Oleh Razali Ritonga
Razia terhadap pendatang baru ke Jakarta pasca-Lebaran sepertinya menjadi kegiatan rutin tahunan Pemda DKI Jakarta. Kegiatan itu selain dinilai tidak efektif juga mengundang reaksi beragam dari berbagai kalangan.
Sebagian kalangan menilai pendatang baru memang perlu dibatasi. Alasannya, pendatang baru akan kian menambah kompleks permasalahan Jakarta karena kebutuhan 8,7 juta warganya belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Jumlah warga DKI sebenarnya jauh lebih besar lagi karena sebagian di antaranya tidak tercatat. PBB memperkirakan jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 13,2 juta jiwa, yang sekaligus menempatkan Jakarta sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar kesembilan di dunia setelah Tokyo, Mexico City, New York, Sao Paulo, Mumbai, New Delhi, Shanghai, dan Calcutta (UN, World Urbanization Prospects, 2006).
Tidak sedikit kalangan yang mengkritisi adanya pembatasan urbanisasi ke Jakarta. Alasannya, pembatasan itu dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk menentukan pilihan bertempat tinggal.
Selain melanggar HAM, pembatasan urbanisasi itu merupakan penyangkalan terhadap kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bukti empiris menunjukkan bahwa arus urbanisasi searah dengan konsentrasi pembangunan. Maka, konsentrasi pembangunan yang bias ke perkotaan, khususnya Jakarta, akan kian menarik pendatang baru. Fakta ini mengisyaratkan bahwa letak permasalahannya bukan pada urbanisasi, tetapi pada kebijakan pembangunan itu sendiri.
Berdasarkan sejarah, momentum urbanisasi terjadi setelah Revolusi Industri yang berlokasi di perkotaan. Sebelum Revolusi Industri, persentase penduduk kota secara global tidak pernah mencapai angka di atas 5 persen (Yaukey, 1985). Namun kini, persentase penduduk kota telah mencapai sekitar 60 persen, dengan rincian persentase penduduk kota di negara-negara maju sekitar 80,8 persen dan negara berkembang sekitar 56,1 persen (UN, World Urbanization Prospects, 2006).
Maka, dengan melihat kenyataan global itu tampaknya urbanisasi masih akan terus berlangsung. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, termasuk razia dan pemberian sanksi terhadap pendatang baru, tidak akan efektif karena nyatanya urbanisasi akan terus berlangsung.
Kebijakan nasional
Celakanya, tingkat urbanisasi di Jakarta menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan kemampuan Pemda DKI semakin kalah cepat dalam memenuhi kebutuhan warganya. Maka, perlu diambil langkah untuk mengatasi urbanisasi ke Jakarta, tetapi dengan catatan perlu dilakukan dengan cara-cara elegan dan manusiawi.
Namun, untuk mengatasi urbanisasi itu tampaknya tidak mungkin dapat dilakukan seluruhnya oleh Pemda DKI sehingga diperlukan pendekatan secara nasional. Sebab, tingginya tingkat urbanisasi ke Jakarta berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan nasional.
Weller and Bouvier (1981) menyebutkan, ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Namun, cara ini dinilai otoriter. Celakanya, cara ini hampir sama dengan langkah yang diambil oleh Pemda DKI.
Dalam kasus ekstrem, China pernah berupaya tidak hanya melarang penduduk pindah ke kota, tetapi juga berupaya mengurangi tekanan penduduk kota. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan penduduk dari perkotaan ke pedesaan untuk bekerja selama beberapa waktu tertentu. Kebijakan sama pernah diterapkan Kamboja di bawah rezim Pol Pot.
Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan.
Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik.
Lebih jauh, laporan itu menyebutkan bahwa kota menjadi tempat berlangsungnya transformasi hampir di semua aspek, ekonomi, sosial, demografi, dan lingkungan. Diperkirakan, kota-kota di negara-negara berkembang akan menjadi pusat perkembangan secara global pada masa datang; pertumbuhan ekonomi, pengentasan orang dari kemiskinan, kesetaraan jender, dan hak asasi manusia (UNFPA, The State of World Population Report, 2007).
Secara umum, semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Namun, bukti empiris hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005).
Potensi pengembangan kota-kota di daerah tampaknya kini kian terbuka lebar seiring diberlakukannya otonomi daerah. Sebab, pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mendesain pengembangan kota-kota di daerahnya secara mandiri.
Untuk mempercepat proses pengembangan kota, tampaknya diperlukan keterlibatan ketiga pilar utama, yakni pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Bagusnya, cara mengatasi masalah urbanisasi seperti itu bernuansa sangat manusiawi dibandingkan, misalnya, dengan penerapan sanksi.
Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah