Oleh M Ridha Saleh
Laju migrasi manusia ke kota merupakan kecenderungan dan bersifat alamiah mengikuti gerak pertumbuhan dan perekonomian suatu negara yang cenderung berpusat di kota-kota dikarenakan gagalnya pembangunan pedesaan.
Berdasarkan perhitungan PBB, pada tahun 1950 satu pertiga penduduk dunia hidup di perkotaan. Hanya selang 50 tahun kemudian, jumlah ini berkembang pesat menjadi setengah dan diperkirakan akan berlanjut dan bertambah lagi menjadi dua pertiga atau enam miliar penduduk dunia pada tahun 2050.
Itulah sebabnya Cities, Magnets of Hope menjadi tema yang dipilih PBB untuk memperingati World Habitat Day tahun 2006, sekaligus mengingatkan kita semua bahwa saat ini manusia sedang menyaksikan migrasi kolosal manusia dalam jumlah sangat besar ke kota-kota dalam sejarah manusia hingga saat ini.
Miniatur Indonesia
Jakarta tidak hanya ibu kota negara, tetapi juga miniatur Indonesia yang menyerap hampir setengah dari perputaran kapital di Indonesia. Setiap tahun penduduk Jakarta pasti bertambah, bukan hanya disebabkan tingkat kelahiran, melainkan karena banyaknya para pencari kerja yang berdatangan dari berbagai daerah, termasuk berbarengan dengan arus balik pasca-Lebaran.
Sebagian besar dari mereka yang migrasi ke kota Jakarta dengan motif ekonomi, yakni ingin mendapatkan pekerjaan yang mereka anggap layak menurut kualitas yang mereka miliki.
Khawatir dengan segala dampak yang diakibatkannya, sejak tahun 1999 Gubernur DKI Jakarta telah mencanangkan perang melawan kaum miskin kota dan para pendatang ilegal melalui operasi yustisi. Kebijakan ini terus dilanjutkan oleh Gubernur Fauzi Bowo hingga saat ini. Padahal, hingga akhir Lebaran tahun 2007 saja, jumlah penduduk Jakarta justru bertambah 110.000 jiwa dari jumlah penduduk yang kembali ke Jakarta pasca-Lebaran.
Operasi yustisi adalah operasi kependudukan dan ketertiban umum. Oleh Pemda DKI operasi ini dianggap dapat mengurangi penduduk dan menurunkan beban pembangunan kota Jakarta yang mengemban amanat untuk menciptakan ibu kota yang tertib, aman, nyaman, bersih, dan indah. Walaupun operasi ini tidak sama sekali ada signifikansinya dengan pengurangan arus urbanisasi di Jakarta.
Operasi yustisi ini mengacu pada Perda No 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum. Saat ini perda tersebut sudah direvisi menjadi Perda No 8 Tahun 2007 yang pada saat diperdakan juga menuai banyak protes dan sangat kontroversial karena di antara isi perda tersebut melarang orang membeli dan berdagang di jalanan.
Basis kebijakan lain yang digunakan untuk melegitimasi operasi yustisi tersebut adalah Perda No 4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, kemudian aturan teknis dan operasionalnya diatur melalui Instruksi Gubernur No 13 Tahun 2006.
Sepintas, dalam kondisi saat ini, operasi yustisi akan menambah beban dan memiskinkan rakyat yang sudah miskin yang ingin berupaya keluar dari kemelut kemiskinan di tengah-tengah kesulitan kondisi perekonomian negara dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan rakyatnya secara maksimal.
Akan tetapi, yang patut dicegah dari operasi ini adalah pertama, mind set yang sangat mengkhawatirkan bagi penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, yakni ingin meniadakan akses setiap warga negara, khususnya bagi rakyat kecil, untuk hidup dan memilih pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan dan ukuran mereka. Kedua, praktik operasi yustisi terkesan sangat diskriminatif karena hanya diperuntukkan bagi rakyat kecil yang hidup di perkampungan marjinal, pedagang kaki lima, dan kantong-kantong penduduk miskin lainnya.
Masalah lain dari operasi yustisi juga terkait erat dengan kesulitan masyarakat miskin di Jakarta untuk memperoleh kartu tanda penduduk (KTP).
Lagi-lagi, ini hanyalah stigma pembangunan di perkotaan terhadap keberadaan rakyat kecil, yang oleh penguasa dianggap sebagai komunitas yang kumuh dan tidak taat administrasi, padahal stigma tersebut semata-mata karena pendekatan, pola, model, dan prioritas pembangunan perkotaan di Jakarta tidak memberikan ruang dan akses yang adil bagi masyarakat miskin.
Pelanggaran konstitusi dan HAM
Jika tidak berhati-hati, operasi yustisi merupakan operasi yang sangat bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28 E Ayat 1 UUD 45 dan Pasal 27 Ayat 1 UU No 39/99 tentang HAM karena operasi tersebut telah menghalangi hak setiap warga negara untuk bebas bertempat tinggal dan mendapatkan pekerjaan.
Hal lain yang dikhawatirkan dan berdasarkan praktik tahun sebelumnya, dalam operasi tersebut sering kali ditemukan praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Konvenan Hak Sipil Politik, seperti intimidasi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah terhadap harta milik penduduk yang tidak memiliki KTP.
Yang lebih menyedihkan, para pendatang yang terjaring operasi yustisi karena sama sekali tidak memiliki identitas biasanya langsung digiring ke Panti Kedoya atau Cipayung. Setelah sekitar dua pekan di dalam panti, mereka lalu diantar keluar Jakarta untuk dipulangkan ke daerah asal. Akan tetapi kenyataannya, sering kali petugas yang mengantarkan mereka ke daerah asalnya justru menelantarkan mereka begitu saja di jalanan tanpa ada kontak dan jaminan sangu untuk kembali ke rumah.
Kalau demikian, operasi yustisi bukanlah sekadar masalah ketertiban umum atau pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil, tetapi hal ini merupakan masalah yang sangat serius yang berkaitan dengan ketimpangan pembangunan dan menyangkut penghormatan terhadap harkat kemanusiaan, yang tidak dapat dibebankan kepada Pemda DKI Jakarta saja, tetapi membutuhkan intervensi dan kemauan politik pemerintah pusat karena masalah ini juga terkait dengan persoalan antardaerah.
M Ridha Saleh Wakil Ketua Komnas HAM