Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
Pemerintah dan DPR membayangkan satu babak pemilihan presiden yang akan dicapai melalui politik angka: kian berat syarat pengusulan calon presiden-wakil presiden, kian terbatas parpol pengusul, sehingga sedikit calon yang berkompetisi.
Politik angka diperhitungkan dapat memunculkan dua koalisi permanen, yaitu partai pendukung pemerintah dan kelompok oposisi. Dua koalisi permanen serupa dengan multipartai sederhana, yang dapat mengukuhkan sistem presidensial. Inilah politik pilpres dalam satu babak yang dapat menghemat anggaran.
Namun, Kompas (3/11/2008) menunjukkan cuplikan pendapat yang berlawanan. Lebih dari 80 persen responden menghendaki capres-cawapres lebih dari dua pasang, hampir 60 persen responden menginginkan pilpres lebih dari satu babak. Terlaksanakah pilpres satu babak jika rakyat menginginkan dua babak? Apa manfaat pilpres dua babak bagi capres-cawapres maupun pemilih?
Sistem pemilihan eksekutif bukan sistem kepartaian meski keduanya terkait. Tepatkah rekayasa menuju sistem multipartai sederhana dicangkokkan pada desain pilpres? Cukupkah penguatan presidensialisme disandarkan pada desain pilpres?
Dua pilpres
UUD 1945 menggunakan model pilpres dua putaran, yang diramu dengan tujuan menjaga negara kesatuan. Pilpres-1 hanya dapat dimenangi capres-cawapres pengumpul lebih dari 50 persen suara pemilih di separuh jumlah provinsi dan paling sedikit meraih 20 persen suara di tiap provinsi itu. Jika syarat ini tak terpenuhi, capres-cawapres peringkat pertama dan kedua akan bersaing pada pilpres-2 (majority-runoff).
Pilpres 2004 menunjukkan kinerja model pilpres itu dalam konteks majemuk. Pilpres-1 diikuti lima pasang calon dengan SBY-MJK menduduki peringkat pertama (33,90 persen) dan Megawati-Hasyim peringkat kedua (24,90 persen). Kedudukan tetap sama pada pilpres-2 (60,62 persen untuk SBY-MJK dan 39,38 persen untuk Megawati-Hasyim).
Dalam konteks calon lebih dari dua pasang, yang juga diinginkan 80 persen responden Kompas untuk Pilpres 2009, pilpres-1 menjadi tahap kualifikasi. Tetapi penting bagi parpol atau koalisi parpol untuk dapat mengusulkan capres-cawapres pada tahap itu. Pilpres-2 berguna bagi realiansi dukungan mesin parpol terhadap capres-cawapres.
Bagi pemilih, pilpres-2 memberi kesempatan untuk mempertimbangkan pilihannya secara lebih serius. Jika Pilpres 2009 menghadirkan capres-cawapres baru, memilih presiden-wapres dalam dua babak merupakan biaya berdemokrasi bagi masyarakat majemuk yang mengalami transisi pascaotoritarianisme.
Monopoli parpol
DPR dan pemerintah menentukan (29/10/2008), parpol atau koalisi parpol hanya dapat mengusulkan capres-cawa- pres jika meraih 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu. Syarat ini searah, tetapi tak sama, dengan saran Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2006), yaitu 25 persen kursi di DPR, atau tawaran semula dari Partai Golkar dan PDI-P sebanyak 30 persen suara.
Dapatkah koalisi raya pendukung capres-cawapres terpantul sebagai hasil pilpres sehingga pilpres-1 langsung menghasilkan pemenang? Meski tampak konyol atau mengecoh, politik angka dapat bermuara menjadi rumus koalisi raya yang bahkan menuju capres-cawapres tunggal. Perhatikan model ”koalisi 40 persen” oleh pengusul capres-cawapres. Koalisi 40 persen berhasil mengusulkan capres-cawapres, koalisi 35 persen tak layak mengusulkan calon, dan 25 persen nonkoalisi tak mengusulkan calon (atau bahkan menikmati politik uang).
Legitimate-kah pilpres satu babak dengan cara demikian? Bukankah tidak dilarang? Capres-cawapres tunggal tentu mengubah pilpres menjadi plebisit sehingga harus disediakan kotak kosong untuk menampung suara anticalon-tunggal. Untung, presiden-wapres terpilih harus didukung lebih dari 50 persen suara pemilih di separuh jumlah provinsi dan minimal didukung 20 persen suara di tiap provinsi itu (Pasal 6A UUD 1945).
Secara umum politik angka bagi pengusulan capres-cawapres kian melupakan watak pemilihan langsung oleh rakyat. Politik angka yang kian tinggi bersifat oligopoli dan menyempitkan pilihan rakyat. Syarat baru pengusul capres-cawapres dapat pula digugat konstitusionalitasnya oleh parpol baru yang tak ikut menyepakatinya di DPR tetapi memiliki calon potensial. Pasal 6A UUD 1945 mengharuskan parpol pengusul capres-cawapres sebagai peserta pemilu, tetapi tidak menentukan jumlah kursi parlemen atau suara hasil pemilu.
Inilah risiko monopoli parpol dalam pengusulan capres-cawapres, yaitu bukan berdasar dukungan langsung dari rakyat. Padahal, dukungan rakyat dapat disyaratkan seperti pada pencalonan anggota DPD maupun kepala daerah, ditambah syarat persebaran di provinsi dan kabupaten.
Penguatan presidensialisme
Banyak sistem presidensial yang tak stabil dalam sistem multipartai, terutama jika presiden dari partai minoritas. Multipartai tidak cocok dengan sistem presidensial. Sebaliknya, sistem presidensial tidak sesuai kondisi multipartai.
Sistem kepartaian yang kondusif mungkin merupakan faktor yang niscaya, tetapi tidak mencukupi, untuk menguatkan sistem presidensial atau stabilisasi pemerintahan. Sistem kepartaian merupakan satu faktor yang harus diperhitungkan bersama sistem presidensial (murni, semi, atau pseudo) dan sistem pilpres, misalnya, selain dengan faktor kepemimpinan.
Kondisi multipartai adalah pantulan perilaku parpol dan kemajemukan masyarakat. Koalisi untuk memenangi pilpres dalam satu babak, yang beberapa modelnya dapat diperdebatkan, tak sama dengan mengatur perilaku menuju multipartai sederhana. Maka, koalisi raya untuk memenangi pilpres satu babak tak serupa dengan menguatkan presidensialisme.
Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta