Ki Supriyoko - Problema Pendidikan Profesi Guru

Judul : Problema Pendidikan Profesi Guru
Sumber : Kompas, Jumat, 31 Oktober 2008

Oleh Ki Supriyoko

Belum lagi masalah sertifikasi pendidikan tuntas terselesaikan, kini pemerintah menyiapkan program baru, yaitu pendidikan profesi guru.

Dana triliunan rupiah sudah disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi 40.000 kandidat guru, yang berasal dari berbagai disiplin ilmu.

Skenarionya, para sarjana itu dipersilakan menempuh pendidikan profesi guru selama enam bulan agar dapat menjadi guru mata pelajaran di SMP, SMA, atau SMK. Mereka yang ingin menjadi guru TK dan SD bahkan diwajibkan menempuh pendidikan profesi selama satu tahun, itu pun input-nya harus dari sarjana pendidikan TK atau SD.

Niat pemerintah menyelenggarakan pendidikan profesi guru tentu positif meski hasilnya belum tentu optimal jika hal-hal yang bersifat teknis akademis tidak diperhatikan.

Relatif baru

Beberapa universitas di Indonesia memang sudah menyelenggarakan pendidikan profesi, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. UGM juga menyelenggarakan pendidikan profesi akuntansi dengan kelas beragam: kelas reguler, kelas profesional, kelas joint programme, dan kelas dual degree programme.

Meski untuk pendidikan profesi nonkeguruan penyelenggaraannya bukan merupakan hal baru, untuk pendidikan profesi guru ini adalah hal baru.

Rencana penyelenggaraan profesi guru muncul setelah diberlakukan UU Guru dan Dosen. Jadi, bisa dikatakan penyelenggaraan pendidikan profesi guru merupakan implikasi UU Guru dan Dosen.

Pasal 1 butir (1) UU Guru dan Dosen menyebutkan, guru adalah pendidik profesional. Sementara butir (4) menyebutkan, yang dimaksud profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Logikanya, untuk menjadi guru yang profesional pendidikan profesi tidak bisa ditinggalkan.

Tentang biaya yang disediakan pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan profesi guru tentu patut disyukuri. Pasalnya, jika tiap peserta harus membayar sendiri secara penuh, dapat dipastikan program ini hanya akan diikuti kaum berduit. Untuk mengikuti pendidikan profesi akuntansi di UGM saja, peserta harus membayar Rp 12 juta (kelas reguler pagi) hingga Rp 46,5 juta (kelas joint programme).

Masalah pengajar

Persoalan teknis akademis yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan profesi adalah tenaga pengajar. Yang benar, tenaga pengajar pada pendidikan profesi adalah kaum profesional yang selain memiliki keahlian, kemahiran, dan kecakapan juga memiliki pengalaman praktis di bidangnya.

Dalam menyelenggarakan pendidikan profesi akuntansi, selain menyediakan akademisi berupa 13 profesor, 15 doktor, dan 29 master pada bidang akuntansi UGM juga menyediakan kaum profesional berupa bankir dan pimpinan perusahaan sebagai pengajar. Bankir dan pimpinan perusahaan itu selain memiliki keahlian, kemahiran, dan kecakapan juga memiliki pengalaman praktis di bidang akuntansi.

Kini masalah yang dihadapi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan profesi guru adalah tenaga pengajar yang memiliki pengalaman praktis di bidang keguruan? Apakah mereka adalah pimpinan dinas pendidikan, pengawas, dan kepala sekolah? Bisa jadi hal itu benar, tetapi sebenarnya tidak tepat benar karena kapasitas mereka lebih pada seorang administrator atau manajer, bukan pendidik.

Guru senior yang berprestasi kiranya lebih tepat diposisikan sebagai kaum profesional untuk mengajar pendidikan profesi guru. Namun, kriteria senioritas dan prestasi harus jelas dan terukur. Masalahnya, jika salah memilih guru yang tidak senior dan tidak berprestasi, sama seperti kata Joshua ”jeruk minum jeruk”.

Kaum profesional wajib hukumnya menjadi tenaga pengajar dalam pendidikan profesi guru. Jangan sampai tenaga pengajar dalam program ini didominasi akademisi meski mereka bergelar doktor dan profesor. Jika hal itu terjadi, pendidikan profesi guru tidak ubahnya dengan pendidikan akademik sarjana yang telah diselesaikan sebelumnya.

Jika problem teknis akademis itu tidak dihindari, bukan saja uang negara yang dihamburkan, tetapi kepercayaan terhadap pendidikan nasional akan jatuh

Ki Supriyoko Pamong Tamansiswa