yang tak terhingga. Korban jiwa dari orang-orang tak berdosa tak bisa digantikan oleh apa pun. Hukuman mati pun dipandang sebagai hukuman yang pantas bagi mereka atas aksi-aksi terorisme yang telah mereka lakukan.

Sebaliknya, para pelaku aksi terorisme justru merasa bangga atas keberhasilan mereka menegakkan agama atas nama jihad. Mereka tidak gentar dengan hukuman mati yang diterimanya.

Banyak orang bertanya, apakah dengan dieksekusinya Amrozi dan kawan-kawan terorisme akan lenyap dari bumi Indonesia. Pertanyaan ini patut diajukan mengingat para terpidana mati merupakan kelompok pentolan di jaringan terorisme yang selama ini mengorganisasi jaringan bawah tanah untuk aksi-aksi terorisme. Ditambah lagi dengan masih banyaknya pelaku terorisme yang ditangkap dan masih dalam persembunyian.

Pertunjukan kekerasan

Aksi kekerasan dan terorisme, yang terjadi di Indonesia dan dunia umumnya sebenarnya merupakan bentuk dari pertunjukan kekerasan (violence performance) yang penuh makna.

Mark Jurgensmeyer (2003; 179-196) menjelaskan dengan bagus bahwa terorisme sebagai pertunjukan layaknya teater ritual keagamaan. Aksi terorisme merupakan drama yang didesain untuk memengaruhi penonton bahwa drama itu mengharukan dan memilukan serta mengundang kesedihan sekaligus kepedihan.

Orang-orang yang menyaksikan aksi kekerasan, kendati dari jarak yang jauh melalui media massa, merupakan bagian dari peristiwa itu sendiri.

Dengan terorisme sebagai teater ritual keagamaan, tempat yang pantas untuk mementaskannya adalah panggung, yakni tempat aksi terorisme digelar. Dan, mereka menemukan panggung paling dramatis di Indonesia, yaitu Bali sebagai lokasi yang tepat karena menyimpan beragam alasan simbolik.

Kedutaan besar pun menjadi panggung dari aksi terorisme karena merupakan simbol kekuasaan. Mereka hendak mempertontonkan kekuasaan pemerintah (biasanya Amerika Serikat dan Australia) yang mudah diserang. Para korban terorisme terkadang dijadikan sasaran bukan karena mereka mengancam hidup para pelaku terorisme, tetapi mereka merupakan simbol, alat, dan makhluk jahat yang mencaruti wajah dunia.

Dengan pertunjukan dramatik yang lebih kuat, mereka ingin mengubah persepsi bangsa-bangsa di dunia. Inilah yang memungkinkan bagi kelompok-kelompok teroris lainnya melakukan imitasi secara sempurna.

Di satu sisi, kelompok teroris menebar ancaman kepada dunia, di sisi lain, mereka sedang mengajarkan kepada kadernya bagaimana berjuang menegakkan agama dengan sempurna.

Imitasi pertunjukan kekerasan tidak sekadar dilakukan secara persis dengan apa yang telah terjadi, tetapi juga spirit menebar ancaman itulah yang diambil. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh berbagai kelompok agama dalam memperjuangkan keyakinan keagamaan.

Aksi-aksi kekerasan yang terjadi di sejumlah daerah dalam rentang waktu beberapa tahun belakangan ini menunjukkan adanya imitasi spirit dalam menegakkan jalan agama.

Masa depan terorisme

Eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan sebenarnya merupakan babak lanjut dari drama terorisme di Indonesia, yaitu tumbuhnya benih-benih baru teroris yang diinspirasi oleh gerakan Amrozi dan kawan-kawan.

Sebenarnya, eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan tidak menyurutkan gerakan terorisme di Indonesia. Mereka tidak gentar dan takut menerima eksekusi mati. Dalam ideologi teroris, tidak ada kata menyerah. Ada doktrin agama yang selalu menjadi spirit gerakan mereka, yakni mati syahid. Mereka meyakini, apa yang dilakukan adalah demi menegakkan agama Allah sehingga ketika mereka mati maka yang diperoleh adalah mati syahid dengan jaminan surga.

Lihat saja apa yang dilakukan Amrozi dan kawan-kawan saat menerima vonis mati dari pengadilan. Teriakan ”Allahu Akbar” menggema berkali-kali sambil mengepalkan tangannya ke langit. Hingga menjelang pelaksanaan eksekusi mati pun, Amrozi dan kawan-kawan masih meneriakkan ”Allahu Akbar”. Tidak ada kesan sedih, menyesal, dan takut, mereka justru menunjukkan semangat dalam ”perjuangan membela agama”. Semangat inilah yang terus dipekikkan untuk mengobarkan militansi perjuangan bagi kader-kader mereka yang sedang bersembunyi di jaringan bawah tanah.

Berbagai adegan yang telah diperlihatkan Amrozi dan kawan-kawan, sejak melakukan aksi terorisme hingga dieksekusi mati, menunjukkan drama perjuangan. Ini pula yang terlihat dari pemberitaan di media (khususnya televisi) yang memperlihatkan betapa Amrozi dan kawan-kawan layak dijadikan ”pahlawan, hero, pejuang, dan pengobar semangat” dalam gerakan Islam.

Tak mengherankan jika kelompok Islam garis keras banyak mengambil kesempatan untuk mendatangi Amrozi di Nusakambangan (Cilacap) dan mengunjungi keluarganya di Tenggulun (Lamongan). Mereka seolah memberi dukungan atas apa yang Amrozi dan kawan-kawan lakukan.

Pemberitaan media yang begitu menegangkan bisa jadi telah memberi persepsi kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan Amrozi dan kawan-kawan adalah benar dan mereka sedang dizalimi oleh pemerintah dengan keputusan vonis mati. Apalagi, gambar-gambar yang ditampilkan televisi lebih banyak dalam suasana heroik yang mengobarkan semangat.

Akumulasi persepsi yang terus terbentuk oleh pemberitaan media ini bisa membalikkan persepsi publik bahwa Amrozi dan kawan-kawan hanya sebagai tumbal kepentingan politik internasional. Kondisi seperti ini bisa mempersubur aksi terorisme karena mereka dianggap sebagai pejuang agama yang dijamin mati syahid.

Hal itulah yang paling dikhawatirkan dari teater pertunjukan Amrozi dan kawan-kawan, keluarga, kepolisian, Kejaksaan Agung, kelompok Islam garis keras, dan publik yang diperlihatkan oleh media.

Bukankah ini semua menjadi tantangan terbesar bagi terwujudnya kedamaian dan perdamaian kita sebagai bangsa dan negara majemuk?

Khamami Zada Analis Keagamaan PP Lakpesdam NU