Oleh GKR Hemas
Akhirnya, RUU Pornografi disahkan juga pekan lalu meski Fraksi PDI-P dan PDS menolak dengan melakukan walk out disusul dua anggota Fraksi Partai Golkar.
Sesaat setelah sidang dimulai, seorang anggota DPR menginterupsi jalannya sidang dan mempertanyakan mengapa dirinya tidak diundang dan tidak tahu agenda pengesahan RUUP akan diambil hari itu. Dia meminta Ketua DPR menunda pengesahan sekaligus mempertimbangkan masih maraknya pro- kontra di masyarakat. Dia juga melihat agenda ini terkesan amat dipaksakan. ”Sebenarnya, ada apa di balik pengesahan ini?” ujarnya.
Selama rapat paripurna, tepatnya saat pembacaan pandangan akhir fraksi, takbir gema Allahu Akbar berkumandang berkali-kali. Padahal, hampir seluruh fraksi yang mendukung RUUP mengaku sama sekali tidak ada muatan agama dalam produk hukum itu. Bahkan, Ketua Fraksi PKS DPR Mahfud Siddiq mengemukakan di berbagai media, RUUP ini merupakan hadiah terindah Ramadhan.
Dalam pandangan akhir itu, delapan fraksi dan pemerintah mendukung pengesahan RUUP. Bahkan, Ketua DPR Agung Laksono yang memimpin jalannya sidang mengesahkan RUU ini menjadi UU dengan tidak mempertimbangkan mundurnya Fraksi PDI-P dan PDS serta mengesampingkan suara penolakan (resmi) masyarakat dari berbagai daerah saat pengambilan keputusan.
Pasal-pasal bermasalah
Meski berjudul RUUP, pasal- pasal dalam UU ini masih memuat materi pornoaksi. Ini terbukti dalam Pasal 1 Ayat 1 terdapat kata-kata ”gerak tubuh” dan ”pertunjukan di muka umum”. Pasal 2 juga patut dipertanyakan karena asas kebinekaan dan kepastian hukum masih menjadi tanda tanya.
Asas kebinekaan ternoda dengan maraknya penolakan resmi dan penolakan masyarakat dari beberapa daerah seolah tidak dipedulikan. Sementara asas kepastian hukum dipertanyakan dengan munculnya kata mengesankan ketelanjangan (Pasal 4).
RUUP juga masih membuka peran serta masyarakat dalam menjalankan UU ini (Pasal 20). Hal ini dikhawatirkan banyak pihak akan melahirkan milisi-milisi sipil yang mengatasnamakan penyelamatan moral bangsa justru akan menjadi polisi moral bagi sesamanya.
Kegagalan negara
Alih-alih ingin menyelamatkan generasi masa depan dari bahaya pornografi, RUUP justru menempatkan (merendahkan) posisi negara sebagai pengawas, bahkan sampai masuk jauh ke ruang privat warga. Asumsi yang dibangun adalah pemerintah tidak percaya terhadap warganya sendiri untuk dapat mengatur apa yang bisa dan tidak mereka miliki sehingga pemerintah perlu membuat UU ini.
Sebelum disahkan menjadi UU Pornografi, beberapa daerah menyatakan keberatannya. Melalui aksi massa, komponen Rakyat Bali mengancam jika produk hukum ini disahkan, mereka akan melakukan pembangkangan sipil (civil disobedience). Mereka juga menyebut, RUUP adalah cermin kegagalan negara dalam melindungi kebinekaan bangsa.
Demo tersebut langsung diterima dan ditindaklanjuti pemerintah daerah dan DPRD Bali yang secara resmi mengeluarkan surat penolakan terhadap RUU itu serta menyampaikan aspirasinya langsung kepada sejumlah fraksi di DPR pada pertengahan September (Sabtu, 13/9) lalu.
Masyarakat Papua yang terdiri dari elemen Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua dalam sebuah jumpa pers di Jakarta (Kamis, 25/9) mengatakan, setelah dijarah hak ekonomi dan politiknya, kini mereka merasa, dengan RUUP, eksistensi mereka tidak diakui. Mereka menyebut hal ini sebagai gejala cultural separatism. Dengan kata lain, RUUP jelas mengancam persatuan Indonesia yang tidak lain adalah sila ketiga dari Pancasila.
Selain itu, RUUP juga dicurigai tidak memenuhi asas kenusantaraan seperti diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena secara resmi gubernur dan DPRD Bali dan Sulawesi Utara menolak.
Uji materi perlu didorong pascapengesahan. Karena uji materi adalah mekanisme untuk membuktikan apakah produk hukum ini bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
GKR Hemas Anggota DPD Yogyakarta