Oleh Satjipto Rahardjo
Berkali-kali kalimat ”kita tak habis mengerti” muncul dalam tajuk Kompas berjudul ”Rontoknya Wibawa Pengadilan” (23/10/2008). Suatu pengeroyokan, pembunuhan, dan penganiayaan telah terjadi di Lantai Tiga Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebenarnya Kompas dan kita semua tidak terlalu tidak-habis-mengerti, mengapa di sebuah gedung di negeri ini, yang seharusnya merupakan kompleks yang disucikan (sanctuary) dan bermartabat, harus dikotori peristiwa seperti itu. Mengapa gedung yang seharusnya dimuliakan diinjak-injak. Pengeroyokan dan pembunuhan di ruang sidang? Ini luar biasa.
Kita mengerti karena Kompas sering memuat hasil survei yang menggambarkan ketidakpuasan publik terhadap prestasi pengadilan kita, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung (MA). Ihwal jual beli perkara dan lainnya tidak lagi terdengar dan mengejutkan banyak orang Indonesia. Tahun 1990-an Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang ingin membersihkan dan mengembalikan martabat MA justru terpental.
Pernah berwibawa
Laporan miring tentang pengadilan kita itu mencapai puncak seiring terbitnya buku Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse” (2005). Simpulan Pompe, pertama, keberanian telah merosot menjadi sikap pengecut (cowardice). Kedua, kemampuan menjadi ketidakmampuan (incompetence). Ketiga, integritas menjadi korupsi struktural. Keempat, penghormatan merosot menjadi pelecehan (contempt). Memang amat menyakitkan, tetapi Pompe berbicara berdasar data yang keras.
Jika dikatakan sebagai kemerosotan, maka setidaknya di masa lalu republik ini pernah memiliki MA dan hakim-hakim agung yang berani, mampu, penuh integritas, dan berwibawa. Pompe dengan jujur menyebut sejumlah nama ketua MA yang berwibawa dan bersih (squeakly clean), seperti Kusumah Atmadja dan Soebekti. Begitu berani dan berwibawa dalam menjunjung martabat MA, sehingga dalam suatu jamuan negara Ketua MA Kusumah Atmadja pernah marah-marah karena tidak mendapat tempat duduk terhormat di samping Presiden. Ancam-mengancam antara Kusumah Atmadja dan Presiden Soekarno sering terjadi, demi menjaga wibawa dan martabat MA.
Menggunakan teori kepolisian bernama Broken Window sebagai referensi, pengadilan sudah sejak beberapa lama rusak tanpa ada hasil perbaikan berarti. Teori itu mengatakan, manakala jendela rumah pecah dan tidak kunjung diperbaiki, itu merupakan isyarat, wilayah permukiman itu sudah menunjukkan tanda-tanda menuju keambrukan. Lama-lama ia akan menjadi daya tarik bagi orang-orang tidak baik untuk mangkal sehingga akhirnya benar-benar menjadi sarang kejahatan. Polisi sudah harus segera masuk manakala baru melihat ada jendela-jendela pecah tanpa perawatan, sebelum tempat itu benar-benar menjadi sarang penjahat. Teori itu mungkin juga dapat menjelaskan mengapa aksi berbau mafia itu sudah dimulai dari tempat parkir pengadilan.
Memang, kita tak boleh begitu saja menuding ”ada apa dengan pengadilan?”, tetapi lebih daripada itu juga perlu bertanya ”ada apa dengan bangsa kita?”
Saya melihat adanya kaitan antara demokratisasi dan kemerosotan wibawa pengadilan. Demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang digenjot sejak reformasi 1998 telah banyak menampilkan wajah baru Indonesia. Meski demikian, ia juga menimbulkan banyak situasi kekerasan dan kebebasan nyaris tanpa batas dan lain-lain. Orang Indonesia sedang menikmati rasanya bebas, sesudah puluhan tahun ditekan. Semua menjadi bebas untuk dilakukan. Wilayah pengadilan yang seharusnya memberikan kesan angker tidak lagi mempan untuk menjauhkan demonstran dan simpatisan masuk dan menginjak-injak rumah keadilan.
Tambang emas
Kita teringat buku Ortega y Gasset, La Rebelion de las Masas (1930), yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, The Revolt of the Masses, De opstand der horden. Saya pernah bertanya, apakah ini demokrasi atau bangkitnya para preman? (”Demokrasi atau Bangkitnya ’Preman’”? Kompas, 4/5/2005). Pemandangan yang sekarang banyak terlihat di pengadilan sepertinya menampilkan kembali potret Eropa yang diambil Ortega pada dekade awal abad kedua puluh itu.
Sudah sejak lama penghormatan bangsa terhadap para hakim cukup rendah, apalagi kini pengadilan kian banyak mempertontonkan sisi yang memancing rasa tidak hormat. Advokat almarhum Yap Thiam Hien pernah mengeluh, mengapa kita begitu siap menghormati para menteri, bahkan para direktur jenderal, daripada para hakim, termasuk hakim agung? Mengapa dalam berbagai pertemuan, kita gatal untuk berdiri jika ada pembesar pemerintahan masuk dan menganggap hakim yang lewat seperti angin lalu?
Dewasa ini, atmosfer lingkungan atau masyarakat yang banyak korup menambah runyam pengadilan. Bagi mereka yang berniat jahat, pengadilan telah menjadi tambang emas yang menggiurkan.
Potret pengadilan kita memang sedang buruk, tetapi itulah potret kehidupan bangsa kita. Dibutuhkan tidak hanya masuknya pasukan profesional untuk mengubah dunia pengadilan, tetapi terutama para pejuang (vigilantes) yang berani dan memiliki gereget (compassion) untuk memulihkan citra dan wibawa pengadilan.
Kita tidak sedang bermimpi karena, di masa lalu, kita pernah mempunyai orang-orang hebat, bahkan seorang perempuan hakim agung yang cantas, seperti Sri Widoyati Soekito yang berani menolak tekanan Presiden Soekarno untuk mengambil putusan tertentu. Tinggal bagaimana memunculkan mereka dan mendorongnya menjadi kekuatan untuk mengubah pengadilan kita sehingga kembali bersinar dan berwibawa.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang