Razali Ritonga - Silang Sengkarut Upah Minimum

Judul : Silang Sengkarut Upah Minimum
Sumber : Kompas, Jumat, 7 November 2008

Oleh Razali Ritonga

Penetapan upah minimum provinsi kerap diliputi rasa ketidakpuasan bagi buruh dan pengusaha meski prosesnya telah dilakukan secara demokratis.

Diketahui, upah minimum ditetapkan oleh unsur tripartit, yakni pemerintah, dunia usaha, dan wakil serikat pekerja. Meski demikian, hasil keputusan tetap dinilai buruh kurang bijaksana dan menuding pemerintah memihak pengusaha.

Menghadapi tudingan itu, pemerintah berkilah, perusahaan perlu dilindungi agar terhindar dari kebangkrutan. Sebab, jika banyak perusahaan gulung tikar akan berdampak pada peningkatan pengangguran.

Meningkatnya angka pengangguran pascakrisis 1997 tampaknya terus membayangi pemerintah, termanifestasi dalam penetapan upah minimum. Maka, untuk menyelamatkan pekerja dan dunia usaha dari dampak krisis global, pemerintah perlu menetapkan kenaikan upah minimum dengan menerbitkan peraturan bersama yang ditandatangani empat menteri (mennakertrans, mendagri, menteri perindustrian, dan menteri perdagangan).

Namun, peraturan bersama empat menteri itu mengundang kontroversi, khususnya Pasal 3 yang menyebutkan, kenaikan upah minimum tahun 2009 perlu diupayakan oleh masing-masing daerah agar tak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Ini berarti kenaikan upah minimum sebesar 6-7 persen sesuai pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kenaikan sebesar itu, besar upah minimum secara riil menurun mengingat kenaikannya lebih rendah daripada angka inflasi, yang besarnya di atas 10 persen.

Bahkan, banyak pihak mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan angka pertumbuhan ekonomi nasional sebagai acuan kenaikan upah minimum. Apakah penetapan itu dimaksudkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 agar tidak lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2008? Lantas bagaimana dengan nasib kesejahteraan buruh, apakah tidak akan kian terpuruk dan meningkatkan angka kemiskinan?

Di bawah satu dollar AS

Ditengarai, besarnya upah minimum di Indonesia termasuk golongan menengah bawah. Berdasarkan catatan badan perburuhan dunia (ILO), secara global upah minimum terendah rata-rata tercatat 57 dollar AS per bulan dan tertinggi sebesar 1.185 dollar AS per bulan (ILO, 2006).

Upah minimum DKI, misalnya, untuk tahun 2009 ditetapkan Rp 1.069.865 per bulan (Kompas, 1/11/2008). Dengan kurs sebesar Rp 10.000 per satu dollar AS, upah minimum DKI setara dengan 106,9 dollar AS per bulan. Meski upah sebesar itu telah mengalami kenaikan sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu (Rp 972.604), kenaikannya dinilai belum cukup memadai.

Dengan asumsi setiap rumah tangga terdiri dari empat anggota rumah tangga, pendapatan per anggota rumah tangga per bulan tahun 2009 sekitar Rp 267.000, atau sekitar 26,7 dollar AS per kapita per bulan, atau sebesar 89 sen dollar AS (0,89 dollar AS) per kapita per hari. Angka sebesar itu lebih rendah daripada kriteria kemiskinan internasional dengan pendapatan per kapita sebesar satu dollar AS per hari. Bahkan, dengan kurs rupiah sebesar Rp 9.000 per dollar AS yang seandainya bisa dicapai tahun 2009, upah minimum sebesar itu masih tetap di bawah satu dollar AS per kapita per hari (sekitar 0,98 dollar AS atau 98 sen dollar AS).

Selain berpeluang meningkatkan kemiskinan, peningkatan upah minimum yang tak seberapa itu juga berpotensi memperburuk ekonomi, bahkan kian meningkatkan angka pengangguran. Diketahui, dengan upah riil menurun akan menyebabkan daya beli buruh menurun.

Dengan penurunan daya beli akan berpotensi menurunkan konsumsi atau permintaan barang dan jasa. Pada tahap lanjut, menurunnya permintaan barang dan jasa akan menurunkan produksi dan mengancam dunia usaha gulung tikar serta meningkatkan angka pengangguran (ILO, 2006). Pada gilirannya, menurunnya konsumsi akan berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Meski demikian, kebangkrutan dunia usaha mungkin masih bisa dicegah jika produksi barang dan jasanya berorientasi ekspor, seperti dilakukan China dengan kebijakan upah buruh murah. Celakanya, produksi barang dan jasa di Tanah Air masih berorientasi pasar di dalam negeri.

Dengan realitas itu, dunia usaha tampaknya mengalami posisi dilematis; jika upah buruh dinaikkan, perusahaan tidak memiliki kemampuan dan jika upah tidak dinaikkan akan memperlemah daya beli, yang secara agregat berpotensi menurunkan produksi perusahaan.

Peran pemerintah

Salah satu solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah meningkatkan peran pemerintah dalam mengurangi beban dunia usaha, terutama yang terkait pajak dan aneka pungutan. Upaya pengurangan beban itu bisa dilakukan, misalnya, dengan cara meringankan beban pajak perusahaan, bantuan keuangan berbunga rendah, dan atau subsidi, serta membebaskan dari berbagai pungutan, khususnya pada perusahaan yang tidak mampu memberi upah minimum secara layak.

Idealnya, besar upah minimum setara kebutuhan hidup layak (KHL), yang untuk DKI, misalnya, sebesar Rp 1.314.059,7 per bulan (Kompas, 1/9/2008). Dengan upah sebesar itu untuk setiap anggota rumah tangga akan menerima sebesar Rp 328.514 per anggota rumah tangga per bulan atau sebesar 1,09 dollar AS per hari per anggota rumah tangga (asumsi satu rumah tangga rata-rata empat orang).

Atas dasar itu, aspek perlindungan terhadap dunia usaha tetap diperlukan, tetapi jangan mengorbankan kepentingan buruh, dengan mengabaikan kenaikan upah minimum secara layak. Maka, meski penetapan upah minimum telah demokratis, peran pemerintah diperlukan lebih besar lagi agar tidak terjadi silang sengkarut antara buruh dan pengusaha.

Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah