Oleh Ahmad Syafii Maarif
Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat. Tahun 2015 penduduk bumi naik menjadi delapan miliar. Indonesia sekarang sekitar 225 juta orang, naik lebih tiga kali lipat saat kita menyatakan kemerdekaan tahun 1945.
Optimisme untuk melawan kemiskinan global kian kuat. Angka statistik sebagaimana dikutip Fareed Zakaria dalam buku terbaru, The Post-American World (Mei 2008) dan sumber lain menjelaskan semua itu. Tahun 1981 ada sekitar 40 persen penduduk dunia dengan penghasilan hanya satu dollar AS per hari, tahun 2004 tinggal 18 persen. Diharapkan pada tahun 2015 akan menurun sampai 12 persen. Terorisme juga akan jauh berkurang dalam beberapa tahun mendatang karena rakyat telah semakin membencinya. Dengan demikian, ketakutan kaum neokons AS, termasuk McCain, terhadap bahaya teror kian kehabisan alasan.
Kelompok neokons tidak saja cemas terhadap bahaya teror yang dapat mengancam negerinya, mereka juga amat khawatir bahwa AS akan kian kehilangan wibawa global, bahkan keruntuhan, sebagaimana penulis Perancis Emmanuel Todd telah mengatakan demikian sejak tahun 2002 dalam buku terkenal: After the Empire: The Breakdown of the American Order. Todd juga yang pernah meramalkan kehancuran Uni Soviet tahun 1975, jauh sebelum perestroika Mikhail Gorbachev dilancarkan.
Saya sendiri saking marah terhadap Bush pernah terpukau oleh Todd bahwa nasib AS tinggal menunggu waktu untuk jatuh. Namun dengan karya Fareed Zakaria itu, saya harus bersikap lebih berhati-hati tentang hari depan AS. Yang akan terjadi bukan hancurnya AS sebagai bangsa dan negara, tetapi dalam ungkapan Zakaria adalah karena the rise of the rest (munculnya pusat-pusat kekuatan baru) yang dapat menyaingi, bahkan mengalahkan AS, khususnya di bidang ekonomi dan investasi. Bukankah sekarang dana investasi terbesar di planet bumi ada di Abu Dhabi, pusat industri film terbesar dunia adalah Bollywood (Mumbai, India), bukan lagi Hollywood? Gedung tertinggi kini di Taipei, sebentar lagi di Dubai. Perusahaan publik terbesar ada di Beijing, bukan di New York. Pesawat penumpang terbesar dibuat di Eropa, bukan di AS.
Dengan demikian, AS sebagai adikuasa satu-satunya pasca-Perang Dingin telah berakhir. Meski dari segi militer, AS masih kuat, hulu ledak nuklirnya berjumlah 830, dibandingkan China hanya 20, tetapi sudah tidak bisa lagi mendikte dunia, seperti dilakukan selama lebih dari setengah abad terakhir. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika kini berlomba bangkit.
Indonesia 2015
Berbagai kekuatan baru itu sebenarnya sudah dikenali, yaitu: China, India, Brasil, plus Korea Selatan, Singapura, Taiwan, Cile, Afrika Selatan, Malaysia, Argentina, dan Rusia. Pertanyaannya, di mana dan ke mana Indonesia tahun 2015? Brasil yang dulu sarat korupsi, dengan kepemimpinan visioner, segalanya mulai berubah secara fundamental. Negeri jiran Malaysia, meski terjadi keretakan politik domestik, toh fundamental ekonominya lebih tertata.
Di Indonesia, dalam tenggang 10 tahun reformasi belum terjadi perubahan yang mendasar di bidang ekonomi. Birokrasi kita masih korup dan tidak efisien. Kita tetap rentan menghadapi gejolak pasar dunia; bukan saja rentan, bahkan sering lingkung. Apakah negeri kita terlalu luas dan sulit diatur? Inilah yang memprihatinkan, mengapa negeri kepulauan ini belum melahirkan negarawan yang siuman dan paham betul bagaimana memperbaiki keadaan agar bangsa ini lebih bermartabat dan punya kebanggaan diri.
Memang ada administrator di posisi bagian puncak yang cakap dan berani, tetapi sungguh sulit untuk dijual di pangsa pasar politik. Polling-polling yang ada tetap menyudutkan tokoh ini, padahal dialah pemain sebenarnya di balik keberhasilan negara ini dalam mengatasi masalah Poso dan Aceh.
Adapun di bidang ekonomi, kita masih rapuh. Resep-resep IMF dan Bank Dunia untuk perbaikan fundamental ekonomi sejak beberapa tahun ini adalah cerita kegagalan meski ada saja ekonom kita yang tercuci otaknya oleh resep itu.
Pemimpin visioner
Fareed Zakaria tentu belum akan memasukkan Indonesia dalam kategori the rise of the rest karena argumen dan data statistik untuk itu belum tersedia. Inilah sebuah negeri yang sebenarnya tidak terlalu miskin dalam sumber alam, tetapi amat sulit menemukan pemimpin visioner yang berani ambil risiko untuk kepentingan lebih besar: bangsa dan negara.
Politisi jangan ditanya lagi. Prioritas utama mereka umumnya adalah bagaimana menggerogoti harta negara untuk kepentingan sesaat. Sungguh tragis, lingkungan kultur kita tetap kumuh. Dengan tingkat kemiskinan sekarang berdasar standar dua dollar AS per hari per kepala, angkanya pasti di atas 100 juta warga negara atau sekitar 40 persen yang masih berkubang dalam kemiskinan.
Mati karena berebut zakat beberapa waktu lalu adalah salah satu indikator tentang keadaan riil masyarakat kecil kita. Drama ini amat menyakitkan. Namun, itulah realitas kita. Saya tidak tahu berapa jumlah elite politik kita yang benar-benar punya keprihatinan tentang bangsa ini?
Jika pada tahun 2015, angka kemiskinan dunia akan turun menjadi 12 persen, bagaimana Indonesia tahun 2014 saat pemilu kita laksanakan lagi? Proses demokratisasi yang tidak punya dampak positif bagi perbaikan gizi rakyat adalah sebuah malapetaka meski peradaban manusia belum menemukan sistem politik yang lebih baik dari demokrasi. Di sinilah dilemanya, di sinilah tantangan besar itu sedang berada di depan bangsa kita. Bahwa kita bisa bangkit, saya tidak meragukan, tetapi itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan siap berkorban, dimulai dari pemimpin sebagai pelayan publik.
Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum Muhammadiyah