Oleh Darmaningtyas
Pembayaran tunjangan profesi pendidik untuk guru yang masuk kuota sertifikasi tahun 2006 dan 2007 amat lamban.
Dana tunjangan profesi pendidik yang disediakan pemerintah tahun ini senilai Rp 2,8 triliun, baru sekitar Rp 600 miliar yang disalurkan kepada guru yang sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi.
Mengulur-ulur pembayaran
Menurut Direktur Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional Achmad Dasuki, dana itu sudah disalurkan ke provinsi (Kompas, 29/9/2007).
Sedangkan Kompas (3/9/2008) memberitakan, guru kesulitan memenuhi kuota 24 jam mengajar sehingga mereka yang sudah lolos uji sertifikasi kuota tahun 2006 dan 2007 tidak bisa mendapatkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal PMPTK tentang guru penerima tunjangan profesi pendidik. Ketentuan 24 jam mengajar itu sesuai Pasal 35 Ayat 2 UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, beban kerja guru setidaknya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Kedua berita itu merupakan ironi karena guru yang sudah lolos uji sertifikasi tahun 2006 dan 2007 menanti pembayaran tunjangan profesi dan sampai tiga kali perbaikan berkas ke Jakarta, tetapi tunjangannya belum dibayarkan dan ternyata dananya sudah turun ke provinsi. Muncul kesan ada upaya mengulur-ulur pembayaran tunjangan profesi, tetapi kesalahannya selalu dibebankan kepada guru.
Sedangkan persyaratan 24 jam mengajar seminggu itu kontradiktif dengan kebijakan uji profesi yang menuntut guru berkualitas tinggi, tetapi persyaratannya justru kuantitas mengajar. Kenyataan itu sekaligus mencerminkan ketimpangan distribusi guru antara Jawa dan luar Jawa.
Hingga kini, guru-guru di pedesaan di luar Jawa selalu kelebihan jam mengajar, satu SD diajar 2-3 guru atau satu SMP/ SMTA diajar sembilan guru. Namun, di Jawa satu SD bisa memiliki 15 guru, satu SMP/SMTA memiliki 60 guru atau lebih.
Namun, ketimpangan itu tidak mudah diurai akibat pelaksanaan otonomi daerah, yang ditandai tingginya ego para pemimpinnya. Kebijakan distribusi guru secara nasional perlu ditinjau ulang agar terjadi pemerataan antara Jawa dan luar Jawa serta antara kota dan desa. UU Guru dan Dosen juga perlu direvisi agar sejalan dengan tuntutan peningkatan profesionalitas, bukan kuantitas mengajar.
Resentralisasi kebijakan guru
Di banyak forum diskusi dengan para guru, muncul aspirasi agar pengelolaan pendidikan, utamanya guru, ditarik kembali ke pusat (resentralisasi) karena pengelolaan guru oleh daerah terbukti merugikan guru dan masyarakat. Pascaotonomi daerah guru tidak mampu melakukan mobilitas horizontal (pindah antardaerah) maupun vertikal (jenjang karier lebih tinggi).
Patut diakui, kebijakan kepegawaian masa Orde Baru jauh lebih baik sehingga tidak ada salahnya ditiru. Ketimpangan distribusi guru akan mudah diatasi bila ada fleksibilitas perpindahan dari daerah surplus ke daerah kekurangan guru, tanpa ada ego kedaerahan. Dengan resentralisasi, pemerintah dapat mendistribusikan guru secara merata tanpa ribut siapa yang harus membayar gaji mereka karena gaji guru dan tunjangan lain ditanggung pusat.
Saling lempar tanggung jawab dalam pembayaran tunjangan profesi juga tidak akan terjadi bila guru ditangani oleh satu manajemen. Selama ini guru merasa dipingpong para birokrat pendidikan. Ketika bertanya ke dinas pendidikan (kabupaten/kota) diminta bertanya ke dinas pendidikan provinsi. Ketika bertanya ke dinas pendidikan provinsi, diminta bertanya ke pusat (Depdiknas), tetapi ketika bertanya ke Depdiknas, dilempar kembali agar bertanya ke dinas pendidikan kabupaten/kota. Bila tersentral lagi dan ada ketidakberesan, pertanggungjawabannya jelas ke Depdiknas.
UU diskriminatif
Hal yang mengecewakan adalah UU Guru dan Dosen amat diskriminatif terhadap para guru honorer (swasta), baik yang mengajar di sekolah negeri maupun swasta, seperti terlihat dalam Pasal 15 Ayat 2 yang berbunyi: Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, Ayat 3 menyatakan, Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat diberi gaji berdasar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Padahal, semangat yang mau diperjuangkan melalui UU Guru adalah menghapus diskriminasi dengan cara negara memberikan subsidi gaji kepada para guru swasta yang gajinya di bawah guru PNS. Hal itu mengingat guru swasta juga mencerdaskan masyarakat. Namun yang terjadi justru mempertajam diskriminasi.
Kesimpulannya, resentralisasi pengelolaan tenaga guru serta revisi UU Guru dan Dosen merupakan agenda yang harus segera dilakukan demi kesejahteraan guru, tanpa diskriminasi antara guru PNS dan guru swasta.
Darmaningtyas Dewan Penasihat Center for the Betterment of Education di Jakarta